KEPEMIMPINAN WANITA DAN WANITA KARIER
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Di tengah hembusan gerakan feminisme, sebagai akibat dari
kebutuhan untuk menghidupi keluarga dan semakin meningkatnya keterdidikan kaum
perempuan, isu ketidakadilan gender mulai disuarakan di Indonesia sejak
1960-an, isu ini menjadi bagian dari fenomena dan dinamika masyarakat Indonesia
yang membuat posisi kaum perempuan semakin membaik.
Dari
sinilah kemudian muncul komunitas pekerja perempuan atau yang lebih populer
disebut dengan wanita karier. Wanita karier memperluas dunia
pengabdiannya, bukan saja di rumah tangga sebagai ibu (peran domestik), tetapi
juga di tengah masyarakat dengan berbagai fungsi dan jabatan (peran publik).
Pandangan yang selama ini diawetkan bahwa setinggi-tinggi
perempuan sekolah, akhirnya akan ke dapur juga sudah mulai dipersoalkan, bahkan
sudah mulai dibongkar. Dapur tidak lagi dipahami dalam arti kerja domestik,
seperti memasak, mengasuh anak, dan mengatur rumah tangga serta melayani suami
di kasur. Dapur sudah mengalami pergeseran penafsiran dengan memasuki
penafsiran metafora, yakni kewajiban membiayai rumah tangga.
Peran
laki-laki sebagai kepala rumah tangga sudah pula mulai bergeser. Posisi suami
dan istri mulai disetarakan, tidak lagi dalam posisi didominasi dan
mendominasi. Karena ternyata dalam konteks wanita karier, banyak fenomena
penghasilan istri lebih besar dari penghasilan suami.
Namun fungsi sebagai wanita karier ini ternyata tidak
sepi dari persoalan. Persoalan
tersebut antara lain adalah tentang pengasuhan anak. Secara emosional anak
lebih dekat kepada ibunya, ketimbang kepada ayahnya. Oleh sebab itu
ketergantungan anak terhadap ibu sebagai pengasuh, pendidik, serta yang
mengawasi perkembangan anak banyak diletakkan pada ibu. Sementara ayah bekerja
di luar rumah. Maka bila ibu bekerja di lluar rumah itu berarti perhatian
terhadap anak menjadi berkurang.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ibu
yang berkarier di luar rumah berpotensi menimbulkan problem dalam pendidikan
anak. Intensitas berkomunikasi dengan anak menjadi sangat berkurang. Adalah
kenyataan bahwa seoarng anak lebih terbuka kepada teman atau orang lain,
tentang masalah-masalah pribadi yang dihadapinya, ketimbang kepada ibunya.
Problem lain adalah kerumahtanggaan. Dengan istri yang
berkarier sering diasumsikan akan mengganggu keharmonisan rumah tangga.
Meninggalkan rumah karena sibuk bekerja, bisa memicu konflik rumah tangga.
Suasana hangat di rumah yang didambakan oleh suami ketika ia pulang dari
pekerjaan, akan tidak didapat lagi bila istrinya masih bekerja di luar rumah.
Tidak
kalah seriusnya adalah terbukanya potensi tentang munculnya apa yang disebut
dengan Pria Idaman Lain (PIL). Walaupun problema ini tidak dapat ditimpakan
semata-mata kepada wanita, tetapi akibat sering bertemu di luar rumah,
mengadakan meeting dalam rangka bisnis, menjadi sebab yang sangat
signifikan akan terjadinya perselingkuhan. Andaikata wanita tidak bekerja di
luar rumah tentulah situasi tersebut tidak muncul dan peluang ke arah
perselingkuhan tidak akan terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- Definisi Wanita Karier
Wanita karier
dan karier wanita masih merupakan tema kontroversi dalam wacana Islam. Wanita
karier ialah wanita yang memiliki keahlian, keterampilan, dan profesi khusus di
luar kegiatan kerumahtanggaan; Seorang wanita yang menjadikan karier atau
pekerjaannya secara serius;
Perempuan yang memiliki karier atau yang menganggap kehidupan kerjanya secara
serius (mengalahkan sisi kehidupan yang lain); Wanita yang berkecimpung dalam
kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dsb); wanita karier adalah wanita yang
mampu mengelola hidupnya secara menyenangkan atau memuaskan, baik di dalam
kehidupan profesional (pekerjaan di kantor) maupun di dalam membina rumah
tangganya.[1]
Secara lebih jelas, wanita karier adalah wanita yang menekuni dan
mencintai sesuatu atau beberapa pekerjaan secara penuh dalam waktu yang
relative lama, untuk mencapai sesuatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan atau
jabatan. Untuk berkarier berarti harus menekuni profesi tertentu yang membutuhkan
kemampuan, dan keahlian.
Pekerjaan
yang paling baik bagi wanita adalah menjadi perawat. Sekolah-sekolah perawat,
baik yang tingkat dasar maupun tinggi, adalah tempat terbaik untuk melatih dan
mengajar wanita. Rumah sakit adalah tempat yang baik pula bagi wanita untuk
bekerja sebagai perawat maupun dokter. Pekerjaan semacam itu cocok dengan
sifat-sifat kewanitaan.[2]
Aktivitas
mereka lebih banyak bergerak dalam dunia publik. Sedangkan
karier wanita adalah konsepsi sosial budaya terhadap pekerjaan dan profesi
seorang wanita.
Ketika seorang wanita tampil di arena publik dengan
keahlian dan profesi tertentu maka pada saat itu ia dicap sebaagi wanita karier
dan sekaligus memberikan perspektif baru pada dunia karier wanita.
Namun demikian tidak semua wanita yang bekerja atau
tenaga kerja wanita dapat diklaim sebagai tenaga karier. Karena merka yang
hasil karyanya sebatas dapat menghasilkan imbalan keuangan disebut sebagai
wanita bekerja, meskipun imbalan tersebut tidak diterima secara langsung.
Secara lebih jelas, wanita karier adalah wanita yang
menekuni dan mencintai sesuatu atau beberapa pekerjaan secara penuh dalam waktu
yang relatif lama, untuk mencapai sesuatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan atau
jabatan. Umumnya karier wanita ditempuh oleh wanita di luar rumah, sehingga
wanita karier tergolong mereka yang berkiprah di sektor publik. Disamping itu,
untuk berkarier berarti harus menekuni profesi tertentu yang membutuhkan
kemampuan, kapasitas, dan keahlian dan acap kali hanya bisa diraih dengan
persyaratan telah menempuh pendidikan tertentu.
B.
Motivasi
Wanita Terjun ke Dunia Karier
Motivasi
yang mendorong wanita terjun ke dunia karier antara lain :
1.
Pendidikan.
Pendidikan
dapat melahirkan perempuan karier dalam berbagai lapangan kerja. Kemajuan
wanita di sektor pendidikan yang akibatnya banyak wanita terdidik tidak lagi
merasa puas bila hanya menjalankan peranannya di rumah saja.[3]
2.
Terpaksa oleh
keadaan dan kebutuhan yang mendesak.
Karena keadaan
keuangan tidak menentu, sementara kebutuhan makin membutuhkan pemenuhan
sehingga dengan sendirinya ia harus bekerja di luar rumah.
3.
Untuk alasan ekonomis.
Agar tidak
tergantung kepada suami, walaupun suami memenuhi segala kebutuhan rumah tangga,
karena sifat perempuan adalah selagi ada kemampuan sendiri, tidak ingin selalu
meminta kepada suami.
4.
Untuk mencari kekayaan
sebanyak-banyaknya.
Ini biasanya
dilakukan oleh perempuan yang menganggap bahwa uang diatas segalanya, dimana
yang paling penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.
5.
Untuk mengisi waktu yang lowong.
Di antara
perempuan ada yang merasa bosan diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan
dengan urusan rumah tangganya. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa bosan
tersebut, ia ingin mencari kegiatan di bidang usaha, dan sebagainya.
6.
Untuk mencari
ketenangan dan hiburan.
Seorang
perempuan mungkin mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang
susah diatasi, oleh sebab itu ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri
di luar rumah.
7.
Untuk mengembangkan bakat.
Bakat dapat
melahirkan perempuan karier. Seorang yang bukan sarjana. Namun berbakat dalam
bidang tertentu, akan lebih berhasil dalam kariernya disbanding seorang sarjana
dari fakultas tertentu yang tidak berbakat. Dengan munculnya faktor-faktor
tersebut, maka semakin terbuka kesempatan bagi perempuan untuk terjun ke dunia
karier.[4]
- Relevansi Aktualisasi, Keinginan, Dan Sosialisasi Yang Mempengaruhi Latar Belakang Sosial Dan Budaya Tentang Konsep Pekerja Wanita.
Semua subjek
penelitian mengungkapkan baik yang kawin maupun yang belum kawin bahwa kondisi
lingkungan yang ada disekitarnya turut memberikan pengaruh dan keinginan untuk
bekerja. Kultur masyarakat yang ada pada tiga pekerja tersebut memberikan ruang
yang bebas bagi wanita yang belum maupun yang sudah menikah untuk bekerja baik
sebagai pekerja dengan posisi yang tinggi maupun pekerja dengan posisi yang
biasa-biasa saja.
Pada kenyataan
tersebut dapat dikaitkan dengan dengan proses sosialisasi, dalam masa
perempuan, dari keluarga dengan latar belakang kelas sosial-ekonomi manapun,
mendapatkan kekhususan penanaman nilai, yang mungkin tidak secara khusus
dialami rekan-rekannya kaum lelaki. Kekhususan penanaman nilai tersebut adalah:
adanya penanaman mengenai tingginya nilai keluarga, sekaligus semakin kuatnya
penanaman nilai kemandirian dan profesionalisme kerja.[5][12]
Tampaknya
masyarakat tidak secara khusus menanamkan pentingnya nilai keluarga pada
individu laki-laki, dibandingkan yang dilakukan terhadap perempuan. Pada
laki-laki yang ditanamkan adalah pentingnya dunia kerja, sementara aspek
keluarga dianggap dengan sendirinya akan dimasuki tanpa persiapan sangat khusus.
Sementara pada perempuan, aspek keluarga perlu secara khusus ditekankan
terutama karena keperempuanan memang banyak dikaitkan dengan peran/fungsi
sebagai pengelola rumah tangga, bahkan oleh masyarakat seringkali diingatkan
bahwa tujuan hidup perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik. Karena
adanya penanaman dua nilai tersebut, perempuan kemudian mencoba
mengintegrasikannya dalam bentuk aspirasi tercapainya kehidupan yang seimbang
keluarga dan pekerjaan.[6][13]
Kenyataan
sehari-hari berkaitan dengan pola hubungan ayah-ibunya yang dilihat dan dinilai
individu merugikan ibu (perempuan) apakah itu berkaitan dengan ketergantungan
figur ibu terhadap ayah, kedudukan ibu yang dilihat lemah dan tertekan maupun
ketidakmampuan ibu untuk mengembangkan diri dapat menguatkan pentingnya nilai
pekerjaan dan kemandirian. Dengan demikian, selain berkeluarga, aspirasi untuk
dapat bekerja dan mandiri pun berkembang kuat untuk menunjukkan, baik pada diri
sendiri maupun orang lain bahwa ia individu yang bebas dan mandiri. Ini
menunjukkan bahwa meskipun faktor sosialisasi berperan penting dalam
perkembangan diri individu, individu dapat saja mengembangkan bentuk reaksi
yang berbeda-beda yang dirasakannya lebih positif.[7][14]
Struktur
masyarakat diatas, menandakan bahwa posisi perempuan sudah tidak lagi berada di
posisi yang rendah (property owner)dan sudah setara walaupun belum
mencapai pola hubungan equal partner. Setidaknya pola hubungan antara
suami istri tersebut sudah bisa disebut sebagaisenior- junior partner.
Adapun yang
dimaksud pola perkawinan senior- junior partner yaitu bahwa posisi istri
tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan ini
terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis meskipun pencari
nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi
sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini istri mempunyai kekuasaan
yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri
mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan, tetapi suami masih
mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari istri karena posisinya sebagai
pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar dari
suami. Dengan begitu suami juga menentukan status sosial istri dan anak-anaknya.
Ini berarti, istri yang berasal dari status sosial yang lebih tinggi, akan
turun status sosialnya karena status sosialnya kini mengikuti status sosial
suami.[8][15]
Ciri perkawinan
seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini. Istri bisa melanjutkan sekolah
asal karir suami didahulukan. Istri juga bisa merintis karirnya sendiri
stetelah karir suami telah sukses. Dalam pola perkawinan seperti ini istri
harus mengorbankan karirnya demi karir suami. Di kalangan beberapa instansi
pemerintahan, suami harus menjalani tugas di daerah sebelum bisa dipromosikan
ke pangkat yang lebih tinggi. Demi karir suami inilah, seringkali istri
berkorban.[9][16]
Dari konsep
diatas, dapat difahami sesuai dengan perkembangan situasi dan teknologi, maka
status wanita dalam keluarga juga ikut berubah. Pendapat wanita yang tadinya
identik dengan pekerjaan domestik, perlahan mulai sirna. Apabila dahulu wanita
yang bekerja di luar rumah merupakan hal yang tabu, sekarang sudah tidak tabu
lagi. Hal ini menandakan bahwa konstruk budaya masyarakat sudah berubah,
sehingga mempengaruhi pola pikir wanita tentang wanita yang bekerja.
Sebagai contoh,
tiga pekerja wanita yang menjadi subjek penelitian ini, mereka bekerja atas
inisiatif sendiri dan diperkenankan untuk mencari uang untuk menambah
penghasilan keluarga. Mereka bekerja tentunya atas izin dari suami mereka,
karena walaupun posisi wanita telah terangkat, namun mereka belum bisa
terangkat menjadi sejajar dengan kaum laki-laki, sehingga dalam kepemimpinan
rumah tangga, suami tetap menjadi pemimpin, sedangkan wanita menjadi partner
bagi suami.
Van Deventer
berkata: “Jiwa pedagang kecil sudah mendarah daging pada wanita Jawa.”[10][17] Artinya,
wanita pada saat ini tidak dapat lagi dikatan lemah, dan tidak bisa melakukan
pekerjaan-pekerjaan di luar rumah, hal itu dapat dilakukan dengan adanya peran
dari masyarakat untuk menciptakan kesetaraan, dan keadilan yang ada pada
keluarga dan individu.
- Al-Qur’an dan Hadits tentang Posisi Perempuan
Tema pengangkatan harkat dan martabat kaum wanita ini
dikembangkan oleh Rasulullah SAW, berdasarkan ajaran yang beliau terima dari
Allah SWT. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang memberi
penekanan akan peran wanita dan kaum laki-laki yang harus seimbang. Tidak ada
dominasi yang satu dengan yang lainnya. Kedua-duanya mempunyai kedudukan yang
sama. Bahkan ada perbedaan kodrati yang dipunyai oleh laki-laki dan perempuan
itu memang benar. Tetapi perbedaan kodrati tidak mesti membawa pada satu
mendominasi yang lain.
Al-Qur’an menegaskan bahwa antara laki-laki dengan
perempuan terdapat kesetaraan. Tidak ada perbedaan antara keduanya dalam
perbuatan. Siapa saja melakukan amal (perbuatan) akan mendapat ganjaran yang
setimpal dengan apa yang mereka perbuat. Inilah yang ditegaskan oleh Allah SWT
dalam al-Qur’an surat Al-Ahzab (33) ayat 35:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.”
Jelas sekali terpahami dalam ayat di atas, Islam tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Siapa saja mendapat ganjaran dari
amal perbuatan yang dilakukannya. Tidak ada penempatan yang lebih ataupun
penempatan yang kurang dalam posisi itu. keduanya harus saling mendukung. Ini juga yang ditegaskan oleh Allah
dalam surat An-Nisa (4) ayat 124:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik
laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
Suasana kebersamaan dalam membangun dan menciptakan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah tidak menjadi tanggung jawab
kaum laki-laki saja. Keduanya mempunyai peran dan fungsi yang sama dan setara.
Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa keduanya harus terjalin kerja sama dan saling
bantu membantu. Firman
Allah dalam surat At-Taubah (9) ayat 71:
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam berbagai hadis, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa
wanitaitu saudara kandung laki-laki. Setiap muslim harus peduli terhadap
pendidikan kaum perempuan. Sabda Beliau: “Barangsiapa yang mengurus satu
urusan anak-anak perempuan dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan
menjadi penghalang baginya untuk siksaan mereka.”
Hadis juga menjelaskan bahwa terdapat kondisi dimana
seorang wanita juga harus mempunyai aktivitas di luar rumah. Hadits Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Bibiku ditolak
suaminya. Ia bermaksud menanam kormanya di waktu iddah, maka ia dilarang oleh
seorang laki-laki keluar dari rumah. Ia datang kepada Nabi Muhammad. Beliau
bersabda: Betul, petiklah kormamu sebab barangkali kamu dapat bersedekah
dengannya atau berbuat kebaikan .”
Diriwayatkan oleh Al Rabi binti Mua’awwidz, ia berkata: “Kami
ikut berperang bersama Rasulullah SAW. Kami menyediakan minuman bagi para
prajurit yang terbunuh dan yang terluka ke Madinah”. Juga hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Ummu Athiyyah Al-Anshory berkata: “Saya
ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, saya berada di belakang
mereka, emgobati yang terluka dan merawat yang sakit.”
Hadits-hadits tersebut kmemberikan gambaran yang sangat
jelas, betapa kaum perempuan semenjak Nabi telah memegang peran publik mereka
di tengah masyarakat. Posisi yang setara dan seimbang antara laki-laki dan
perempuan dipelihara dan dibangun secara terus menerus oleh Rasulullah SAW. Hal ini bukan
hanya dalam doktrin dan ajaran, tetapi juga dalam praktek pelaksanaan di tengah
kehidupan sehari-hari.
- Problem Penafsiran terhadap Teks-Teks Keagamaan
Gerakan pemberdayaan kaum perempuan akan selalu bergulir
selama struktur sosial masyarakat masih bertumpu pada hegemoni kultur patriarkhi
yang memarjinalkan peran perempuan. Paham keagamaan yang misoginis dan tidak
ramah terhadap perempuan memiliki andil cukup besar dalam proses pemarjinalan
perempuan. Oleh karena itu, harus dilakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan
(Al-qur’an dan Hadits) yang selama ini dijadikan legitimasi untuk melangengkan
dominasi laki-laki atas perempuan. Upaya ini menjadi krusial sebagai
manifestasi dari prinsip kerahmatan dan keadilan yang dipromosikan dalam misi
kenabian dan nilai sakral suatu agama.
Ada beberapa
kemungkinan di mana agama kemudian menjadi sumber peminggiran atas peran
perempuan. Pertama, karena terjadi kekeliruan dalam menginterpretasikan teks.
Kedua, karena cara penafsiran yang dilakukan secara artikulatif (sebuah cara
penafsiran yang sepotong-sepotong), tidak holistik dan mengabaikan visi
pandangan dunia Islam. Ketiga, karena didasarkan pada hadis-hadis yang lemah
atau palsu. Dua yang pertama dari kemungkinan ini, pada akhirnya bermuara pada
satu hal, yaitu cara penafsiran yang tidak menempatkan teks-teks itu pada
setting sosio-kultural di mana dan kapan ia diturunkan. Sedangkan kemungkinan
yang terakhir merupakan cara penafsiran dengan memanipulasi hadis-hadis Nabi
untuk kepentingan tertentu. Apalagi garansi keautentikan hadis tak sesakral
Al-qur’an, karena tak sedikit jumlah hadits yang dipalsukan pasca wafatnya
Rasulullah saw.
Ada tiga
strategi yang bisa dilakukan oleh para pemikir dan pemerhati hak-hak perempuan
di dalam Islam untuk membongkar pembacaan yang bias gender. Pertama, merujuk
kembali pada ayat-ayat Al-qur’an untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang
telah terjadi. Kedua, merujuk ayat-ayat yang menekankan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, mendekonstruksi atau membaca ulang
ayat-ayat yang selama ini dijadikan legitimasi untuk ketidakadilan
gender. Memang pada umumnya ketidaksetaraan peran antara perempuan dan
laki-laki dalam masyarakat bersumber dari faktor penafsiran yang tidak sensitif
gender.
- Pandangan Klasik atas Qiwamah
Salah satu pandangan klasik tentang konsep qiwamah yang
masih bias gender telah dikemukakan oleh Imam as-Suyuthi. Menurutnya, kepemimpinan
kaum laki-laki atas kaum perempuan adalah karena faktor alami (penciptaan) yang
dimiliki kaum laki-laki. Dalam fiqh siyâsah juga terdapat ketentuan hukum
yang menunjukkan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Perempuan
terpinggirkan dalam hal tugas-tugas publik tertentu, seperti kepala negara,
menteri, dan hakim. Mayoritas ulama klasik pun berpendapat bahwa jabatan kepala
negara, menteri, dan hakim harus dipegang laki-laki. Pendapat as-Suyuthi dan para ulama
tersebut didasarkan pada ayat 34 di dalam Surat al-Nisâ’ berikut ini yang
artinya:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) itu menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu, maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri" (Q.S. al-Nisâ’: 34)
Mengenai bentuk nyata dari kelebihan yang diberikan
kepada sebagian laki-laki ini sebenarnya ayat di atas tidak menjelaskannya.
Hanya para ahli tafsirlah yang kemudian memberikannya. Zamakhsyari, penafsir
besar dari kalangan rasionalis, mengatakan bahwa keunggulan laki-laki tersebut
meliputi potensi nalar (‘aql), ketegasan (al-hazm), semangat (al-‘azm),
kekuatan fisik (al-quwwah) keberanian dan ketangkasan (al-furusiyyah
wal al-ramy). Al Razi (w.606 H), penafsir besar yang lain dari kalangan
sunni (tradisional), menyebut faktor keunggulan laki-laki itu, antara lain,
potensi pengetahuan (al-‘Ilm) dan kekuatan fisik (al-qudrah).
Secara ringkas semua ahli tafsir memberikan penjelasan yang hampir sama bahwa
keunggulan laki-laki atas perempuan tersebut terletak pada: akal-intelektul,
kekuatan fisik, keteguhan mental dan kepandaian menulis. Jadi dalam hal-hal tersebut laki-laki
dianugerahi potensi lebih kuat dibanding perempuan. Akan tetapi menarik juga
dikemukakan bahwa mereka segera menyebut kata “fi al-ghalib” yang
berarti pada umumnya, atau “urfan”, tradisinya. Kata-kata ini
memperlihatkan bahwa alasan-alasan tersebut diakui mereka sebagai tidak berlaku
mutlak, menyeluruh atau bahkan setiap laki-laki.
Jadi ayat
di atas telah menyebutkan dua alasan mengapa laki-laki diberikan otoritas dan
tanggungjawab atas perempuan dan keluarganya. Kedua alasan itu adalah pertama,
kemampuan nalar dan kekuatan fisik, dan kedua, fungsi tanggungjawab finansial.
Pertanyaannya adalah apakah kedua alasan tersebut merupakan faktor-faktor yang
intrinsik, kodrati, bawaan atau pemberian Tuhan secara cuma-cuma pada
masing-masing, sehingga oleh karenanya tidak bisa berubah atau diubah?
Mayoritas ahli tafsir menyebut dengan bahasa yang berbeda-beda. Ibnu Katsir, ahli tafsir,
misalnya, menyebutnya sebagai “fi nafsihi”(inheren). Muhammad Thahir bin
Asyur, penafsir kontemporer, teman Muhammad Abduh, menyebutnya sebagai mazaya
Jibilliyyah (keistimewaan natural, watak). Syaikh Nawawi Banten dalam “Uqud
al Lujain” menyebutnya “haqiqiyyah” (hakikat). Sebutan-sebutan ini:
fi nafsihi jibilliyah dan haqiqiyyah, mengesankan sifat permanen, bukan sesuatu
yang bisa diusahakan, dipelajari, diubah atau dikonstruksikan. Pandangan ini
tentu berbeda dengan fakta- fakta perkembangan sosial yang ada dan yang selalu
berubah dari zaman ke zaman dan tempat satu ke tempat yang lain.
Pada
umumnya juga ayat di atas dipahami bahwa Allah memberikan sifat qiwâmah
(kepemimpinan) kepada laki-laki dan qunut (ketaatan) terhadap perempuan.
Seakan-akan fungsi laki-laki adalah memimpin dan kewajiban perempuan adalah
taat. Maka keikutsertaan perempuan dalam hal mengambil alih kepemimpinan yang
seharusnya dimiliki oleh laki-laki, dianggap bertentangan dengan ketentuan
Allah dalam ayat di atas . Makna qunut (ketaatan) itu dikritik oleh Amina
Wadud, menurutnya kata qânitât ini sebenarnya untuk menggambarkan para
perempuan yang baik, namun sering disalahartikan menjadi taat yang kemudian
diasumsikan “taat kepada suami”. Peluang memahami ayat tersebut agar
berpihak pada kepentingan perempuan sebenarnya masih terbuka lebar.
Selain menggunakan ayat di atas mereka juga berpijak pada
hadis Nabi:
Artinya:
“Dari Abu Bakrah ia berkata: Ketika Rasulullah
mendapatkan berita bahwa penduduk Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra
(Raja Persia) untuk menjadi rajanya, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak
akan bahagia kalau mereka menyerahkan mandat kepemimpinannya kepada seorang
perempuan" (HR. Bukhori)
Pendapat yang misoginis berargumentasi bahwa hadis ini
tidak berfungsi sebagai ikhbar (pemberitahuan), karena tugas dan fungsi Nabi
adalah menjelaskan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan umatnya. Dan hadis
ini berisi larangan untuk menyerahkan urusan (kepemimpinan umum) kepada seorang
perempuan. Penafsiran semacam ini tentu
tidak mengutamakan suara etis Islam yang semestinya mengakomodir partisipasi
perempuan dalam politik. Qasim Amin
menganggap bahwa tesis yang menyatakan kalau perempuan tidak memiliki
kemampuan dan kecerdasan yang sama dengan laki-laki adalah sesuatu yang konyol.
Seandainya perempuan diberi kesempatan akses yang sama maka tesis itu akan
segera gugur.
Harus diyakini bahwa perempuan terbelakang bukan karena Islam membuatnya demikian, melainkan karena masyarakatnya hanya menopang kelas-kelas tertentu yang hidup dari suatu kebijakan diskriminatif. Sungguh tidak adil jika Islam menjadi kambing hitam bagi pengekangan terhadap perempuan, karena yang menjadi persoalan sejauh ini adalah internalisasi paham keislaman yang bias gender. Peminggiran perempuan terjadi karena Islam kemudian dimapankan dan dibakukan dengan tangan-tangan mufasir, ahli fiqih, ataupun muhaddits pada abad klasik yang produk pemikirannya misoginis. Oleh karena itu, semestinya ketika mengkaji Islam jangan tergesa-gesa mengatakan bahwa segala produk pemahaman atas teks-teks ke-Islam-an bersifat definitif, karena tindakan tersebut dapat mereduksi Islam itu sendiri.
Harus diyakini bahwa perempuan terbelakang bukan karena Islam membuatnya demikian, melainkan karena masyarakatnya hanya menopang kelas-kelas tertentu yang hidup dari suatu kebijakan diskriminatif. Sungguh tidak adil jika Islam menjadi kambing hitam bagi pengekangan terhadap perempuan, karena yang menjadi persoalan sejauh ini adalah internalisasi paham keislaman yang bias gender. Peminggiran perempuan terjadi karena Islam kemudian dimapankan dan dibakukan dengan tangan-tangan mufasir, ahli fiqih, ataupun muhaddits pada abad klasik yang produk pemikirannya misoginis. Oleh karena itu, semestinya ketika mengkaji Islam jangan tergesa-gesa mengatakan bahwa segala produk pemahaman atas teks-teks ke-Islam-an bersifat definitif, karena tindakan tersebut dapat mereduksi Islam itu sendiri.
Karena banyak juga teks-teks keagamaan yang mencerminkan
kesetaraan dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam proses penciptaan,
potensi, juga dalam hak dan kewajiban, baik terhadap masyarakat maupun negara
termasuk hak untuk menjadi seorang pemimpin. Di antaranya seperti berikut ini:
- Q.S. Al-Hujurat: 13
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” (Q.S. Al-Hujurat:
13).
- Q.S. al-Nahl: 97
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kemi berikan padanya
kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan kemi berikan balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S.
al-Nahl: 97).
- Q.S. al-Taubah: 71
“Dua orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong terhadap sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasulnya” (Q.S. al-Taubah:
71).
- Q.S. al-Mumtahanah: 12
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan
mempersekutukan apapaun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina,
tidak akan membunuh anak-anakanya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam
urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan
kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang”. (Q.S. al-Mumtahanah: 12).
- HR. Ahmad
“Bermusyawarahlah dengan kaum wanita dalam masalah pernikahan
putri-putri mereka” (HR. Ahmad).
- al-Baqarah: 233.
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya”.
(Q.S. al-Baqarah: 233).
- HR. Abu Daud
“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki”
- Kontekstualisasi Konsep Qiwamah
Tafsir mengenai relasi laki-laki dan perempuan, terutama
konsepsi qiwâmah sering dijadikan dasar legitimasi kepemimpinan laki-laki atas
perempuan, dan pelarangan kepemimpinan perempuan atas laki-laki. Tafsir ini
harus diletakkan pada konteks di mana ayat itu dipahami oleh masyarakat yang
berpegang pada nilai-nilai sosial yang berkembang pada saat itu. Konsepsi
qiwâmah adalah persoalan tafsir, bukan persoalan perintah ayat atau ketentuan
Allah. Karena setelah Nabi Muhammad saw wafat, tidak ada seorangpun yang berhak
mengklaim sebagai juru bicara Allah, atau orang yang paling mengerti terhadap
maksud Allah dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, semua konsepsi yang ditawarkan
juga adalah tafsir atau ijtihad, yang tentu bersifat kontekstual, tidak mutlak
dan dinamis. Dengan mempertimbangkan pada perubahan sosial masyarakat yang
terjadi sedemikian rupa, konsepsi qiwâmah perlu dirumuskan kembali.
Dalam surat al-Nisâ’ ayat 34, memang bisa dipahami bahwa
kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan. Yang menjadi persoalan adalah
anggapan bahwa kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan dasar laki-laki yang
bersifat alamiah. Yang mana kalimat bimâ faddala allâhu ba`dahum ‘alâ ba`din
sering diartikan bahwa Allah melebihkan laki-laki atas perempuan dengan ilmu,
agama, akal, dan kekuasaan. Pemahaman yang demikian menjadi bermasalah karena
spirit ayat tersebut pada dasarnya mengakomodir masalah kepemimpinan laki-laki
dan perempuan secara bersamaan.
Kata al-rijâl berasal dari akar kata r j l
yang derivasinya membentuk beberapa kata, seperti rajala (mengikat), rajila
(berjalan kaki), al-rijl (telapak kaki), al-rijlah (tumbuh-tumbuhan),
dan al-rajul berarti laki-laki. al-rijâl adalah bentuk jamak dari
kata al-rajul. Dalam kamus lisân al-‘arab, kata al-rajul
diartikan dengan laki-laki lawan perempuan dari jenis manusia. Kata al-rajul
secara umum digunakan untuk laki-laki yang sudah dewasa, sesudah anak-anak.
Misalnya kata al-rajul yang digunakan pada ayat 282 dari surat al-Baqarah “wastasyhidû
syahîdaini min rijâlikum”, rijâlikum di sini adalah laki-laki muslim
yang sudah baligh. Sedangkan kata al-nisâ’ adalah bentuk jamak dari kata
al-mar’ah yang berarti perempuan dewasa .
Kalimat ar-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ’
adalah redaksi informatif yang menegaskan adanya hubungan obyektif antara
laki-laki dan perempuan. Laki-laki adalah qawwâm yang mengandung arti
penjaga dan pelindung bagi perempuan. Ayat tersebut menyebutkan faktor-faktor
yang menjadikan laki-laki memiliki peran pelindung bagi perempuan, yaitu
kekuatan fisik (bimâ faddala allâhu ba`dahum ‘alâ ba`din) dan kekuatan
financial/ekonomi (wabimâ anfaqû min amwâlihim). Jika faktor-faktor tersebut lenyap,
lenyap pulalah peran pelindung laki-laki. Dan jika faktor tersebut berpindah di
pihak perempuan, beralih pulalah peran pelindung di atas pundak
perempuan. Karena redaksinya “ba`dahum ‘alâ ba`din”, ini
mencerminkan adanya hubungan timbal balik, yang melegitimasi proses peralihan
peran tersebut. Arti bimâ faddala allâhu ba`dahum ‘alâ ba`din adalah
karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki dan perempuan di atas sebagian
laki-laki dan perempuan yang lainnya).
Menurut Kiai Husein, hal utama yang penting untuk
dianalisis dari ayat di atas adalah tentang alasan atau rasionalitas mengapa
laki-laki menjadi kepala keluarga. Mengenai ini, ayat di atas telah
menyebutkannya sendiri. Yakni karena sebagian mereka diberikan Tuhan keunggulan
atas sebagian perempuan. Kata-kata Tuhan ini menarik sekali
untuk diamati secara cermat. Tuhan dengan sangat jelas menyebutkan kata
sebagian, bukan kata semua, seperti yang dipahami banyak orang. Hal ini
mengandung arti bahwa tidak semua laki-laki diberikan Tuhan keunggulan atas
semua perempuan. Dengan begitu tidak semua perempuan tidak diberikan keunggulan
atas laki-laki. Sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya laki-laki dan
perempuan sama-sama diberikan kelebihan, tetapi bentuknya berbeda-beda.
Sebagaimana seperti disimpulkan oleh Imam al Razi: ”wa ka annahu la fadhla
al battah” (sepertinya tidak ada keunggulan satu atas yang lain).
Artinya, tidak semua laki-laki lebih baik dari pada semua
perempuan dalam segala hal. Akan tetapi sebagian laki-laki lebih baik dari pada
sebagian perempuan dalam hal-hal tertentu, begitupun sebaliknya sebagian
perempuan lebih baik dari sebagian laki-laki. Jadi kelebihan tersebut tidak
bersifat absolut. Menurut Amina Wadud, laki-laki pemimpin atas perempuan
tidaklah dimaksudkan untuk memberikan superioritas yang melekat dalam diri
setiap laki-laki, tetapi hanya terjadi secara fungsional, selama laki-laki
tersebut memenuhi kriteria yang disebut dalam al-Qur’an; pertama, laki-laki
tersebut mampu membuktikan kelebihannya dan kedua, mampu memberikan nafkah
terhadap keluarganya.
Menurut Khaled Abu Fadl, kata qawwâm bisa berarti
pelindung, pemelihara, penjaga atau bahkan pelayan. Dan ayat 34 surat al-Nisâ’
itu melekatkan status pemelihara, penjaga atau pelindung berdasarkan kemampuan
objektif seseorang, seperti kemampuan memberikan nafkah. Sehingga jika
perempuan menjadi pemegang posisi pencari nafkah, ia berhak menanggung tugas
sebagai penjaga. Jika tanggung jawab keuangan ditanggung bersama (suami dan
istri), maka keduanya menjadi penjaga satu sama lain.
Bagi Riffat Hasan, kata qawwâm jika diartikan pelindung
atau pemelihara akan berimplikasi pada pemahaman bahwa perempuan itu tidak
setara dengan laki-laki. Sehingga Riffat menolak tafsiran itu. Menurutnya,
secara linguistik qawwâm berarti pencari nafkah atau mereka yang menyediakan
sarana pendukung bagi kehidupan. Ketika laki-laki itu qawwâm tidak
berarti secara otomatis perempuan tidak bisa memberikan nafkah pada diri mereka
sendiri, hanya saja banyaknya beban berat peran yang dipikul dalam rumah
tangga, maka mereka tidak harus memiliki kewajiban tambahan mencari nafkah.
Artinya, ayat itu semestinya tidak dijadikan justifikasi bahwa perempuan itu
subordinat di bawah laki-laki.
Dengan mengutip penafsiran Muhammad Asad, Asghar Ali
Engineer mengatakan bahwa qawwâm diartikan sebagai kewajiban laki-laki
atas perempuan, menjadi qawwam berarti memberikan tambahan tanggung jawab
laki-laki kepada perempuan. Karena memang pada awal Islam laki-laki yang
mencari nafkah untuk diberikan kepada perempuan. Pandangan ini tentu sangat
kontras dengan para penafsir konservatif India yang menerjemahkan qawwâm
dengan darogha (bahasa Urdu) yang artinya laki-laki adalah seperti pegawai
polisi bagi perempuan, pemaknaan seperti ini mengandaikan adanya superioritas
laki-laki atas perempuan.
Aisyah Abd ar-Rahman yang dikenal juga dengan nama
samaran Bint as-Syathi’ menegaskan bahwa perempuan tetaplah perempuan, dan
laki-laki tetaplah laki-laki. Perbedaan keduanya bukanlah persaingan
ataupun perlawanan, melainkan sifat komplementer, kolega, dan harmoni.
Menurutnya al-Qur’an tidak berbicara tentang ketidaksetaraan laki-laki dan
perempuan tetapi lebih pada ketidaksamaan antara baik dan buruk, iman dan
ketakwaan. Aisyah memaknai kepemimpinan laki-laki dalam surat al-Nisâ’ ayat 34
berdasarkan kemampuan laki-laki tersebut ketika mampu memberikan nafkah kepada
istrinya, jika syarat ini tidak dipenuhi, hak kepemimpinan laki-laki menjadi
hilang.
Selanjutnya menurut Faqihudin Abdul Qadir, qiwâmah
pada surat an-Nisa ayat 34 mestinya harus diartikan komitmen ‘pembelaan’ bukan
kepemimpinan. Sehingga qiwâmah laki-laki atas perempuan berarti komitmen
pembelaan terhadap perempuan. Imam Fakhruddin ar-Râzi mengartikan qawwâm dengan
tanggung jawab pengelolaan, pemeliharaan dan perhatian terhadap kepentingan
perempuan. Dengan demikian, konsepsi qiwâmah dalam surat an-Nisa ayat 34 tidak
bisa menjadi landasan bagi pelarangan kepemimpinan perempuan. Ia juga bukan sebagai penegasan
terhadap kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Laki-laki disebutkan dalam ayat
qiwâmah, karena ia yang pada saat itu memiliki kemampuan dan bisa memberi
nafkah. Karena itu, hak qiwâmah laki-laki atas perempuan, hanya bisa dibenarkan
ketika ia bisa memberikan nafkah. Tetapi ketika tidak mampu maka hak itu
menjadi gugur. Berarti, persoalan qiwâmah bukan pada jenis kelamin, tetapi pada
persoalan kemampuan ekonomi serta keahlian.
Kandungan arti yang dikemukakan oleh sederetan pemikir
tersebut hampir semuanya telah menegasikan sifat kelebihan alamiah atau faktor
penciptaan yang dimiliki kaum laki-laki. Sebaliknya yang ada adalah penetapan
secara tegas tentang kepemimpinan (qiwâmah) yang harus didasarkan pada faktor
kelebihan berdasarkan kualitas individual seseorang. Karena dalam realitas kehidupan
di masyarakat terdapat sebagain kaum laki-laki yang memiliki kelebihan di atas
sebagian kaum perempuan, begitupun sebaliknya sebagian perempuan memiliki
kelebihan di atas sebagian kaum laki-laki.
Dalam kehidupan sebuah keluarga, ketika seorang istri
berhasil meniti karir profesional dengan penghasilan cukup besar dan sanggup
menghidupi keluarganya, maka ia sangat berhak menjadi pemimpin dan pemegang
peran “qawwâmiyah” dalam bidang ekonomi keluarga. Sedangkan sang suami,
karena keunggulan fisiknya, ia masih menjadi pemimpin dalam hal-hal yang
membutuhkan kekuatan fisik. Dari sini terlihat jelas bahwa pola relasi suami
istri itu sangat fleksibel, tidak definitif suami sebagai kepala rumah tangga.
Pada saat yang bersamaan pun mereka berdua bisa sama-sama menjadi kepala
keluarga dengan spesifikasi peran masing-masing.
Tak bisa diragukan lagi bahwa kebaikan sebuah struktur
masyarakat akan tercapai jika kepemimpian berada di tangan orang yang memiliki
kompetensi (kelebihan), tanpa membedakan perbedaan jenis kelamin. Artinya
kepemimpinan tidak didasarkan pada perbedaan seksis laki-laki dan perempuan.
Hukum ini berlaku di semua lini kehidupan yang mengandaikan adanya sebuah pola
struktur kepemimpinan. Pemahaman seperti itulah yang dimaksud dari surat
al-Nisâ ayat 34’ dalam konteks hubungan keluarga. Yang berhak menjadi seorang
pemimpin adalah orang yang terbaik dan lebih berkualitas di antara yang
lainnya, Allah tidak memandang jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) sebagai
kriteria yang terbaik. Oleh karena itu, akses pendidikan yang sama antara
laki-laki dan perempuan harus diberikan, agar istri juga bisa menjadi partner
yang baik bagi suami dalam kehidupan intelektual dan sosial.
Kepemimpinan perempuan tidak hanya terbatas dalam
kehidupan keluarga, tetapi juga dalam struktur masyarakat yang luas. Laki-laki
dan perempuan harus bekerja sama untuk menciptakan social order dalam
masyarakat. Kepemimpinan perempuan harus tersebar dalam seluruh lini kehidupan,
bidang kerja, dagang, produksi, pertanian, bidang pendidikan, bidang hukum dan
kedudukan-kedudukan tinggi lainnya. Dan semua itu dapat dibuktikan bahwa
perempuan saat ini memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan-jabatan yang
dahulu mungkin hanya dimonopoli oleh laki-laki.
Jika demikian, pendapat Imam as-Suyuthi yang
mengatakan bahwa kepemimpinan kaum laki-laki atas kaum perempuan adalah karena
faktor alami (penciptaan) yang dimiliki kaum laki-laki tentu tidak relevan
lagi. As-Suyuti yang menisbahkan pendapatnya pada sabda Nabi: “Tidak akan
beruntung suatu kaum yang telah menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan”(Musnad
Ahmad: 19603); “kaum perempuan adalah kurang dalam akal dan agamanya”
(Al-Bukhari:293); dan persaksian seorang dari kaum perempuan adalah seperti
separuh persaksian, dan inilah yang dimaksud kurang akal; dan karena mereka
haid sehingga mereka dilarang melaksanakan shalat, dan inilah yang dimaksud
kurang dalam agama, serta sabdanya: “yang menggugurkan shalat adalah
perempuan, khimar dan anjing hitam”(at-Tirmidzi:310). Hadis-hadis
tersebut seakan kehilangan mantranya jika dibenturkan dengan realitas sekarang.
- Peranan dan Fungsi Seorang Wanita
Sejak al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
wanita telah menjadi salah satu wacana penting. Dalam al-Qur’an terdapat dua
surat: an-Nisa dan Maryam yang bertajuk wanita dan isinya banyak
membicarakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan wanita. Sepeninggal Nabi SAW, wanita menjadi
wacana yang tak pernah selesai. Bahkan perhatian terhadap topik ini melebihi
perhatian terhadap tema pria, walaupun antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Hal ini membuktikan bahwa Islam menaruh perhatian yang
besar terhadap wanita dan menjunjung harkat dan martabat seorang wanita.Adapun
Peran dan Fungsi wanita dalam perspektif Islam:
- Wanita sebagai Ibu
Islam memandang dan memposisikan wanita sebagai ibudi
tempat yang luhur dan sangat terhormat. Ibu adalah satu di antara dua orang tua yang mempunyai peran
sangat penting dalam kehidupan setiap individu. Di tangan ibu-lah setiap
individu dibesarkan dengan kasih sayang yang tak terhingga. Ibu, dengan taruhan
jiwa raga telah memperjuang kehidupan anaknya, sejak anak masih dalam
kandungan, lahir hingga dewasa. Secara tegas al-Qur’an memerintahkan setiap
manusia untuk menghayati dan mengapresiasi ibu atas jasa-jasanya dengan berbuat
baik kepadanya. Firman Allah dalam Q.S. Luqman : 14 sebagai berikut:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
- Wanita sebagai Istri
Peran lain
wanita dalam kehidupan sehari-hari, adaolah sebagai istri. Suami dan istri
adalah sepasang makhluk manusia yang atas dasar cinta kasih suci mengikat diri
dalam jalinan nikah. Keduanya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Q.S.
al-Baqarah : 187 yang artinya :
”….mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka…
Antara suami istri kedekatannya dan fungsinya adalah
bagaikan pakaian yang melekat tubuh pemakainya; saling menutupi kekurangan
pasangannya dan saling melindungi. Islam memandang perkawinan melalui jalinan
pernikahan dalam rangka mensejahterakan manusia serta menjamin kelangsungan
hidup manusia melalui reproduksi dan regenerasi dalam sistem yang sehat.
- Wanita sebagai Pribadi dan Anggota Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang berkumpul dan
berinteraksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bersama. Setiap individu
membentuk keluarga dan keluarga-keluarga itu merupakan komponen masyarakat.
Tidak dapat dielakkan bahwa masyarakat tersebut lebih kurang separuh anggotanya
adalah wanita. Dengan demikian, kokoh tidaknya masyarakat dan tercapai tidaknya
harapan dan cita-cita masyarakat ditentukan pula oleh wanita. Bahkan,
moralitas, sebagai salah salah satu sendi terpenting dalam masyarakat dipahami
oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang sangat ditentukan oleh wanita. Walaupun
ini tidak boleh dipahami bahwa kehidupan masyarakat hanya menjadi tanggung jawab
wanita.
Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak hal yang menjadi
hak dan kewajiban setiap anggotanya. Hak dan kewajiban itu harus dijunjung
tinggi oleh setiap anggota dalam kegiatan dan kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an
sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam menunjukkan bahwa pria dan
wanita diciptakan dari satu nafs (living entily), dimana yang
satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain dan mempunyai hak dan
kewajiban yang sama.
Itulah sebabnya Al-Qur’an dianggap memiliki pandangan
yang revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, sekaligus memberikan keadilan
antara pria dan wanita. Terlebih bila dikaitkan dengan konteks masyarakat pra
Islam yang diformat dengan kultur patriarkis dan wanita dianggap tidak
lebih berharga dari sekedar suatu komoditi.
Islam lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang
berlandaskan keadilan atas kedudukan pria dan wanita. Keadilan menurut Islam
adalah terpenuhinya hak bagi yang memiliki secara sah, sebaliknya bagi pihak
lain (lawan arah) adalah kewajiban. Oleh karena itu, bagi yang lebih banyak
memenuhi kewajiban atau pemikul kewajiban yang lebih besar, dialah yang
memiliki hak lebih dibanding yang lain sehingga tidak ada yang dapat dikatakan
lebih berbobot antara hak dan kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar. Kesejajaran
hak dan kewajiban pria dan wanita tidak didengungkan oleh Barat; yang diserukan
adalah persamaan hak. Kesejajaran dalam hak dan kewajiban antara suami istri
sebagaimana digambarkan oleh Nabi bahwa hak istri merupakan kewajiban suami dan
sebaliknya hak suami merupakan kewajiban istri. Karena itu suami istri
sama-sama memakai pakaian, merasakan kenikmatan makanan, tidak saling berlaku
kasar menjelekkan/merendahkan dan tidak akan meninggalkan tanggung jawab
masing-masing.
- Tantangan Bagi Pekerja Wanita
Di masa depan
jumlah pria-wanita yang berpendidikan tinggi dan memasuki perkawinan berkarir
dua (dual carreer marriages) akan meningkat. Keluarga berkarir dua
merupakan indikator bagi perubahan-perubahan sosial.[11][20]
Kenyataan
menunjukkan bahwa wanita sekarang mempunyai lebih banyak kesempatan untuk
pendidikan dan penempatan serta kemajuan karir dari pada sebelumnya. Wanita
kurang mengalami rintangan untuk memanfaatkan pendidikannya. Baik pria maupun
wanita melihat pekerjaan dalam keluarga dan dalam jabatan sebagai sumber dari
kesejahteraan (weel-being) dan pemenuhan (fullfillment).[12][21]
Sumber-sumber
yang membantu keluarga berkarir dua secara konseptual meliputi sumber-sumber
personal, relational, dan societal. Sumber-sumber pribadi mencakup
karakteristik yang unik, seperti atribut kepribadian, sumber finansial,
kemampuan untuk menangani stress dalam hidup, keyakinan mengenai cinta dan
pekerjaan, realitas siklus kehidupan, dan sebagainya. Sumber-sumber keluarga
menyangkut dukungan sensitivitas pasangan. Paling esensial ialah dukungan dari
partner perkawinan, kemudian dari anak-anak, dan dari orang tua serta
teman-teman. Makin suportif pasangannya, makin supportif pula anak-anak.
Sumber-sumber dan dukungan sosial/masyarakat meliputi antara lain:
fleksibilitas dari jadwal kerja, atasan yang mendukung keluarga, dan kebijakan
tentang benefit. Tersedianya perwatan dan Pengasuh anak yang memadai, serta
jaminan yang kesehatan yang baik.[13][22]
- Dampak Positif dan Negatif dari Wanita Karier
1.
Dampak positif wanita
karier, antara lain:
a. Dengan berkarier, perempuan dapat membantu meringankan beban keluarga
yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi kebutuhan,
tetapi dengan adanya perempuan ikut berkiprah dalam mencari nafkah, maka krisis
ekonomi dapat ditanggulangi.
b. Dengan berkarier perempuan dapat memberikan pengertian dan penjelasan
kepada keluarganya, utamanya kepada putra-putrinya tentang kegiatan-kegiatan
yang diikutinya sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam kariernya,
putra-putrinya akan gembira dan bangga,bahkan menjadikan ibunya sebagai panutan
dan suri tauladan bagi masa depannya.
c. Dalam memajukan serta mensejahterakan masyarakat dan bangsa diperlukan
partisipasi serta keikutsertaan kaum perempuan karena dengan segala
potensinya,perempuan mampu, dalam hal itu, bahkan ada di antara pekerjaan yang
tidak bisa dilaksanakan oleh laki-laki, dapat berhasil ditangani oleh
perempuan, baik karena keahliannya maupun karena bakatnya.
d. Dengan berkarier, perempuan dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya
lebih bijaksana, demokratis dan tidak otoriter, sebab dengan kariernya itu, ia
bias dan belajar memiliki pola piker yang moderat. Kalau ada problem dalam
rumah tangga yang harus diselesaikan, maka ia segera mencari jalan keluar
secara tepat dan benar.
e. Dengan berkarier, perempuan yang menghadapi kemelut dalam rumah
tangganya atau sedang mendapat gangguan jiwa, akan terhibur dan jiwanya akan
menjadi sehat.
2.
Dampak negatif wanita
karier antara lain:
a. Terhadap anak-anak.
Perempuan yang
hanya mengutamakan kariernya akan berpengaruh pada pembinaan dan pendidikan
anak-anak, maka tidak aneh kalau banyak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kurangnya komunikasi antara ibu dan anak-anaknya bisa menyebabkan keretakan
sosial. Anak-anak merasa tidak diperhatikan oleh orang tuanya, sopan santun
mereka terhadap orang tuanya akan memudar, bahkan sama sekali tidak mau
mendengar nasihat orang tuanya. Pada umumnya, hal ini disebabkan karena si anak
merasa tidak ada kesejukan dan kenyamanan dalam hidupnya sehingga iwanya
berontak. Sebagai pelepas kegersangan hatinya, akhirnya mereka berbuat dan
bertindak seenaknya, tanpa memperhatikan norma-norma yang ada di lingkungan
masyarakat.
b.
Terhadap suami
Istri yang
bekerja di luar rumah setelah pulang dari kerjanya tentu ia merasa capek,
dengan demikian kemungkinan ia tidak dapat melayani suaminya dengan baik
sehingga suami merasa kurang hak-haknya sebagai suami. Ntuk mengatasi
masalahnya, si suami mencari penyelesaian dan kepuasan di luar rumah.
c.
Terhadap rumah tangga.
Kadang-kadang
rumah tangga berantakan disebabkan oleh kesibukan ibu rumah tangga sebagai
perempuan karier, yang waktunya banyak tersita oleh pekerjaannya di luar rumah
sehingga ia tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu rumah
tangga. Hal ini dapat menimbulkan pertengkaran, bahkan perceraian kalau tidak
ada pengertian dari suami.
d.
Terhadap kaum laki-laki
Laki-laki
banyak yang menganggur akibat adanya perempuan karier, kaum laki-laki tidak
memperoleh kesempatan untuk bekerja, karena jatahnya telah direnggut atau
dirampas oleh kaum perempuan.
e.
Terhadap masyarakat
Perempuan
karier yang kurang memperdulikan segi-segi normatif dalam pergaulan dengan lain
jenis dalam lingkungan pekerjaan atau dalam kehidupan sehari-hari akan
menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan suatu masyarakat.
f.
Perempuan
lajang yang mementingkan kariernya kadang-kadang bisa menimbulkan budaya
“nyleneh”, nyaris meninggalkan kodratnya sebagai kaum hawa, yang pada akhirnya
mencuat budaya “lesbi dan kumpul kebo”.[14]
K.
Upaya Penanggulangan Dampak Negatif dari Wanita Karier
Untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya ekses dalam berkarier bagi perempuan
muslimah, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:[15]
1.
Dalam
berkarier, tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban utama sebagai ibu rumah
tangga, yaitu mengurus suami dan anka-anak. Ia harus menomorsatukan
urusan rumah tangga di atas segalanya. Dalam hal ini, perlu adanya pengaturan
yang baik. Kemudian untuk menanggulangi perpecahan keluarga, harus ada izin
suami terhadap dunia karier seorang perempuan sejak awal, karena adanya saling
pengertian antara suami dan istri akan muncul saling keterbukaan dan menanamkan
keikhlasan bekerja demi memperoleh manfaat bersama.
2.
Tidak melampaui batas
kodrat perempuan. Perempuan bekerja yang tidak sesuai dengan kodrat
keperempuannya akan membawa konsekuensi terhadap ketidakseimbangan antara fisik
dan mentalnya. Gejala fisik yang diakibatkan oleh keinginan menjalankan
pekerjaan di luar batas kemampuan adalah keletihan yang dapat menghilangkan
gairah hidup, sedangkan dari segi mental, akan dijumpai gejala kejiwaan,
seperti selalu ingin marah, merasa cemas, sering sedih, serta stres. Stress bisa menimbulkan berbagai konflik dengan suami dan anak, bahkan
dengan orang-orang di tempat kerja.
3.
Tidak melampaui batas-batas dan aturan agama, utamanya dengan lain jenis
dalam lingkungan pekerjaan. Sering menimbulkan fitnah atau pengaruh negatif
terhadap dirinya, rumah tangganya dan rumah tangga lawan jenisnya sebab
hubungan terus-menerus antara laki-laki dan perempuan dalam suatu lingkungan
kerja dapat menimbulkan perbuatan yang mendekati zina. Apabila perempuan karier
tetap menjaga akhlakul karimah dan aturan-aturan agama dalam lingkungan kerjanya,
maka kemungkinan timbulnya fitnah dapat dicegah.
Wanita boleh saja keluar dan berkarier di luar
rumah. Apabila ada keperluan bagi seorang wanita untuk bekerja keluar rumah
maka harus memenuhi beberapa ketentuan syar’i agar kariernya tidak menjadi
perkerjaan yang haram. Syarat-syarat itu
adalah :
1.
Memenuhi adab keluarnya wanita dari rumahnya baik dalam hal pakaian ataupun lainnya.
2.
Mendapat izin dari suami atau walinya. Wajib hukumnya bagi seorang istri untuk mentaati suaminya dalam hal
kebaikan dan haram baginya mendurhakai suami, termasuk keluar dari rumah tanpa
izinnya.[16]
3.
Pekerjaan tersebut tidak
ada kholwat dan ikhtilat
(Campur baur) antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Sebagaimana firman Allah:
#sÎ)ur £`èdqßJçGø9r'y $Yè»tFtB Æèdqè=t«ó¡sù `ÏB Ïä!#uur 5>$pgÉo 4
“Dan apabila kalian meminta pada mereka sebuah keperluan, maka mintalah
dari balik hijab”.(QS. Al Ahzab : 53)
Juga sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لا يخلون رجل
بامرأة إلا مع ذي محرم
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali bersama
mahramnya”.(HR. Bukhori Muslim)
Seorang wanita muslimah agar terlihat istimewa dia harus dapat menjaga
kehormatan dalam pergaulannya. Harus membatasi diri dalam pergaulan. Seorang
wanita apalagi yang sudah mempunyai suami harus hati-hati dengan sesuatu yang
dapat mengakibatkan kemurkaan Allah, salah satunya adalah adanya batasan
pergaulan dengan non-muhrim.
4.
Tidak menimbulkan fitnah
Wanita yang berkarier di luar rumah tidak menimbulkan
fitnah. Hal ini dapat dilakukan dengn cara menutupi seluruh tubuhnya di hadapan
laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang berindikasi fitnah, baik di dalam
berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum).
5.
Tetap bisa mengerjakan
kewajibannya sebagai ibu dan istri bagi keluarganya,karena itulah kewajibannya yang asasi.
6.
Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti
dalam bidang pengajaran, kebidanan, menjahit dan lain-lain.
BAB III
PEREMPUAN DAN
KESETARAAN GENDER
A.
Dinamika
Kehidupan Dan Asal Kejadian Perempuan
Bahkan
Perempuan, sering disebut tulang punggung Negara, karena konon kata orang
bijak, kebaikan perempuan bisa menegakkan negara, namun keburukannya dapat
menghancurkan negara. Artinya,
kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama
persis tanpa pertimbangan selanjutnya, tapi melihat hal dan kewajiban maksimal
yang bisa dilakukan dan didapatkan serta sesuai dengan konteks keperempuanan.
Perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya tidak diciptakan sebagai
pelengkap tanpa maksud. Tetapi betapa perempuan membuat dunia ini menjadi lebih
manusiawi dan berwarna. Perempuan bahkan menjadi simpul majunya suatu
peradaban, yang ditangannya lah arah dan gerak bangsa ditentukan.
Namun demikian
sejak zaman dahulu sampai sekarang penghargaan terhadap perempuan belum pada
proporsi yang sepatutnya, masalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
yang dewasa ini lazim disebut dengan, “kesetaraan
gender”, selalu jadi polemik yang tidak habis-habisnya, disebabkan
karena perempuan sering mengalami perlakuan buruk dalam masyarakat, perempuan
sering diperlakukan sebagai warga kelas dua baik dalam kehidupan social
masyarakat maupun dalam lapangan pekerjaan.
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan
serta memerosotkan kedudukan perempuan dalam masyarakat, disamping pengaruh
perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia yang cendrung mempertentangkan peran laki-laki dan perempuan, faktor lainnya adalah kedangkalan pengetahuan
keagamaan, bahkan tidak jarang agama di atas namakan untuk pandangan yang
merendahkan perempuan.
Berbedakah
asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan
kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah
setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan
benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga? Demikian
sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak
sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam
dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan masyarakat abad
ke-20 ini.
Pandangan-pandangan
tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama
surah Al-Nisa':
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan
pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan lelaki dan perempuan
yang banyak.
Demikian
Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan)
dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa
dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik
yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar
bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya) yang berbunyi:
Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada
perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.
(Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).
Benar
ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan
kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup
banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Muhammad
Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum
kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21)
dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang
keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."
Tulang
rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti
bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan
dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak
sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum
lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka
tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka
berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk
yang bengkok. Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas,
justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya
sejak lahir. Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan :
“ Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak
Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari
kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami
ciptakan.”
Tentu,
kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula
penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya,
baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah
Ali'Imran yang menyatakan:
“ Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain,
dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal
dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni
perempuan) demikian juga halnya."
Kedua
jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari
segi
asal kejadian dan kemanusiaannya.
Dengan
konsideran ini, Tuhan mempertegas :
“ Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195)”.
Pandangan
masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis
oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran
seorang anak lelaki tetapi bersedih
memperoleh anak perempuan.
“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan
kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih
(marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan
"buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir)
apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya
ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka
tetapkan itu “(QS 16:58-59).
Ayat
ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis
segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam
bidang kemanusiaan. Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan
rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada
lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran
Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa
perbedaan, seperti:
“Maka
setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... “(QS 7:20).
“Lalu
keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari
keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... “(QS 2:36).
Kalaupun ada yang
berbentuk tunggal, maka justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), seperti
dalam firman Allah :
“ Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata:
"Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang
tidak akan punah?" (QS 20:120).
Demikian terlihat bahwa
Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan
segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal
kejadiannya.
Tanggal 8 Maret 2011,
kembali kita memperingati Hari Perempuan Internasional, hari yang didedikasikan
untuk perjuangan kaum hawa, hari yang diperingati khusus menandakan bukti bahwa
wanita itu luar biasa, namun kenyataan perjuangan kesetaraan gender yang
digaungkan tidak berakibat apa-apa bagi kebaikan manusia, Hari Perempuan
Internasional tak lebih sekedar seremonial dan isapan jempol belaka, perempuan
tetap sebagai pihak yang tidak dipandang sebelah mata. perempuan masih diangap
dengan stereotipe yang lemah dan menjadi sosok pelengkap.
Ironisnya lagi tidak
hanya kau pria yang berpikiran seperti itu, tetapi juga perempuan yang tidak
percaya diri, bergantung pada lawan jenisnya untuk mengetahui apa yang namanya
kebahagiaan hidup dan kurang meyakini bahwa sebenarnya perempuan tidak diciptakan
berbeda dengan kaum pria. Mereka termakan pola berpikir bahwa peran perempuan
terbatas pada dapur, sumur dan tempat tidur, sehingga pada akhirnya hal di luar
itu menjadi tidak penting. Sosok perempuan yang berprestasi dan menyeimbangkan
antara keluarga dan karier kerja menjadi sangat langka ditemukan.
Perempuan
seringkali takut untuk berprestasi karena tuntutan pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga yang tidak bergaji dan tidak pernah berhenti, atau perempuan lainnya
yang terlalu fokus untuk urusan luar rumah dan terbengkalai untuk keharmonisan
keluarganya. Keseimbangan untuk urusan internal keluarga dan pencapaian diri
yang terus meningkat semakin sulit untuk digapai. Selain tugasnya yang banyak
dan tentunya tidak mudah. Perempuan pun terikat banyak aturan dan pembatasan.
Misalnya saja, perempuan harus seperti ini dan harus seperti itu, sehingga
membuat perempuan semakin tua semakin tidak produktif.
Pandangan
seperti ini harus dirubah, karena sudah tidak masanya lagi perempuan yang
sukses adalah perempuan yang diam di rumah saja dan menganggap kontribusi untuk
dunia luar tidaklah penting, karena sedikit apapun kontribusi yang bisa kita
lakukan untuk lingkungan adalah modal dan harta kita untuk mampu berbuat lebih
banyak, bahwa seorang perempuan tidak hanya bertanggung jawab untuk keunggulan
keluarganya, tetapi juga bagaimana menjadi ibu peradaban yang membangun
generasi super dalam perannya sebagai seorang ibu yang melelahkan dan tak
mengenal batas waktu serta mampu menyeimbangkan semuanya dan tetap mencapai
target target diri merupakan nilai tambahan yang membuatnya lebih unggul
dibanding kaum pria. Pun dengan segala aturan dan batasan yang dimiliki, semua
norma dan nilai yang berlaku di masyarakat adalah panduan yang menjamin
keselamatan dan kebaikan bagi kaum perempuan. [17][1]
B.
Gender dan
Birokrasi
Kata gender (dibaca
jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin baik perempuan
maupun laki-laki (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983). Jender adalah
perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai
dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwa
gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalah hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya Sex
and Gender: an introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for
women and men). Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik,
emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan
perkasa. Menurut (Fakih, 2003) makna kata ini sebagai sifat yang melekat pada
kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstuksi secara sosial dan kultural. Sifat
ini bukan sifat bawaan akan tetapi sifat yang terbentuk karena pengaruh proses
sosial dan kultural. Sebagai contoh anak atau orang yang lahir dan dibesarkan
di desa yang jauh keramaian dan pergaulan akan cenderung kurang percaya diri,
atau apabila ia dikurung ia pasti akan berbicara halus dan pelan, sanagat
sopan, dan rendah hati. Karena sifat itu akan melekat hanya karena proses,
bukan karena dikodratkan, sifat itu bisa dipertukarkan.
Sekelompok sifat di atas, karena telah menjadi ciri yang
telah berlangsung lama, dianggap melekat pada diri laki-laki dan perempuan dan
bersifat biologis. Di sisi lain, perempuan menganggap bahwa dirinya memang
demikian dan di sisi lain, kaum laki-laki mengaganggap lebih unggul dari lawan
jenisnya. Lanjut Fakih, perbedaan jender yang telah lama ada berlangsung terus
menerus, turun menurun dari generasi ke generasi seolah telah menjadi sifat dan
ketentuan Tuhan. Karena perempuan cenderung
menganggap bahwa perbedaan tersebut adalah hal yang kodrati, maka mereka sering
merasa kalah dari laki-laki. Di dunia kepemimipinan, meskipun perempuan yang
memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki, akan tetapi mereka enggan
tampil di depan, belum bias menerima kelompoknya sendiri menjadi pemimipinnya,
lebih suka rutinitas dan cenderung menghindari tantangan dan tanggung jawab
yang lebih besar. Di mata kaum laki-laki, mereka masih sering dipertanyakan dan
diragukan kepemimpinannya (Susanto, 1998). Lanjut Fakih
untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks
(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian
dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada
jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia
yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut : laki-laki adalah manusia
yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi
sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran
untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat
menyusui. Secara biologis alat-alat tersebut tidak bias dipertukarkan antara
alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara
permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan
sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Pada bagian lain yang hampir serupa
Shadily dalam Ihromi (2000) membedakan antara antara gender dan jenis kelamin.
Menurutnya istilah jender serimg diartikan sebagai jenis kelamin (seks).
Kedua istilah memang mengacu pada perbedaan jenis kelamin, tetapi istilah seks
terkait pada komponen biologis.artinya : masing-masing jenis kelamin (laki-laki
dan perempuan) secara biologis berbeda dan sebagai perempuan dan laki-laki
mempunyai keterbatasan dan kelebihan tertentu berdasarkan fakta biologis
masing-masing. Misalnya : seorang yang berjenis kelamin perempuan bisa
mengandung, melahirkan dan mempunyai air susu ibu (ASI). Seorang yang secara
biologis dilahirkan sebagai laki-laki mempunyai sperma.
Perbedaan
biologis masing-masing merupakan pemberian Tuhan, dan tidak mudah untuk diubah.
Sebaliknya, jender, adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seorang.
Atau : jender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap dan
perilaku seseorang yang ia pelajari. Yang dipelajari biasanya berbagai sifat
dan perilaku yang dianggap pantas bagi dirinya karena ia berjenis kelamin
perempuan atau laki-laki. Sifat-sifat
seperti “feminitas” bagi perempuan dan “maskulinitas” bagi laki-laki ditentukan
oleh lingkungan budayanya. Melalui apa yang diajarkan orang tuanya, guru-guru
sekolahnya, guru agamanya, dan tokoh masyarakat dimana seorang tergabung.
Artinya : jender seorang diperoleh melalui suatu proses yang panjang,
sebagai hasil belajar seorang sejak ia masih usia dini.
C.
Perempuan
Arab Pada Masa Jahiliyah.
Adapun pandangan Bangsa Arab pada masa jahiliyah tentang
perempuan mereka menganggap perempuan bagaikan barang atau
budak. Jika suaminya meninggal maka wali suaminya akan datang dan mengenakan
pakaiannya,dengan demikian si perempuan tidak dapat menikah kecuali dengan
persetujuan oleh wali itu, terkecuali jika ia bisa menebus dirinya dengan
harta. Kekejaman orang jahiliyah terhadap kaum perempuan ,juga tdk membiarkan
kaum perempuan untuk hidup. Jika seorang istri melahirkan anak perempuam, maka
sang suami akan langsung mengambilnya, dibuat lubang baginya lalu dikubur
hidup-hidup, tanpa mempedulikan jerit tangis sang anak. Itulah sebagaimana yang Allah kisahkan tentang mereka :
"Apabila bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup
ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh" (Q.S.At-Takwir : 8-9).
Karena
kebenciannya kepada bayi perempuan, seorang ayah akan marah besar bila
mendengar yang lahir adalah anak perempuan, wajahnya akan merah padam, dunia
menjadi sempit dan pandangannya gelap, sehingga hampir-hampir ia tidak sadar
dengan apa yang sedang dihadapannya. Allah menggambarkan :
"Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar
dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah,
ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yg di
sampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup) ? Ketauhilah, alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu." (QS.An-Nahl:58-59)
Perlakuan
buruk lainnya adalah mereka memerintahkan dan menjajakan budak-budak perempuan
mereka untuk melacur agar mereka dapat memetik keuntungan dari pelacuran itu.
Di depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera merah, supaya
orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan mendatanginya.
Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah berupa harta yang
sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya. Allah menurunkan ayat yang melarang
akan hal itu :
"Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu
untk melakukan pelacuran sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi .Dan barang siapa yg memaksa mereka,
maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa itu" (QS.An-Nuur:33)
Lebih
dari itu Alquran juga mengisahkan tentang keburukan akhlak para perempuan
dizaman jahiliyah. Perempuan suka berdandan dengan pakaian laki-laki, sering
memamerkan auratnya, senang untuk melacurkan dirinya dan banyak memiliki
kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada
perempuan mukminah agar mereka tidak mengikuti budaya dan tingkah laku
jahiliyah. Allah berfirman:
"Dan hendaklah kamu menetap dirumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang terdahulu."
(QS.Al-Ahzab:33)
Perlakuan
buruk lainnya bangsa Arab terhadap perempuan adalah melakukan ; ” Nikah istibdha’. Jika
istri dari salah seorang lelaki di antara mereka selesai haid kemudian telah
bersuci maka lelaki termulia serta paling bagus nasab dan tata kramanya di
antara mereka boleh meminta wanita tersebut. Tujuannya, agar sang wanita bisa
disetubuhi dalam kurun waktu yang memungkinkannya melahirkan anak yang mewarisi
sifat-sifat kesempurnaan si lelaki yang menyetubuhinya tadi.
Demikian
kondisi kaum perempuan dimasa jahiliyah, keadaan mereka tidak lebih dari
makhluk tanpa harga diri, yang kehilangan hak dan kepemilikannya.
D.
Kepemimpinan
Perempuan
Beberapa
perkembangan konsep kepemimpinan yang layak dicatat adalah :
·
Trait Approach
: Pendekatan ini menekankan evaluasi dan seleksi kepemimpinan didasarkan pada
karakteristik fisik, mental dan psiologis. Kelemahannya tidak ditemukan
karakteristik spesifik yang membedakan pemimpin efektif dan tidak efektif.
·
Behavioral
Theories : Menekankan evaluasi kepemimpinan efektif berdasarkan
behavior dan fokus pada fungsi dan tipe kepemimpinan.
·
Situational Leadership : Pendekatan ini menyatakan tidak ada tipe kepemimpina yang
cocok untuk diterapkan dalam segala situasi. Sehingga
perilaku kepemimpinan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Beberapa teori yang dikemukakan adalah Path Goal ( keterkaitan
performansi dengan reward ), Tannenbaum & Schmidt's Leadership
Continum ( orientasi kepemimpina berdasarkan derajat otoritas dan
derajat kebebasan ), Fiedler's Contingency Theory ( kepemimpinan
berdasarkan relationship dan task ), dan Vroom & Yelton's
Normative Theory ( kepemimpinan dan pengambilan keputusan ).
Dalam dunia
usaha, sampai saat ini wanita ternyata masih ketinggalan dibandingkan dengan
laki – laki. Terutama dalam kaitan dengan posisi puncak , hanya ditemukan
hamper satu wanita dari 10 orang anggota komite eksekutif atau dewan direktur
diberbagai belahan dunia. Dalam hal ini representasi di Amerika lebih
menggembirakan dibandingkan dengan di Eropa dan Asia. Sebuah studi baru yang
dilakukan terhadap 300 perusahaan terbesar di dunia dalam ukuran kapitalisasi
pasar ( 100 di Eropa, 100 di Amerika dan 100 di Asia ) menemukan jumlah
perempuan yang duduk ditingkat dewan dan komite eksekutif di Amerika dan Kanada
dua kali lebih besar dibandingkan di Eropa. ( PortalHR, 2006 ).
Ada perbedaan
dalam kepemimpinan perempuan dan laki-laki. Dalam menjalankan peran sebagai
pemimpin, perempuan mempunyai karakteristik, yaitu percaya diri, disiplin,
memimpin orang lain bukan menguasai orang lain, bersikap tegas, bekerja untuk
kepentingan orang lain, kerja keras, berkompetensi diri, dan bertanggung jawab
terhadap pekerjaan. Karakteristik ini pun dikemukakan Cantor dan Bernay (1998)
dalam Women in Power, yang mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan sebagai
perpaduan antara kompetensi diri, agresi kreatif, dan kekuasaan perempuan.
Anita Roddick
dalam Helgesen (1990) Female advantage, women''s ways of leadership mengatakan,
perempuan dalam memimpin tidak menghiraukan adanya jenjang hierarki, tetapi
menganggap staf sebagai "teman" yang dihargai, yang disebut Roddick
feminine principles. Dalam penjelasannya, De Beauvoir memaparkan, penindasan
terhadap perempuan itu ada karena perempuan bekerja tetap diharapkan memainkan
peran sebagai istri dan ibu. Kedua
peran itu menuntut kewajiban yang berhubungan dengan urusan domestik. Bagi
perempuan, bekerja merupakan salah satu cara menunjukkan eksistensi dirinya di
tengah masyarakat. Feminisme eksistensialis menganggap bahwa dengan bekerja,
perempuan menolak menjadi objek atau liyan. De Beauvoir menyebut empat strategi
perempuan untuk dapat mengaktualisasikan, yaitu bekerja, menjadi intelektual,
menjadi transformator dalam masyarakat, dan menolak internalisasi sebagai objek
atau liyan dalam bentuk apa pun. Perempuan yang sedang meniti karier selalu
berupaya mengatasi hambatan dan kegagalan yang dia hadapi sementara biasanya
untuk kegiatan domestik mendapat bantuan orang lain, seperti menitipkan anak
kepada orangtua atau pekerja rumah tangga. Bagi Eisenstein, adanya reformasi
pada birokrasi tidak hanya adanya perempuan di level atas struktur, tetapi
harus ada keterlibatan perempuan dalam penyusunan kembali institusionalisasi
yang ada yang berkaitan dengan peran jender. Widaningrum (1999) juga
berpendapat, adanya hierarki wewenang dalam birokrasi sangat bertentangan
dengan ide dasar feminisme, yaitu demokrasi. Posisi perempuan yang masih
didominasi laki-laki akan mereproduksi masyarakat patriarki jika tidak diberi
perspektif perempuan. Dalam konteks ini, diperlukan pimpinan yang mempunyai
visi dan misi yang jelas keberpihakannya kepada perempuan.
1.
BAB IV
KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER
DALAM PANDANGAN ISLAM
Sebagai agama yang kaffah, Islam tidak hanya
melingkupi dan mengatur perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,
tetapi juga dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan alam,
termasuk di dalamnya tentang bekerja yang tampaknya bersifat duniawi. Bekerja
adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak anggota
tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik dilakukan secara perseorangan
atau secara kolektif, baik untuk pribadi ataupun untuk orang lain (dengan
menerima gaji).
Dalam dunia ekonomi, bekerja merupakan sendi utama
produksi selain alam dan modal. Hanya dengan bekerja secara disiplin dan etos
yang tinggi, produktivitas s8uatu masyarakat menjadi tinggi. Semakin tinggi
produktivitas, semakin besar kemungkinannya bagi masyarakat itu untuk mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran.
Manusia diciptakan Allah SWT, sebagai makhluk yang
mempunyai kebutuhan berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan keturunan.
Sementara itu Allah SWT, tidak menyediakan kebutuhan-kebutuhan itu dalam
bentuknya yang siap makan, siap minum atau siap pakai. Allah SWT menyediakan
semua kebutuhan itu, tetapi manusia harus bekerja untuk mendapatkannya, tak
terkecuali para nabi.
Menurut Islam bekerja yang tampaknya bernuansa duniawi
dapat bernilai ibadah bila dilakukan dengan tujuan yang benar: yaitu mencari
ridla Allah SWT, dan mendapatkan keutamaan dari hasil kerjanya. Hal ini sesuai
dengan Firman Alllah SWT, dalam surat al-Jum’ah : 10.
”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.”
Seiring dengan itu perlu ditumbuhkan suatu kesadaran akan
pentingnya kapabilitas bekerja dengan berusaha bagi setiap individu baik pria
maupun wanita, karena terwujud kemitraan pria dan wanita berhajat kepada adanya
kerjasama dan keterpaduan dalam memikul tanggungjawab mereka.
Dan manakala kita mencermati kondisi dalam kehidupannya
selama ini, maka akan kita jumpai sebagian suami mereka ternyata tidak
berkemampuan menanggung biaya hidup keluarga, bahkan kebanyakan orang tua/wali
tidak sanggup menanggung beban hidup seorang anak wanita beserta anak-anaknya
ketiak ia diceraikan suaminya atau menjadi janda karena ditinggal mati oleh
suaminya.
Dalam kondisi seperti ini seorang wanita dapat dikatakan
wajib terjun ke dunia profesi (karier) untuk menanggung biaya hidupnya beserta
keluarganya karena sipenanggung jawab sudah tiada/tidak berdaya. Sementara
dalam kesempatan lain seorang wanita disunahkan melakukan kegiatan profesi.
Manakala kegiatan profesi (karier) dilakukan sejalan dengan tanggung jawab
keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan yang luhurnya membantu suami,
ayah, atau saudaranya yang miskin, mewujudkan kepentingan masyarakat banyak,
berkorban pada jalan yang baik dan sebagainya.
Setelah
mencermati berbagai motif berkarier bagi wanita maka penelusuran selanjutnya
diarahkan pada pandangan Islam terhadap karier wanita. Sebagaimana telah diuraikan
terdahulu, bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban yang sama dengan pria, wanita
juga mempunyai peluang berkarier sebagaimana pria. Cukup banyak ayat Al-Qur’an
maupun hadis Nabi yang memberikan pemahaman esensial: bahwa Islam mendorong
wanita maupun pria untuk berkarier. Dalam surat an-Nisa : 32, Allah SWT
berfirman :
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dalam beribadah maupun
berkarya, wanita memperoleh imbalan dan pahala yang tidak berbeda dengan pria. Islam tidak
membedakan pengakuan dan apresiasi terhadap kinerja atasa dasar jenis kelamin.
Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan dicapai jika usaha dilakukan secara
maksimal disertai do’a. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa wanita bisa
berkarier dan dapat mencapai prestasi sama dengan pria atau bahkan melebihinya;
bergantung pada usaha dan doanya.
Penegasan Allah SWT bahwa wanita dan pria diberi hak dan
peluang yang sama baik dalam hal beramal, bekerja maupun berprestasi dapat
disimak pula dalam Q.S. An-Nisa : 124 berikut ini:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik
laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
Beberapa ayat Al-Qur’an tersebut cukup menjadi bukti
bahwa ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita. Islam memberikan motivasi
yang kuat agar para musliamah mampu berkarier di segala bidang sesuai dengan
kodrat martabatnya. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan,
ketertinggalan dan perbudakan. Dengan demikian, Islam memang agama pembebasan
dari perbudakan antar manusia maupun hawa nafsunya. Konsep ini selaras dengan
prinsip kebebasan yang dianut barat. Hanya saja, melalui Islam manusia dituntun
hidup bebas sesuai dengan tuntunan Tuhan.
Masalah yang timbul kini berkaitan dengan keterlibatan
wanita dalam dalam dunia profesi (karier) yang ruang geraknya disektor publik,
sedangkan di sisi lain wanita sebagai ra’iyah fi baiti zaujiha
(penanggungjawab dalam masalah-masalah intern rumah tangga), cukup menimbulkan
pendapat yang kontroversial di kalangan cendekiawan muslim. Abbas Mahmud
al-Aqqad misalnya, tidak memperbolehkan wanita (istri) bekerja di luar
rumah. Alasannya karena pria telah diberi kelebihan kemampuan dalam menghadapi
hidup daripada wanita. Karena itu ”kerajaan” wanita terletak di rumah tangga,
meskipun ia memiliki kesanggupan intelektual maupun fisik yang sama dengan
pria, namun dalam kondisi tertentu wanita harus mundur dari perjuangan hidup
selama hamil, melahirkan, dan menyusui anak. Kecuali bila wanita terpaksa harus
mencari nafkah sendiri, maka al-Aqqad membolehkan wanita bekerja. Mustafa
al-Siba’i sependapat dengan al-Aqqad, yakni membolehkan wanita bekerja manakala
tidak ada seseorang yang menjamin nafkah padanya. Itupun hanya
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang relatif mudah wajar dan tidak mengandung
resiko. Bainya wanita lebih terhormat untuk tinggal di rumah terutama bila yang
bersangkutan mempunyai anak.
Dalam kegiatan sosial maupun politik, meskipun tidak ada
larangan secara eksplisit, namun pada masa Rasul SAW, dan masa Sahabat tidak
ada wanita yang berprofesi sebagai politikus. Keterlibata
mereka di medan perang untuk menjadi perawat dan juru masak sekedar partisipasi
dan bukan pemegang posisi strategis. Ia beranggapan bahwa wanita yang bekerja
di luar rumah, lebih banyak maaratnya dibandingkan manfaat yang diraihnya,
yaitu mendatangkan fitnah yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan rumah
tangganya.
Abdurahman Taj berpendapat bahwa apabila seorang istri
bekerja sehari penuh atau sebagian waktu siang, kemudian pada malam hari
berada di rumah (suaminya) atau bekerja di malam hari dan menggunakan
sisa waktu malamnya bersama suami; maka apabila hak suami rela dengan keadaan
tersebut, gugurlah haknya dalam menahan istri agar tinggal di rumah dan ia
wajib memberinya (istri) nafkah, sebaliknya manakala ia (suami) tidak rela maka
ia tidak (wajib) memberinya (istri) nafkah. Bahkan apabila suami pada mulanya
rela istri bekerja lantas berubah pikiran untuk mencegahnya dan manakala
istrinya menolak untuk berhenti bekerja, maka gugurlah kewajiban suami memberi
nafkah.
Bila dicermati dengan seksam maka pendapat-pendapat
tersebut dapat digolongkan kepada paham fungsionalistik, yang mengutamakan
keseimbangan, keharmonisan dan kestabilan, karena itu agar tidak terjadi
konflik dalam keluarga akibat persaingankarier (suami-istri) maka harus ada
pembagian tugas yang sedemikian rupa yang menempatkan suami dalam fungsi instrumental
dan istri dalam fungsi ekspresif.
Sedangkan dipihak lain antara lain al-Hatimi menyatakan
bahwa wanita boleh bekerja, bahkan dibolehkan menduduki jabatan
strategis/peranan penting di masyarakat dengan catatan tetap tunduk pada ajaran
syariat yang menghidupi kesuciannya serta tidak menelantarkan peran utamanya
sebagai ibu rumah tangga. Pendapatnya bertolak dari historis tentang
partisifasi para wanita di zaman Nabi SAW, dalam peperangan, misalnya:
”mengangkat/menyediakan air minum para prajurit, memasak/menyediakan makanan,
menjaga/merawat prajurit yang sakit, menjaga dan memelihara kenadaraan,
memata-matai musuh, menjahit pakaian dan sebagainya”.
Seorang wanita yang bernama Ummu ’Atiyah ikut berperang
bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali sebagaimana pengakuannya yang termaktub
dalam Hadis berikut: Dari Ummu ’Atiyah al-Anshariyyah berkata, ”Saya
berperang bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali; aku membantu mereka
(pasukan) dalam barak mereka dengan menyiapkan makanan mereka, mengobati yang
terluka, dan menjaga yang sakit”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi wanita yang ikut terjun ke medan
perang, misalnya Safiyah binti Abdul Muthalib seorang wanita pemberani dan
sangat perkasa, sehingga dengan pukulannya yang kuat ia bisa membunuh mata-mata
dari umat Yahudi.
Dengan fakta-fakta historis tersebut maka tidak perlu ada
lagi alasan-alasan yang mengahalangi/melarang seorang wanita terjun dalam profesi
apapun, manakala tidak keluar dari koridor kewajaran menurut syariat Islam dan
tidak meninggalkan/ mengabaikan tugas utama mereka sebagai ibu rumah tangga.
Dalam keluarga Rasulullah SAW, empat orang dari
istri-istri beliau juga profesional dalam menjalankan tugasnya. Mereka itu
adalah:
- Aisyah r.a. Guru ilmu kedokteran yang mahir di bidang pengobatan, ahli sejarah dan juga sastra, ahli ilmu-ilmu agama, ahli ilmu politik bahkan pernah menjadi Panglima dalam Perang Jamal. Setelah Nabi SAW, wafat beliau mengajar di kediamannya. Dengan demikian Aisyah dapat dikategorikan sebagai cendekiawan, ulama dan budayawan. Aisyah adalah tokoh msyarakat di zamannya yang tidak kalah dengan sahabat-sahabat Nabi lainnya.
- Hafsah. Guru al-Qur’an dan pengetahuan umum. Beliau terkenal cerdas dan pernah terlibat dalam kegiatan politik. Bersama Aisyah pernah memberikan teguran kepada Khalifah Utsman r.a. Hanya karena dihalangi adiknya (Abdullah bin Umar r.a), beliau tidak ikut terjun dalam Perang Jamal. Bagaimana kelebihannya di mata umat terlihat dari kepercayaan mereka kepada Hafsah untuk menyimpan naskah al-Qur’an yang ditulis di zaman Abu Bakar r.a.
- Ummu Salamah. Guru ilmu politik dan hubungan antar bangsa ketika Nabi menghadapi situasi kritis menghadapi umat Islam yang kecewa dengan Perjanjian Hudaibiyah dan tidak mau ber-tahallul. Ummu Salamah lah yang tampil untuk memberi saran kepada Nabi untuk bersikap tegas memulai tahallul yang kemudian semua sahabat mengikuti tahallul.
- Zainab binti Zahsy. Adalah guru keterampilan terutama kerajinan tangan. Sedangkan istri-istri yang lain yaitu Saudah, Safiyah, Juwairiyah, Ummu Habibah, dan Maimunah berperan menjadi ibu rumah tangga murni.
Tokoh lain yang membolehkan wanita bekerja di luar rumah
adalah al-Sakhawi yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang mempunyai keahlian
atau kepandaian tertentu, seharusnya diabdikan kepada masyarakat agar
manfaatnya menyebar kepada orang banyak. Jamal al-Din Muhammad Mahmud
sependapat dengan al-Sakhawi bahwa wanita berhak mendapatkan kesempatan untuk bekerja
(di sektor publik) apabila yang bersangkutan membutuhkan pekerjaan itu, atau
pekerjaan tersebut membutuhkan orang-orang seperti dia (dalam keahlian
tertentu) bahkan seharusnya dibuat undang-undang yang sesuai dengan hukum Islam
untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan pekerja-pekerja wanita itu.
Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
oleh wanita dalam meniti karier di luar rumah. Antara lain:
- Pergaulan Wanita
Tidak dapat diingkari Islam merupakan agama yang syamil
(utuh dan sempurna). Tak satu pun aspek kehidupan manusia yang tidak diatur
dalam sumber hukumnya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW; maka dalam hal ini
tidak bisa tidak, setiap pembicaraan tentang wanita dalam Islam tentu akan
”memaksa” kita untuk merujuk kepada al-Qur’an dan Hadist. Disini kehidupan
muslimah, peran dan tanggung jawabnya dalam keluarga serta masyarakat tidak
luput dari jangkauan Islam. Jadi dapat dikatakan muslimah dalam segala
gerak-geriknya terikat dengan nilai-nilai keislaman, suatu ikatan yang tidak
membelenggu fitrahnya, melainkan justru akan membawa kepada kebahagiaan hakiki.
Berbicara mengenai al-Qur’an dan hadits sebagai sumber
hukum, tentu juga tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai fikih yang
mempunyai nilai normatif dan historis. Fikih dalam hal ini harus juga dibedakan
dengan syariah. Karena pada kenyataannya realitas kehidupan manusia yang nampak
(umat Islam), adalah merupakan cermin dari berbagai refresentasi fikih yang
ada. Adanya pembedaan sistem dan pola relasi, menunjukkan adanya perbedaan
pemahaman terhadap nash al-Qur’an dan sunnah dalam bentuk fikih sebagai produk
hukum. Jadi dalam konteks kehidupan wanita, realitas kehidupan muslimah yang
ada merupakan bentuk fikih wanita ”yang hidup” karena segala seluk beluk yang
menyangkut masalah kehidupan termasuk pola relasi mereka dengan pria, berangkat
dari nash al-Qur’an dan hadits yang terimplementasi dalam bentuk fikih.
Sayangnya fikih yang dijadikan acuan normatif oleh sebagian besar komunitas
muslim, sangat diwarnai semangat patriarki, sehingga cenderung menempatkan
posisi wanita yang tidak seimbang dengan pria dalam berbagai sektor kehidupan.
Untuk itu dalam membicarakan pergaulan wanita seyogyanya bukan fikih yang
semata-mata dijadikan acuan, apalagi fikih klasik. al-Qur’an dan hadist lebih
memberikan pencerahan dalam membicarakan persoalan yang senantiasa aktual ini.
Berkaitan dengan pola pergaulan muslimah, al-Qur’an dan
hadits telah memaparkan dengan jelas ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi
oleh setiap muslimah. Dalil-dalil ini juga telah dikutip oleh para ”ulama”
sebagaimana tertuang buku-buku fikih. Dari berbagai ayat dan sabda Nabi, dapat
disimpulkan prinsif-prinsif dasar yang menjadi landasan pola pergaulan
muslimah.dalam hubungan ini, hal-hal berikut ini perlu direnungkan.
Salah satu ayat al-Qur’an (Surat Al-Ahzab/33 : 33)
menyatakan wanita diperintahkan untuk tinggal dirumah dan tidak diperkenankan
keluar rumah dengan tabarruj seperti orang-orang jahiliyah.
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”
Namun dilihat dari asbab al nujulnya, ayat ini
turun dalam konteks istri-istri Nabi. Istri-istri Nabi SAW diperintahkan untuk
tetap berada di rumahnya kecuali ada keperluan yang bersifat darurat, dan ini
juga berlaku pula bagi wanita muslimah lainnya jika tidak ada dalil lain yang
menyatakan berbeda. Ayat ini diturunkan untuk melindungi dan memuliakan wanita.
Untuk kehidupan masa kini, meninggalkan rumah bagi
sebagian wanita muslimah tidak hanya darurat tetapi merupakan kebutuhan. Bahkan
meninggalkan rumah untuk berkarier, sama sekali tidak menjadikan wanita
terancam; bahkan bisa ”mulia” menurut persepsi masyarakat. Dengan kata lain
wanita yang berkarier dan sukses justru dinilai positif dan direspek tentu saja
selama wanita itu memegang teguh nilai-nilai Islam, baik dalam pergaulan,
pakaian maupun dalam bekerja.
Dalam berinteraksi dengan kaum pria, wanita diperintahkan
untuk merendahkan suaranya, dan dilarang mengekspresikan suara yang menimbulkan
rangsangan bagi pria selain muhrimnya. Firman Allah:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213]
dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[1214]
dan ucapkanlah perkataan yang baik,” (Q.S. Al-Ahzab/33:32)
Masih terkait dengan interaksi wanita-pria, wanita tidak
diperkenankan berduaan dengan pria bukan muhrimnya, demikian pula
sebaliknya. Dalam sebuah hadits disebutkan: Dari Uqbah bin Amir dari Nabi
SAW mengatakan, ”Tidaklah seorang pria berkhalwat (berduaan) dengan seorang
wanita, kecuali setan yang ketiga diantara mereka”. (HR. Bukhari, Ahmad dan
At-Turmudzi).
Ketika berjalan, wanita harus menunjukkan sikap tawadu,
penuh rasa malu namun sopan dan tidak menampakkan kelemahan yang bisa mendorong
pria untuk menggodanya. Tidak boleh memakai sesuatu yang menimbulkan suara
ketika berjalan, sehingga menarik perhatian orang yang mendengarnya, seperti
memakai gelang kaki, sepatu yang bisa menimbulkan suara dan sebagainya. Dalam
al-Qur’an dinyatakan:
“…Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur :
31)
Wanita hendaknya tidak berdesakan dengan pria di jalan.
Ketika berjalan berbaur dengan orang banyak, dimana sebagian mereka adalah
pria, maka hendaknya wanita di bagian belakang.
Wanita juga tidak boleh memakai wewangian dan aneka macam
alat kecantikan yang bisa menarik perhatian lawan jenis.
Islam telah menggariskan etika sempurna tentang peran
wanita dalam kehidupan sosial dengan segala konsekuensinya, seperti harus
bertemu dengan kaum pria. Dalam hal ini terdapat beberapa faktor
yang menjadi karakter dasar etika tersebut, diantaranya:
- Tidak menghambat proses keseriusan hidup serta tetap mempertahankan akhlak dan harga diri manusia.
- Menumbuhkembangkan kesejahteraan dan kemakmuran, menjauhkan manusia dari kemunkaran sekaligus menempanya sehingga tidak terseret arus kejahatan.
- Menjamin kesehatan mental pria dan wanita secara merata, karena tidak membuka peluang bagi sikap berlebihan, melanggar norma suslila, atau memancing syahwat. Selain itu, etika itupun tidak menimbulkan sikap pura-pura malu, tidak menimbulkan perasaan sensitif yang berlebihan terhadap lawan jenis, serta tidak menjadikan seorang wanita menutup diri dari seorang pria.
- Ketentuan Berbusana dalam Islam
Sebagai muslimah wanita yang menekuni karier juga harus
menjunjung tinggi nilai-nilai yang berhubungan dengan tata busana atau pakaian.
Pakaian
merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia disamping makan dan tempat
tinggal. Pakaian merupakan penutup yang dapat menyembunyikan hal-hal yang
membuatnya malu (aurat) bila dilihat orang lain. Inilah fungsi dasar mengapa
manusia mengenakan pakaian, dimana pada hakikatnya menutup aurat adalah fitrah
manusia yang diaktualisasikan saat ia memiliki kesadaran.
Selain untuk menutup aurat, pakaian juga berguna sebagai
pelindung untuk menjaga kesehatan tubuh. Ia juga berfungsi sebagai
perhiasan. Pakaian sebagai perhiasan adalah pakaian yang membuat pemakainya
memiliki warna keindahan. Namun tidak kalah pentingnya adalah pribadi yang
dibungkusnya, termasuk di dalamnya perangai dan hati yang ada di dalamnya.
- Pakaian sebagai Penutup Aurat
Salah satu usaha preventif agar tidak timbul madarat
bagi wanita yang dalam tugas kesehariannya berada di tengah komunitas pria
adalah perlunya menegakkan perintah (wajib) menutup aurat atau dengan
kata lain berbusana yang islami, dengan beberapa alasan antara lain: Pertama,
menutup aurat oleh wanita merupakan faktor penunjang utama kewajiban pria untuk
menahan pandangan yang diperintahkan Allah SWT. Kedua, menutup aurat menjadi
wajib karena sad al-zara’i yaitu menutup pintu kepada dosa yang lebih
besar seperti berzina, sebagaimana tertuang di dalam QS. al-Isra/17 : 32 :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan dosa yang besar”.
Oleh karena itu, para ulama sepakat mengatakan, menutup
aurat hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik pria maupun wanita.
Busana yang dikenakan sehari-hari di ruang publik bagi
wanita karier khususnya dan wanita pada umumnya, hendaknya memenuhi kriteria
sebagai berikut:
- Busana yang menutup seluruh aurat yang wajib ditutup.
- Busana yang tidak menyolok mata dan menjadi kebanggaan pemakainya di depan orang lain.
- Busan yang tidak tipis, agar warna kulit pemakainya tidak nampak dari luar.
- Busana yang agak longgar/tidak terlalu ketat agar tidak menampakkan bentuk tubuhnya.
- Busana yang tidak menyerupai/sama dengan busana untuk pria.
- Busana yang bukan merupakan perhiasan bagi kecantikan yang menjadi alat kesombongan/tabarruj.
- Pakaian sebagai Perhiasan
Salah satu tujuan manusia mengenakan pakaian, adalah
sebagai perhiasan, yaitu sesuatu yang dipakai untuk memberikan kesan keindahan
pada diri pemakainya. Sekalipun keindahan merupakan dambaan manusia,
kriterianya adalah relatif, bergantung dari sudut pandang masing-masing individu.
Hal ini merupakan salah satu sebab al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci apa
yang dinilainya indah. Ukuran keindahan itu relatif, sehingga para perancang
busana memunculkan berbagai model pakaian yang dinilai indah untuk dipakai
termasuk oleh wanita muslimah.
Berhias
adalah naluri setiap manusia, baik pria maupun wanita. Islam tidak pernah
melarang apapun yang sifatnya naluriah, karena Islam adalah agama yang
ajaran-ajarannya sejalan dengan naluri manusia. Yang menjadi concern Islam
adalah mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan naluriyah itu sedemikian rupa,
sehingga berlangsung dengan cara yang baik dan hormat.islam memberi tuntunan
yang harus diperhatikan agar orang menjauhi kesombongan dan berlebih-lebihan (israf)
dalam berhias, termasuk dengan pakaian yang ingin dikenakan.
- Jilbab Penunjuk Identitas Muslimah
Pakaian
dapat menunjukkan identitas serta membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan
tidak jarang dapat membedakan status sosial seseorang. Di sisi lain, pakaian
memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya. Orang yang mengenakan kostum olah
raga akan terdorong semangatnya untuk berolah raga. Begitu pula,
orang yang memakai pakaian tidur akan terangsang untuk tidur. Wanita yang
memakai busana muslimah atau pria yang bersarung dan bersurban akan terdorong
untuk merasa malu berbuat maksiat. Meskipun harus diakui, pakaian tidak
menciptakan ”santri”, tetapi ia dapat mendorong pemakainya untuk ”berprilaku
santri”. Pakaian terhormat mengundang seseorang untuk berprilaku dan mendatangi
terhormat, sekaligus mencegahnya berbuat dan mendatangi tempat-tempat yang
tidak baik. Inilah
salah satu tujuan al-Qur’an memerintahkan wanita-wanita muslimah memakai
jilbab. Jilbab bagi wanita merupakan gambaran identitas seorang muslimah,
sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Ahzab
: 59)
Jilbab adalah kain luar yang berfungsi untuk menutup
tubuh wanita dari atas hingga bawah. Ahmad Muhammad Jamal memberi pengertian
jilbab sebagai jenis pakaian yang lebih besar ukurannya dibanding dengan
kerudung yang dikenakan oleh wanita di luar pakaian-pakaian yang biasa
dikenakan. Perintah mengulurkan jilbab dimaksudkan agar dapat menutup tubuh
wanita kecuali yang biasa tampak pada diri mereka dalam kehidupan umum
sehari-hari, yaitu muka dan telapak tangan. Pada prinsipnya jilbab adalah
pakaian yang dapat menutup aurat.
Bagi wanita karier atau muslimah yang beraktivitas di
sektor publik, busana muslimah mempunyai urgensi yang signifikan. Busana yang
menutup aurat dapat menciptakan rasa aman kepada pemakainya di satu sisi, dan
menyelamatkan orang lain dari zina mata di sisi lainnya. Dengan penampilan yang
Islami, seorang wanita akan dihormati orang lain karena disamping penuh wibawa
juga menumbuhkan rasa segan, sehingga menciptakan jarak yang wajar untuk
berinteraksi antara pria dan wanita. Dengan demikian gosip dan fitnah serta godaan dapat
dihindari.
- Etos Kerja Islami
Selain pergaulan dan pakaian, muslimah yang memilih dunia
karier juga harus bekerja dengan etos kerja yang tinggi dan profesional. Dalam
Islam banyak didapati ajaran yang mendorong untuk melakukan usaha dan bekerja
yang giat untuk memperoleh hasil kerja yang maksimal.
Menurut Islam, setiap orang yang bekerja apalagi yang
menekuni karier, termasuk para wanita muslimah harus menampilkan etos yang
tinggi dalam bekerja. Ciri-ciri etos kerja itu adalah:
- Memiliki jiwa kepemimpinan, dalam arti mampu mengambil posisi sekaligus memainkan peran aktif, sehingga keberadaannya mampu mempengaruhi orang lain dan lingkungannya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 30, manusia diposisikan sebagai khalifah.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Kepemimpinan
tidak hanya monopoli pria, wanita juga berhak menjadi pimpinan. Untuk itu jiwa
kepemimpinan harus ditanamkan sejak menapak karier, dalam bentuk kemampuan
mempengaruhi, mengarahkan, mengawasi, dan mengambil keputusan secara cepat dan
tepat.
- Selalu berhitung; mengevaluasi apa yang sudah dilakukan untuk menghadapi masa depan. Firman Allah (Q.S. Al-Hasyr : 18)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
- Menghargai waktu. Telah menjadi aksioma bahwa profesionalisme terkait erat dengan kedisiplinan dan dan ketepatan waktu. Jika pepatah barat mengatakan time is money (waktu adalah uang), maka dalam ungkapan Arab al-waqtu ka al-saif (waktu bagaikan pedang). Dua ungkapan ini dapat disatukan dengan menyadari bahwa semakinmemanfaatkan waktu semakin besar keuntungan yang diraih, sebaliknya semakin lalai dengan waktu, maka kian besar kerugian yang diderita dan bahkan bisa berakibat fatal.
- Selalu merasa tidak puas terhadap kebaikan atau kinerja yang telah dicapainya. Diantara karakteristikkepribadian individu yang dinamis dan selalu ingin maju, adalah tidak puas dengan apa yang telah dicapai. Agama pun memacu umay untuk mencapai yang terbaik, sebagaimana diisyaratkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
- Hidup berhemat dan efisien tanpa harus menumpuk harta dan kikir serta individualistis . meskipun sumber daya alam yang dimiliki melimpah, atau penghasilan lebih dari cukup, setiap muslim, termasuk wanita karier, diperintahkan untuk melakukan efisiensi. Dalam dunia manajemen, efisiensi dan efektifitas adalah dua kata kunci, yang tidak boleh ditinggalkan oleh siapapun yang terlibat dalam proses manajemen. Wanita karier yang bekerja secara profesional akan senantiasamenerapkan hal ini.
- memiliki semangat wiraswasta (entrepreneurship) yang tinggi. Mencipta dan berkarya merupakan unsur terpenting jiwa wiraswasta ini.sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan al-Bukhari, Nabi bersabda: Dari Miqdam r.a, Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak ada satu pun makanan yang lebih baik untuk dimakan oleh seseorang daripada makan hasil kerja tangannya sendiri; Nabi Daud as, saja makan hasil dari kerja tangannya sendiri.
- Memiliki naluri bertanding dan bersaing. Dalam dunia karier persaingan adalah keniscayaan, dan kompetisi adalah sistem yang tak terelakkan. Begitu terjun dalam suatu kancah karier, wanita muslimah harus siap menghadapi persaingan dan kompetisi. Dalam kaitan ini Allah berfirman:
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 148)
- bersikap mandiri. Kemandirian tidak identik dengan egoisme (mementingkan diri sendiri). Kemandirian berarti kemampuan untuk menyelesaikan tugas tanpa ketergantungan pada orang lain, pada saat yang sama ia tetap mampu bekerja secara tim (team work). Mandiri juga dapat diartikan sebagai kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri; tanpa bergantung pada bantuan atau belas kasihan orang lain.
- Knowledgeable tentang profesi yang ditekuninya dan selalu mengembangkan diri. Dalam dunia kerja pengetahuan dan keterampilan merupakan dua faktor penting yang menentukan keberhasilan meniti dan menekuni karier. Dalam hubungan ini Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Isra:36)
- Berwawasan luas dan makro. Setelah menekuni profesi tertentu, orang cenderung mengambil posisi sebagai ahli dalam bidang tertentu. Namun untuk mencapai prestasi dan jenjang karier maksimal, spesialisasi harus didukung dengan wawasan luas yang bersifat makro.
- Ulet dan pantang menyerah. Dalam profesi apa pun dan di lingkungan kerja manapun tidak ada keberhasilan dicapai dengan tiba-tiba. Segala sesuatu harus dicapai dengan hambatan, rintangan, dan tantangan. Hanya dengan kerja keras disertai daya juang tinggi sehingga tidak menyerah pada kegagalan yang mengantarkan seseorang mencapai prestasi.
- Berorientasi pada prodiuktivitas. Selain dari dimensi proses, orang bekerja umumnya dinilai dari produknya. Karena itu dalam bekerja, seseorang dengan etos Islami yang tinggi tidak akan sekedar melakukan pekerjaan itu, tetapi juga berupaya untuk menyelesaikan sesuai dengan target dan sasaran yang dicanangkan. Untuk ini ia akan bersungguh-sungguh dalam melakukan proses dalam rangka mencapai produk yang diinginkan.
- Diperbolehkannya Wanita BekerjaMenurut Islam
Islam
memperbolehkan seorang wanita untuk bekerja, tetapi itu juga disertai dengan
syarat-syarat tentunya agar terjamin kemaslahatan bagi wanita itu sendiri
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
BAllah
berfirman SWT berfirman:
1.
Berjilbab dan
menutup aurat
Allah berfirman SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَأَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا [25]
Allah berfirman pula dalam Surat lain yang berbunyi:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ
مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا
مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[18][26]
2.
Komitmen dengan
akhlaq Islami, menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara
dengan kata lain tidak dengan suara yang dibuat-buat.
يَا نِسَاءَ
النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ
بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
[27]
3.
Menjauhi
pergaulan yang bersifat campur-baur atau berduaan dengan lawan jenis. Hal ini
akan berdampak buruk, baik terhadap diri maupun akhlaknya, bahkan akan membawa
kerusakan yang nyata di muka bumi ini, seperti yang selalu kita dengar tentang
adanya perkosaan, perzinahan atau pelecehan seksual, dan kriminalitas seksual
lainnya. [28]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْجَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا[19][29]
Ayat diatas menjelaskan
bahwa jika ada seorang pria yang meminta bantuan dari seorang wanita, hendaknya
melalui bailik tabir. Ini menandakan apabila seorang pria yang bukan mahram
meminta bantuan kepada seorang perempuan sangat dianjurkan untuk tidak bertatap
muka apabila tidak ada keperluan yang sangat penting.
- Perempuan Dan Kesetaraan Gender
Menurut
bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words intomasculine,
feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without
sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat,
maskulin,feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender
adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan.
Konsep
gender sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis
kelamin). Perbedaan jenis kelaminantara laki-laki dan perempuan adalah kodrat
Tuhan karena secara permanen tidak
berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah
perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial
dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan
budaya yang panjang. Misalnya sepertiapa yang telah kita ketahui bahwa
perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut,emosional, dan keibuan
sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin. Pada hakikatnya
ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.Artinya,
ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Dan
sebaliknya,ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karena itu
gender dapat berubah dari individu ke individu yang lain, dari waktu ke waktu,
dari tempat ke tempat, bahkandari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang
lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah.
Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena
gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh
sebab itu gender dapat berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan
tertentu dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang
dapat mendukung dan bahkan melarang keikut sertaan anak perempuan dalam
pendidikan formal, sebagai akibat ketidak samaan kesempatan, sehingga dalam
masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan
formal.
Gender
artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan
sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-lakidikarenakan
perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukanmenjadi
’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan
itu yang tepat bagi perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi,
hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender
adalah nilai yangdikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar
dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti. Jadi, kesetaraan
gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama
menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara
penuh hak-hak dan potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan
berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
Terdapat
dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature
dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis
dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran gender
bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture,
yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa
perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan
konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil
konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua
teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan.
Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis
kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan
bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya,
sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat
patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional
dan seterusnya sesungguhnya hanya diskenerioi oleh struktur masyarakat
patriarkhi. Oleh karena itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin
perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini
penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat
besar bagi kehdupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup
sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga
berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak
wajar dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Teori
nature (Kelemahan Sebagai Kodrat Perempuan) adalah
teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran
yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami
oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno
misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik
yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan,
terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan,
jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas
yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan
tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara
positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif
yang selalu dikaitkan dengan perempuan.[20][2]
Senada
dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan,
dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam
pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan
tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature
tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato
tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia
sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah.
Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan
dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.
Jika
Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya,
Aristoteles juga mengandaiakan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar
mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi tubuh, akal mendominasi perasaan,
laki-laki mendominasi perempuan dan seterusnya. Perempuan yang didefinisikan
sebagai suatu yang ganjil, menyimpang dari prototipe manusia generik adalah
budak-budak dari funghsi tubuh yang pasif dan emosiaonal. Akibatnya perempuan
lebih rendah dari laki-laki yang memiliki pikiranm aktif dan cakap.2 Dampak
dari dasar filsafat di atas, maka perempuan dianggap sebagai perahu/kapal
tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia karena ia keluar tanpa jiwa.
Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati.[21][3]
Menyimak
pemikiran dua filsuf besar di atas, terlihat jelas bahwa keduanya dibatasi dan
terdistrorsi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat dan oleh keinginan
untuk menjaga atau melestarikan tatanan tersebut. Kendati eksistensi perempuan
masih dipandang penting dalam suatu tatanan kosmik, namun perempuan tidak
dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang beradab. Dengan demikian, tidak
asing dalam tradisi Yunani Kuno bahwa ada kecenderungan untuk melakukan
kategorisasi atas pengalaman manusia yang berhubungan dengan pertentangan alam
dan budaya, sebagai sesuatu yang berada di bawah kontrol manusia.Dalam konteks
ini, menimbulkan konsekuensi lebih jauh bahwa dalam kaitannya dengan suatu
perlawanan, perempuan dipandang oleh laki-laki lebih dekat dengan alam dari
pada dengan kebudayaan, perempuan berada pada posisi margin dan periferi
kebudayaan.
Memperkuat
teori Yunani kuno, filosuf Yahudi, Philo (30 SM-45 M) terilfiltrasi oleh
pemikiran Yunani, dengan enggabungkan ide status kekrangan an kelemahan
perempuan dengan dogma teologi Yahudi. Teologi Yahudi mengganggap perempuan
sebagai sumber dari segala kejahatan. Perempuan dikenal dengan tubuh yang
emosi, mudah berubah, dan tidak stabil. Laki-laki adalah simbol pikiran dan
aspek jiwa intelektual yang lebih tinggi. Laki-laki adalah situs dan perempuan
adalah anima. Secara lebih tegas dukungannya dengan teori nature, Philo
menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran, mengetahui dan mengenal
dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian ini, memiliki akar yang
menghunjam pada tataran kos`mologis. Dengan pikiran dunia dibangun berkaitan
dengan kontinuitas, stabilitas dan kekelannya, sebaliknya perempuan yang
direpresentasikan dengan materi, mengkategorikannya pada instabilitas dan mudah
berubah. Philo secara lebih vulgar menyatakan ; dikhotomi laki-laki dan
perempuan berikut peran sosial yang diembannya, merupakan fakta dari alam dan
hukum dunia mengikuti perintah alam. Di samping filsafat tentang definisi nature-nya,
Philo juga mencari legitimasi pemikirannya pada teks-teks keagamaan, yakni
naskah Perjanjian Lama yang diinterpretasikan bukan sebagai mitos atau sejarah,
namun lebih dipahami sebagai cara menyimbolkan sesuatu yang mengacu pada
realitas kosmik. Cerita Adam dan Hawa misalnya, memiliki pengaruh penting bagi
status, kedudukan dan perempuan.
Senada
dengan kontradiksi kosmik yang digagas Phytagoras, yakni siang-malam, Philo
yang mungkin terpengaruh oleh Phytagoras menempatkan laki-laki dan perempuan
dalam kategori yang terpisah. Pemisahan ini kemudian menimbulkan perbedaan yang
mutlak. Misalnya dinyatakan bahwa ciri-ciri laki-laki adalah akal, yang
menyimbolkan ketenangan, aktif, kuat, dan stabil. Sementara perempuan
digambarkan dengan emosi, pasif, lemah dan tidak stabil. Berdasarlan pemikiran
itu, ia meyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi Hawa untuk menahan emosinya
ketika dibujuk syetan, mengakibatkan ia mudah digelincirkan syetan. Menurut
Philo, perempuan secara alamiah memiliki sifat lebih terbuka kepada kesenangan
fisik, membuat syetan berhasil menggodanya, bahkan rasa rendah diri perempuan
dianggap sebagai kaki tangan syetan.[22][4]
Teori Nurture (Laki-laki dan Perempuan dalam
Konstruksi Sosial), Pendefinisan
laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya tidak bisa
dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat.
Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu
mencari kesejatian pada yang identik. Segala ssuatu harus memiliki identitas,
memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas.
Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu
tanpa identitas adalah mustahil.[23][5] Berdasarkan kateorisasi yang
melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan
batas-batas tertentu.
Konsepsi dikhotomi yang
mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini,
sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya
penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya
dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari
tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Melengkapi
dua konsepsi metafisis di atas, kodrat merupakan penyempurnanya. Kodrat atau
esensi merupakan sesuatu yang diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah
entitas dikatakan sebagai manuasia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang
mutlak, given dan tidak dapat dirubah oleh konstruksi dan kekuatan
apapun. Tampaknya, wacana gender, juga selalu digelayuti oleh persoalan seputar
kodrati-non kodrati, terkait dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan
di jagat ini. Oleh karena itu, membicarakan peran gender tanpa mengikutkan
teori yang mengkonstruksinya, akan mengakibatkan wacana tersebut akan
kehilangan elan vital-nya. Filsafat Barat yang mendasari kelahiran
sejumlah ideologi, perlu dirunut kontribusinya dalam melahirkan konsepsi
kodrati dan non-kodrati bagi kedua jenis kelamin manusia ini.
Konsepsi
ideologi patriarkhi yang sessunguhya lahir dari mesopotamia Kuno pada zaman
neolithik, semakin memiliki daya hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang
melahirkan teori-teori identitas, dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini diposisikan
sebagai “tersangka” bagi pendefinisian secara tidak adil dan tidak setara
antara laki-laki dan perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan” ideologis
antara kekuatan patriarkhi --yang diwariskan oleh peradaban kuno-- dan
metafisika Barat, dapat dijelaskan sebagai berikut: Patriarkhi mengurung mahluk
laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas yang tertutup rapat antara
satu dengan yang lain. Kompartmentalisas ini diperparah oleh pemaknaan
identitas perempuan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Perempuan
didefinisikan secara sosial, oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Identitas
perempuan adalah mahluk yang bukan laki-laki. Jika misalnya laki-laki
beridentitas rasional, maskulin dan publik, maka perempuan adalah beridentitas
emosional, feminin, dan domestik. Konsepsi identitas ini kemudian mengarah pada
adanya dikhotomi, konsepsi kedua dari metafiska Barat. Persekongkolan antara
ideologi patriarkhi dan dikhotomi, terlatak pada adanya dominasi satu pihak
atas pihak lain, yang lahir dari dikhotomi ini. Kosekusesinya, relasi laki-laki
dan perempuan merupakan relasi dominasi. Posisi superior yang dimiliki oleh
identitas laki-laki, yakni rasional, maskulin, dan petualang publik, dianggap
merupakan kualitas, sifat dan perilaku yan melekat pada identitas tersebut.
Kualitas rasionalitas dan maskulinitas laki-laki, diyakini lebih unggul dari
kualitas emosionalitas dan feminitas perempuan. Konsekuenasi dari keyakinan ini
adalah lahirnya klaim masyarakat patriarkhi bahwa sudah kodratnya, laki-laki
memiliki posisi superior, dominatif, dan menikmati posisi-posisi istimewa dan
sejumlah privelege lainnya atas perempuan. Untuk melanggengkan
superioritasnya, dominatifnya dan kekuatan priveleg-nya, laki-laki harus
menekan emosinya dan menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek dan tidak wajar jika
laki-laki menangis. Dikatakan tabu kalau laki-laki berbicara lembut. Laki-laki
dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara dan bertindak, dan
seterusnya.
Berdasarkan
kolaborasi dan “perselingkuhan” kepentingan antara patriarkhi dan metafiskan
barat yang melahirkan sejumlah keistimewaan posisi laki-l;aki dibanding
perenpuan di atas, maka perlu adanya gerakan penyadaran tidak hanya terhadap
perempuan tetapi juga terhadap laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah
ideologi yang mapan, ternyata dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh
manusia. Kendati terkesan sosok patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia
dibangun di atas pondasi yang goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas,
dikhotomi dan kodrat yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang given dan
absolut, sebenarnya tidak lebih dari sekedar buatan tangan manusia. Identitas,
dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana
budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan
bahkan politik untuk mengokohkannya.
Dalam
konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai
pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh instritusi sosial berupa Dharma
wanita, demikian juga wacana mengenai
posisi laki-laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi
agama. Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka
masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh masyarakat secara
seksis. Pandangan dan
konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan menyelubungi cara berfikir,
baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti
diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih,
pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif. Jika semua
laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya
kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya
memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah
dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki,
sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.
Untuk
mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan
perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan
diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki,
berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa
berjalan. Misalnya ketika
laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengondisian
seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak
alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.[24][6]
Berdasarkan realitas
pengkondisian sosial masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak
memahami atau merasakan bahwa semua itu merupakan produk sosial, maka
penghapusan seksisme yang berimplikasi sangat luas dalam kehidupan harus
dijadikan sebagai fokus utama perjuangan untuk menegakkan keadilan gender. Hal
ini karena, semua perilaku yang menimbulkan segala bentuk ketidak-adilan
gender, sepereti marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran
ganda bagi perempuan, salah satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme
yang menjadi penopang kuat ideologi patriarkhi. Pembagian kerja secara seksual,
seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis
cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat
melulu sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa
peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat,
sehingga akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di
tempat lain dianggap feminin. Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan,
sebaliknya perkayuan hanya dilakukan oleh laki-laki. Berburu, menangkap ikan,
membuat senjata dan perahu cenderung menjadi tugas laki-laki, sementara
menumbuk padi dan mengambil air menjadi tugas perempuan. Sementara kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh
laki-laki dan perempuan adalah mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen.
Dalam
masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak.
Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja
misalnya dalam suku Arapesh di Papua Newgini, yang beranggapan bahwa mengandung
dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-isteri, sehingga mereka
dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya. Suku Aboriogin di Australia dan
kepulauan Tobriand di Papua Newgini meyakini bahwa mengasuh anak adalah
merupakan tugas penting ibu maupun ayah.[25][7]
Mengacu
kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan
perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah
bergantung pada jenis kelamin tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap
kebudayaan, dan karenanya gender adalah juga khas untuk setiap kebudayaan.
Karena itu juga, gender tidak hanya berbeda antar kebudayaan yang berbeda,
tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan
bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu
dan berjalannya sejarah.
Dengan
berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan
laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh
ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik,
ekonomi dan agama.
- Optimalisasi Peran Wanita dengan Membangun Kesadaran Keseimbangan Beban Kerja
Berkaitan dengan kerja, pada setiap masyarakat telah
terbentuk pembagian kerja secara seksual antara pria dan wanita, ini kemudian
dikenal dengan peran gender. Secara biologis wanita dianugerahi alat reproduksi
berupa vagina, ovum, rahim dan payudara. Dengan demikian tugas reproduksi
mengandung, melahirkan, dan menyusui telah ditakdirkan untuk dijalani oleh
wanita. Hanya saja, tugas reproduksi itu berkembang lebih lanjut dalam
masyarakat menjadi peran gender, peran ”utama” wanita adalah sebagai perawat
dan pendidik anak. Konsekuensi logis dari peran tadi, pekerjaan di rumah tangga
merupakan tugas dan dan kewajiban pokok perempuan.
Mencermati kondisi sosial wanita saat ini, dimana semakin
banyak wanita yang mencapai taraf pendidikan yang tinggi, tentu mereka
membutuhkan wadah untuk berkarya. Jika seandainya rumah sudah dianggap terlalu
sempit bagi ruang gerak sosial wanita, kenapa ketika mereka mempunyai
kesempatan untuk memberikan kontribusi langsung langsung untuk pembangunan
justru dibatasi dengan menggunakan alasan agama. Masih terbuka luas peluang
bagi wanita untuk berkarya, tidak hanya pada bidang-bidang yang selama ini
diidentikkan dengan wanita.
Kekhawatiran yang muncul jika perempuan bekerja di luar
rumah akan menyebabkan pendidikan anak terabaikan dan itu bisa berimplikasi
kepada kemerosotan moral karena keluarga adalah wadah pembinaan inti
masyarakat, seharusnya tidak perlu terjadi jika masyarakat memahami bahwa dalam
kehidupan rumah tangga peran yang dijalankan pria dan wanita bukanlah bernuansa
dikotomis atau bahkan kontardiktif. Islam memang telah membagi tugas antara suami-istri dengan
sebaik-baiknya. Pembagian ini tidak dimaksudkan bahwa wanita tidak mungkin
melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh pria atau sebaliknya.
Pembagian tugas antara suami-istri dan penjelasan tentang
kelebihan pria-wanita dijelaskan dalam al-Qur’an surat An-Nisa:34 dan
Al-Baqarah:233. ayat pertama menjelaskan tugas suami dan kelebihan pria,
sedangkan ayat kedua menegaskan tugas istri dan kelebihan wanita. Kedua tugas
rumah tangga tadi (suami mencari nafkah; istri mengasuk dan merawat anak) sama
mulianya, karena keduanya saling melengkapi, terpadu dalam kemitraan demi
tegaknya sebuah rumah tangga.
Bila seorang istri tergerak untuk turut meringankan beban
keluarga dengan bekerja di luar rumah, seharusnya suami tidak perlu merasa
rendah untuk turut membantu pekerjaan rumah tangga. Kerena, bila suami bersikap
enggan maka tujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
sulit untuk dicapai, karena salah satu fungsinya tidak berjalan secara
maksimal. Dipandang dari sudut manapun, sikap seperti itu juga tidak adil,
karena dua beban harus dipikul oleh satu orang, yaitu wanita.
Dengan adanya pembagian tugas ini, maka tugas-tugas
domestik seperti pengasuhan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab berdua
sehingga tidak terbengkalai walaupun istri menekuni karier. Sejatinya, anak
tidak hanya butuh kasih sayang dan perhatian dari ibu, tapi mereka juga
mkembutuhkannya dari ayah. Jadi, hanya dengan kerjasama antara ayah-ibu,
pendidikan anak dapat terlaksana secara lebih efektif dan optimal, dibandingkan
dengan pendidikan yang hanya dilaksanakan oleh ibu saja.
G.
Kedudukan Perempuan Dalam Pandangan
Islam
Sesungguhnya
Islam telah memberikan penghargaan dan penghormatan kepada kaum wanita dengan
setinggi2nya, ia memberikan kedudukan yg teramat mulia dan luhur, mengangkat
mereka dari lembah kehinaan dan sumber keburukan, menyelamatkan mereka dari
kekejaman dan perlakuan keji manusia yg biadab. Islam datang dengan membawa
rahmat bagi seluruh makhluknya. Apalagì kepada kaum wanita yang merupakan
makhluk Allah yg mulia.
Sebagai
ibu, Allah mengkhabarkan bahwa syurga itu terletak dibawah telapak kakinya.
Sebagai seorang istri mereka harus diperlakukan dengan penuh kelembutan dan
kasih sayang, Sebagai seorang anak perempuan, mereka harus dididik dengan
pendidikan yg benar, diasuh hingga masa menikah, bahkan seorang ayah yang dapat
mengasuh dan mendidik dua orang atau tiga orang anak putrinya dengan
sebaik-baiknya akan mendapatkan jaminan syurga, karena tingginya pahala yang
dimiliki oleh seseorang yang dapat mendidik mereka dengan sebaik-baiknya.
Rasulallah saw.bersabda (HR.Muslim) :
"Barang siapa yang diuji dengan anak-anak perempuan,
lalu ia memperlakukannya dengan baik, maka kelak mereka akan menjadi dinding
dari (sengatan) api neraka"
Allah
memberikan kedudukan yg sama antara laki2 dan perempuan dlm hal pahala dan
kedudukan mereka di sisi Allah.Allah berfirman :
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (QS.An-Nahl:97)
"Sesungguhnya Aku tdk akan menyia-nyiakan amalan
orang2 yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian
kamu adalah keturunan sebagian yang lain." (QS.Ali-Imran:195)
- Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam
Di antara 114 surat yang terkandung di dalam Al Qur’an
terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan
dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini
dikenal dengansurat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan
kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang
sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah
atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status
dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum
bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan
yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian
yang manusiawi.
Islam
adalah agama keTuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (Q.S.
al-imran: [3] 112). Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas,
yaitu sebagai hamba (‘abid) dan sebagai representatif Tuhan (khalifah),tanpa
membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat [49]: 13),
artinya :
“ Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supayakamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertaqwa di antara kamu ;
“ Sesungguhnya Allah MahaMengetahui lagi Maha
Mengenal” (QS. 49:13)
Rasulullah
saw bersabda yang artinya: ”hak dan
kewajiban Allah terhadap hamba-Nyadan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun.( HR. Bukhari)
Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep
keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia
maupun dengan lingkunganalamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari
sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis
dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos(manusia), makrosrosmos (alam),
dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapatmenjalankan fungsinya sebagai
khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapaiderajat abid sesungguhnya.Islam
memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an)
substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid
al-syariah),antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S. an-Nahl [16]:
90), artinya :
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran”
Islam
mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian,
keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan
alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan
gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur
pola relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan
demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya
khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid sesungguhnya.
Laki-laki
dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran
khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak ditemukan
ayat al-Qur’an atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya.
Sebaliknya al-Alqur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan
aktif menekuni berbagai profesi. Dengan demikian, keadilan gender adalah
suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan
dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara.
Keadilan
dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan
laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai :
- hamba Tuhan (kapasitasnya sebagai hamba,- laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya Q.S. an-Nahl;[16]: 97),
- khalifah di bumi ditegaskan dalam surat al-A’raf [7]: 165,
- penerima perjanjian primordial (perjanjian dengan Tuhannya) sebagaimana disebutkandalam surat al-A’raf [7]: 172,
- dan Adam dan Hawa dalam cerita terdahulunya yang telah disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 22
Ayat ayat tersebut diatas mengisyaratkan konsep
kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi
individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesiona, tidak
mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan
memperoleh kesempatan yan sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam
realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi,
karena msih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit
diselesaikan.
Tujuan al-Qur’an adalah terwujudnya keadilan bagi
masyarakat. Keadilan dalamal-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat
manusia, baik sebagai inividu maupun sebagai anggota masyarakat. Al-Qur’an
tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok
etnis, warna kulit, suku bangsa, kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Dengan demikian,
terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau
menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran
tersebut terbuka untuk diperdebatkan (debatable), apakah sesuai dengan ajaran
Islam yang sebenarnya sebagai ”rahmatan lil’alamin” Dalam alquran surat Al-Isra
ayat 70 yang berbunyi ; Bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu
laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukanyang paling
terhormat. Manusia juga diciptakan mulia
dengan memiliki akal, perasaandan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran
tidak mengenal pembedaan antaralelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT,
lelaki dan perempuan mempunya
derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan
perempuanhanyalah dari segi biologisnya. Adapun dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur tentang kesetaraan gender
adalah: Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan.
Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat di atas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwaAllah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
Menurut D.R.
Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang
PemberdayaanPerempuan" (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa
prinsip-prinsipkesetaraan gender ada di dalam Qur’an, yakni:
4.
Perempuan dan
Laki-laki Sama-sama Sebagai Hamba (Q.S. al-Zariyat (51:56). Dalam kapasitas
sebagai hamba tidak ada perbedaanantara laki-laki dan perempuan. Keduanya
mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal
dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun),
dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis
kelamin, suku bangsa ataukelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam
Q.S. al-Hujurat (49:13)
5.
Perempuan dan
Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka
bumi (khalifah fi al’ard). dalam Q.S. al-An’am(6:165), dan dalam Q.S.
al-Baqarah (2:30) Dalam kedua ayat tersebut, kata ‘khalifah" tidak
menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu,artinya, baik perempuan maupun
laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung
jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
6.
Perempuan dan
Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama
mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam Q.S.
al A’raf (7:172) yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para
malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi
jenis kelamin. Laki-lakidan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang
sama. Qur’an jugamenegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa
pembedaan jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)
- Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang
drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar
ke bumi, selalu menekankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan
penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan
Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut:
a.
Keduanya
diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S.al-Baqarah/2:35)
b.
Keduanya
mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S.al-A’raf/7:20)
c.
Sama-sama
memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S.alA’raf/7:23)
d.
Setelah di bumi
keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan
(Q.S.al Baqarah/2:187)
e.
Perempuan dan
Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang untuk
meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuandan laki-laki
ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran/3:195;
Q.S.an-Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsepkesetaraan
gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasiindividual, baik dalam
bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mestididominasi oleh satu
jenis kelamin saja.
Mengapa Muncul
Ketidakadilan terhadap Perempuan dengan Dalih Agama?
Karena adanya implementasi
yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkanoleh pengaruh faktor
sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat di dalam masyarakat,
sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun
menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut. Hal inilah
yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai
dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan
melemahkankaum perempuan.
Adapun pandangan dasar atau
mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidak adilan terhadap perempuan adalah
:
a.
Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki, sehingga perempuan dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak
akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. karenanya keberadaan perempuan
hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan
laki-laki.
b.
Keyakinan bahwa
perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) darisurga,
sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkanlebih
jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka.
Bias gender
yang mengakibatkan kesalah pahaman terhadap ajaran Islam terkait puladengan
hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah,Pengertian
Kosa Kata (Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan ArtiHuruf
‘Atf, Bias Dalam Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur’an, Bias Dalam
Metode Tafsir, Pengaruh Riwayat Isra’iliyyat, serta bias dalam Pembukuan maupun
Pembakuan Kitab Fikih. (Nasaruddin Umar, 2002).
Al-quran tidak
mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia.Dihadapan
Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yangsama. Oleh
karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan
sudahselayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan
(Q.S.al-Nahl/16:90);keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan
kebaikan dan mencegahkejahatan (Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan
sebagai maqasid al- syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada
penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi
manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.
- Ibu Dalam Pandangan Islam
Islam
mengajarkan bahwa kaum ibu merupakan fihak yang sangat istimewa dan tinggi
derajatnya. Oleh karena itu kita sangat akrab dengan hadits yang menjelaskan
keharusan seorang sahabat agar memprioritaskan berbuat baik kepada ibunya.
Bahkan Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam menyebutkan keharusan tersebut
sebanyak tiga kali sebelum beliau akhirnya juga menganjurkan sahabat tadi agar
berbuat baik kepada ayahnya. Jadi ibaratnya keharusan menghormati dan berbuat
baik seorang anak kepada ibunya sepatutnya lebih banyak tiga kali lipat daripada
penghormatan dan perilaku baiknya terhadap sang ayah.
Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya
Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku
berbuat kebaikan?. Beliau
bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda:
“Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku
bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih
dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Kita
juga sangat akrab dengan hadits yang menyebutkan beberapa dosa besar dimana
salah satunya ialah durhaka kepada kedua orangtua, yaitu ayah dan ibu. Di
antaranya disebutkan sebagai berikut: Dari
Anas ia berkata: Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam ditanya mengenai dosa-dosa
besar, maka beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah, durhaka pada kedua
orang-tua, membunuh jiwa dan kesaksian palsu.” (HR Bukhary).
Bahkan di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa
kedua orang-tua merupakan faktor yang sangat besar mempengaruhi apakah
seseorang bakal menuju ke surga ataukah ke neraka. Artinya, perilaku baik
seseorang kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar kemungkinannya berakhir
di dalam rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan kedurhakaannya kepada kedua
orang-tua bakal memperbesar kemungkinan hidupnya berakhir di dalam murka Allah
dan neraka-Nya. Dari Abi Umamah ia berkata: “Ada seorang lelaki berkata: “Ya
Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas anak mereka?” Rasulullah
shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Keduanya (merupakan) surgamu dan
nerakamu.” (HR Ibnu Majah)
Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini: Dari
Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda: “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan
kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR Tirmidzi)
Namun yang menarik ialah ditemukannya hadits yang
secara khusus mengungkapkan haramnya durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini tidak kita
temukan dalam kaitan dengan larangan berlaku durhaka kepada sang ayah. Sudah
barang tentu ini tidak berarti bahwa berlaku durhaka kepada fihak ayah
dibenarkan. Yang jelas dengan adanya larangan khusus berlaku durhaka kepada
fihak ibu cuma menunjukkan betapa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi
martabat ibu. Bersabda Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam: “Allah melarang
kalian durhaka kepada ibu kalian.”(HR Bukhary)
Dalam hadits lain kita juga dapati bagaimana Islam
menyuruh menghormati ibu sekalipun ia bukan orang beriman seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Asma puteri sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq berikut ini: Asma
binti Abu Bakar berkata: “Telah datang kepadaku ibuku dan dia seorang wanita
musyrik di zaman Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam. Maka aku datang
kepada Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam meminta fatwa beliau. Aku
bertanya kepada beliau: “Telah datang kepadaku ibuku sedangkan ia punya suatu keperluan.
Apakah aku penuhi permintaan ibuku itu?” Maka Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam
bersabda: “Iya, penuhilah permintaan ibumu itu.” (HR Bukhary)
Mengapa kaum ibu sedemikian diutamakan?
Karena mereka adalah fihak yang sejak masih
mengandung anak saja sudah merasakan beban memikul tanggung-jawab membesarkan
anak-anaknya. Mereka adalah pendamping, penyayang, pengasuh dan pengajar
pertama dan utama bagi seorang anak. Ibu adalah fihak yang paling banyak
direpotkan oleh anak semenjak mereka masih kecil. Begitu lahir anak menuntut air susu ibunya.
Keinginan minum ASI seringkali tidak pandang waktu. Bisa jadi seorang ibu di
tengah malam “terpaksa” bangun mengorbankan waktu istirahatnya demi menyusui
buah hatinya.
Seorang ibu juga direpotkan ketika anaknya ngompol dan buang air besar.
Ibulah yang biasanya harus mencebok dan membersihkan anaknya. Semakin ikhlas
seorang ibu mengerjakan semua aktifitas tadi maka semakin melekatlah si anak
kepada dirinya. Di balik segala kerepotan tadi sesungguhnya terjalinlah ikatan
hati yang semakin kokoh antara ibu dan anak. Itulah sebabnya ketika seseorang
sudah dewasa sekalipun, tatkala dalam kesepian tidak jarang rasa rindu akan
belaian tangan ibunya yang penuh kasih sayang terkenang kembali.
Dalam pepatah Arab ada ungkapan berbunyi Al-Ummu madrasah (ibu adalah
sekolah). Benar, saudaraku. Seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi setiap
anak. Ibulah yang pertama kali mengajarkan banyak pelajaran awal tentang
kehidupan kepada anak. Apalagi di zaman penuh fitnah seperti sekarang dimana
al-ghazwu al-fikri (perang pemikiran/ perang budaya/ perang ideologi) datang
menyerbu rumah-rumah kaum muslimin. Serbuan itu datang dari berbagai penjuru.
Bisa dari televisi, internet, facebook, buku bacaan, komik, majalah, nyanyian,
musik, pergaulan bahkan dari sekolah formal…! Maka kehadiran seorang ibu yang
memiliki wawasan pengetahuan luas menjadi laksana penjaga benteng terakhir bagi
anak-anaknya. Ibulah yang bertugas membentengi, memfilter dan mengarahkan anak-anak
menghadapi berbagai serbuan perang budaya tadi.
Di masa kita dewasa ini saat mana faham ateisme,
materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme begitu dominan mewarnai
kehidupan masyarakat dunia, maka kehadiran seorang ibu sendirian mendampingi
anak-anaknya kadang dirasa kurang memadai. Sehingga kerjasama antara
ayah-mukmin dan ibu-mukminah sangat diperlukan. Dalam dunia modern anak-anak
kita sangat perlu pengarahan yang sangat kokoh dan kompak dari kedua
orang-tuanya sekaligus untuk meng-counter serangan musuh-musuh Islam yang
pengaruh buruknya semakin hari semakin hegemonik.
Betapapun, seorang ayah tidak mungkin diharapkan
untuk terus-menerus berada di rumah karena tuntutan mencari ma’isyah
(penghasilan) bagi anak-isterinya. Oleh karenanya kehadiran dan keaktifan peran
seorang ibu di rumah mendampingi anak-anaknya menjadi sangat strategis. Oleh
karenanya Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam menyetarakan hadir dan aktifnya
seorang ibu mendampingi anak-anaknya di rumah dengan aktifitas jihad fi
sabilillah yang dilakukan oleh kaum pria di medan perang menghadapi musuh-musuh
Allah.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Kaum
wanita datang menghadap Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bertanya: “Ya
Rasulullah, kaum pria telah pergi dengan keutamaan dan jihad di jalan Allah. Adakah perbuatan bagi kami yang dapat menyamai
‘amal para mujahidin di jalan Allah?” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaih wa
sallam bersabda : “Barang siapa di antara kalian berdiam diri di rumahnya maka
sesungguhnya ia telah menyamai ‘amal para mujahidin di jalan Allah” (HR
Al-Bazzar)
- Qiwamah dalam Ranah Keluarga
Selama ini pandangan yang lebih umum
mengenai relasi suami istri adalah bahwa kepala keluarga haruslah laki-laki.
Pandangan seperti itu diyakini sebagai suatu prosedur normatif yang berlaku
dalam semua situasi dan kondisi apapun. Ironisnya pendapat semacam ini pun
terus dipertahankan oleh sebagian kaum perempuan sendiri, tidak peduli apakah
mereka orang-orang yang berpendidikan sederhana maupun berpendidikan tinggi.
Sulit sekali ditemukan pendapat bahwa perempuan bisa dan layak juga menjadi
kepala keluarga. Perempuan selalu diposisikan atau memposisikan dirinya sebagai
orang yang dikepalai, diatur, dikendalikan, diarahkan dan mengikuti perintah
laki-laki/suami. Di Indonesia, posisi suami dan istri seperti ini dikukuhkan
dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Pasal 79
KHI menyebutkan : “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah
tangga”. Pasal 80
menyatakan :”Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya.
Akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami-istri bersama”. Jika konstruksi semacam ini
yang dipertahankan, maka selama itulah perempuan rentan diperlakukan tidak adil
oleh suami.
Pada hakikatnya kepemimpinan yang
menjelma dalam ranah keluarga adalah soal artikulasi relasi antara suami-istri,
laki-laki dan perempuan, yang berusaha menjalin hidup berkeluarga penuh kasih
sayang dan saling mencintai. Keharmonisan dalam keluarga menuntut adanya sikap
saling tolong-menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan. Kebaikan sebuah keluarga
akan tercapai jika kepemimpinan berada di tangan orang yang memiliki kompetensi
(kelebihan), tanpa membedakan perbedaan jenis kelamin. Perempuan yang diberi
anugerah kekayaan, pendidikan, ataupun kadar intelektual akan menjadi partner yang
baik bagi suami yang kebetulan tidak memiliki anugerah tersebut.
Keluarga yang harmonis adalah keluarga
yang menghormati adanya distribusi peran yang adil dan tidak merendahkan istri.
Suami bisa jadi memiliki kekuasaan dalam kekayaan, pendidikan, budi pekerti dan
kemampuan membimbing, demikian juga sebaliknya bahwa istri bisa jadi memiliki
kekuasaan tersebut. Karena pebedaan laki-laki dan perempuan bukanlah
perbedaan hakiki tetapi fungsional. Jika seorang istri di bidang ekonomi dapat
survive sendiri, baik berasal dari warisan atau usaha sendiri, dan memberikan
sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka posisi suami sebagai nahkoda
dalam keluarga bisa diambil alih oleh istrinya.
Produk pemahaman ahli fikih sejauh ini
memang jarang yang menekankan bahwa perempuan (istri) adalah sekutu dekat bagi
laki-laki (suami). Selalu saja terjadi upaya domestikasi perempuan, sang suami
bekerja di luar rumah, sementara sang istri bekerja di rumah, mendidik anak dan
pekerjaan rumah lainnya. Tentu saja pada hakikatnya istri bekerja lebih banyak
dibanding suami, apalagi jika sang istri seorang pekerja profesional. Ini
adalah beban ganda yang harus ditanggung perempuan, memberikan pengasuhan yang
tak dibayar dalam pekerjaan rumah tangga, serta beban memberikan kelangsungan
hidup perekonomian melalui kerja upahan. Dengan demikian, yang terpenting
selanjutnya adalah bagaimana distribusi peran dalam keluarga itu berjalan
dengan kesepakatan yang baik tanpa menindas pihak perempuan.
Karena Al-quran sendiri menyebutkan
tujuan perkawinan adalah membangun mahligai rumah tangga yang damai dan
sejantera, seperti dalam ayat: “Di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan adalah
bahwa Dia telah menciptakan pasangan bagi kamu dari bahan yang sama agar kamu
menjadi tenteram bersamanya. Dia menjadikan kamu berdua saling menjalin cinta
(mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Itu adalah pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang
berfikir”. (Q.S.
al-Rum, 30: 21). Jika diperhatikan, ada tiga kata kunci bagi sebuah perkawinan
yang diharapkan ayat tersebut. Pertama, kata “litaskunu ilaiha”. Secara umum
kata ini diterjemahkan: “agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya”.
Ini memberi arti bahwa perkawinan dimaksudkan sebagai wahana di mana
orang-orang yang ada di dalamnya terlindungi dan dapat menjalani hidup dengan
penuh kedamaian dan aman. Kedua, adalah “mawaddah”. Yang bisa berarti mahabbah
(cinta), al-nashihah (nasihat), dan, al-shilah (hubungan yang
kuat). Dari sini bisa diartikan perkawinan merupakan ikatan yang dapat
melahirkan hubungan saling mencintai, saling menasehati dan saling menghargai
satu atas yang lain tanpa adanya tindakan dan ucapan saling menyakiti. Ketiga,
adalah “rahmah”. Ini bisa berarti “kasih sayang” yang mendalam dan
bersifat batin atau dengan setulus hati.
- Peranan Perempuan Sebagai Istri Dalam Pandangan Islam
Rasulullah saw. bersabda : ” Seluruh dunia ini
adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah perempuan yang
sholehah”.
Di dalam Islam, peranan seorang istri sangat
penting dalam kehidupan berumah tangga, yang mana seorang istri membahagiakan
suaminya untuk mendapatkan keridho’an dari Allah. Untuk itu kualitas seorang
istri seharusnya memenuhi sebagaimana yang disenangi oleh pencipta-Nya yang
tersurat dalam surat Al-Ahzab, yakni, seorang perempuan muslimah yang benar
(dalam aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami
tidak ada di rumah, mempertahankan keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah
dan senang serta mengajak untuk senantiasa ada dalam pujian Allah. Ketika
seorang perempuan muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia harus
mengerti bahwa dia memiliki peranan yang khusus dan pertanggung-jawaban dalam
Islam kepada pencipta-Nya. Karenanya, seorang istri akan membantu suaminya
untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah (hukum Islam) dan memastikan
suaminya untuk kembali melaksanakan kewajiban-kewajibannya, sebagaimana
suaminya memenuhi kewajiban terhadapnya.
Seorang istri memiliki hak untuk Nafaqah (diberi
nafkah) yang berupa makanan, pakaian dan tempat untuk berlindung yang
didapatkan dari suaminya. Dia (suami) berkewajiban membelanjakan hartanya untuk
itu walaupun jika istri memiliki harta sendiri untuk memenuhinya. RAsulullah
saw. Bersabda :
”
Istrimu memiliki hak atas kamu bahwa kamu mencukupi mereka dengan makanan,
pakaian dan tempat berlindung dengan cara yang baik.” (HR. Muslim)
Ini adalah penting untuk dicatat bahwa ketika
seorang istri menunaikan kewajiban terhadap suaminya, dia (istri) talah
melakukan kepatuhan terhadap pencipta-Nya, karenanya dia mendapatkan pahala
dari Allah. Aisyah r.a. suatu kali meriwayatkan tentang kebaikan kualitas
Zainab ra, istri ketujuh dari Rasulullah saw. ;
”Zainab
adalah seseorang yang kedudukannya hampir sama kedudukannya denganku dalam
pandangan Rasulullah dan aku belum pernah melihat seorang perempuan yang lebih
terdepan kesholehannya daripada Zainab r.a., lebih dalam kebaikannya, lebih
dalam kebenarannya, lebih dalam pertalian darahnya, lebih dalam kedermawanannya
dan pengorbanannya dalam hidup serta mempunyai hati yang lebih lembut, itulah
yang menyebabkan ia lebih dekat kepada Allah”.
Abu Nu’aim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
“ Ketika seorang wanita menunaikan sholat 5 waktu, berpuasa
pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan mematuhi suaminya, maka dia akan
masuk surga dengan beberapa pintu yang dia inginkan”. (Al Bukhori).
Dalam memilih isteri, Islam mengajarkan kepada kaum
lelaki muslim untuk memperhatikan dua hal esensial, yaitu:
1.
silsilah keturunan calon isteri, dan
2.
lingkungan tempat perempuan
itu hidup, berikut sejauh mana lingkungan tersebut berpengaruh pada
kepribadiannya.
Rasulullah
menganjurkan untuk memilih isteri dari keluarga yang memiliki sifat-sifat
terpuji, karena keluarga yang baik akan membentuk karakter yang baik pula pada
diri perempuan tersebut. Rasulullah bersabda:
"Pandai-pandailah memilih calon isteri karena
saudara isteri akan menurunkan sifat dan karakternya pada anak kalian, dan
pilihlah dengan benar perempuan yang akan mengandung anakmu karena unsur
keturunan sangat berpengaruh pada anak.”
Islam
juga menekankan memilih isteri dari lingkungan sosial yang bersih, karena
lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada perempuan
tersebut, sebaliknya, Islam melarang kaum lelaki memilih isteri dari lingkungan
yang buruk. Dalam hadis disebutkan, Rasul melarang untuk
mempersunting perempuan cantik yang hidup di lingkungan yang sesat. Beliau
bersabda:
“Berhati-hatilah
terhadap wanita cantik yang hidup di lingkungan yang tidak baik.”
Islam juga melarang laki-laki menikahi perempuan
pezina. Sabda Nabi :
“Jangan
sekalipun kalian menikahi perempuan yang terang-terangan berzina, juga
perempuan yang tidak sehat secara mental dan psikologis, sebab dikhawatirkan
anak yang akan dilahirkannya akan mewarisi kegilaan ibunya”.
Ketika Rasul Saw
ditanya, perihal menikahi perempuan yang cacat mental, beliau menjawab: Jangan!
Ali bin Abi Thalib mengingatkan kepada para pria Muslim untuk tidak
menikahi perempuan dungu, karena dikhawatirkan anak yang bakal dilahirkannya
akan mewarisi kedunguannya, selain itu, perempuan dungu tidak akan mampu
mendidik anak dengan baik dan benar. Ali Ra berujar :
“Jangan
sekalipun kalian mengawini perempuan dungu karena bergaul dengan perempuan
seperti itu merupakan petaka bagi seseorang dan anak yang dilahirkan bakal
tidak berguna.”
Tatkala
salah seorang sahabat berkonsultasi kepada Rasul Saw perihal kriteria dasar
calon istri, beliau menjawab tegas :
“Nilai keimanan dan loyalitas keagamaan harus dijadikan
acuan utama memilih pendamping hidup. “
Dalam
sebuah riwayat dituturkan, bahwa suatu hari, seseorang datang menemui Rasul dan
meminta nasehat darinya tentang perkawinan. Rasul saw bersabda:
“Pilihlah
perempuan yang loyal kepada agamanya, niscaya engkau akan bahagia” (HR Muslim).
Memilih pesangan hidup
harus memprioritaskan masalah agama di atas harta dan kecantikannya, Rasul
mengingatkan :
“Jika
lelaki mengawini seorang perempuan karena kecantikan atau hartanya, ia tidak
bakal mendapatkan apa yang ia cari itu, tetapi bila ia mengawininya karena
agamanya, Allah pasti akan memberinya kecantikan dan harta” (HR Turmudzi).
Seorang
pria harus memilih perempuan salehah dan dari klan keluarga baik-baik untuk
pendamping hidupnya, sebab perempuan yang berasal dari keturunan yang baik dan
dibesarkan di lingkungan keluarga yang beriman, akan menjadi perempuan yang
taat beragama. Perempuan seperti inilah yang kelak jika bersuami dapat mendidik
anak-anaknya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Para pria yang hendak
menyunting perempuan untuk pendamping hidupnya, hendaknya menentukan pilihannya
kepada perempuan yang bisa mengantarkannya atau menjadi mitra hidupnya, untuk
meraih kebahahiaan abadi di negeri akhirat (surga Allah), sebagaimana pitutur
Rasul Saw:
Jika perempuan salat lima waktu, berpuasa, menjaga
kemaluannya dan mentaati suaminya, maka kelak akan dikatakan
kepadanya:‘Masuklah ke dalam surga dari pintu surga mana saja yang kamu sukai’
(HR Ibnu Hibban dan Thabrani).
Sebaliknya,
hendaknya para lelaki tidak menikahi wanita jahat. Dalam hadist ;
“Kejahatan seorang perempuan jahat adalah seperti
jahatnya seribu orang jahat dari kaum lelaki. Kebaikan
seorang perempuan yang salehah adalah sepadan dengan amal saleh tujuh puluh
orang-orang shiddiqin.”
Dalam sebuah riwayat
ditandaskan, Rasul Saw bersabda tentang wanita yang digaransi (dijamin) masuk
surga, yaitu:
1.
Wanita yang
memelihara dirinya, taat kepada Allah dan suami, subur (bisa mempunyai anak)
serta sabar;
2.
Menerima apa
yang ada—pemberian suami—walaupun sedikit, dan bersifat pemalu ;
3.
Jika suaminya
pergi, ia menjaga dirinya dan harta suaminya ;
4.
Perempuan yang ditinggal mati suaminya, sedangkan ia
mempunyai anak yang masih kecil-kecil lalu ia menahan dirinya, memelihara dan
mendidik anak-anaknya, serta berbuat baik terhadap mereka dan tidak mau nikah
lagi karena takut menyia-siakan mereka.
Rasul
juga mewartakan tentang perempuan yang kelak menjadi penghuni neraka, yaitu :
a.
Perempuan yang jelek lisannya terhadap suami, jika
suaminya pergi, ia tidak menjaga dirinya. Jika suaminya di rumah, ia menyakiti suaminya
dengan ucapannya ;
b.
Perempuan yang membebani suami (dengan tuntutan) yang
suami tidak mampu melakukannya ;
c.
Perempuan yang tidak menutup dirinya dari lelaki lain dan
ia keluar dari rumahnya dengan berhias;
d.
Perempuan yang sama sekali tidak memiliki keinginan
kecuali makan, minum, dan tidur. Ia tidak memiliki gairah untuk mengerjakan
salat, untuk mentaati Allah Azza wa Jalla, mentaati Rasul, serta tidak mentaati
suaminya. Maka jika ada perempuan memiliki sifat-sifat tersebut, ia adalah perempuan terlaknat, serta bakal menjadi
penghuni neraka Allah, kecuali jika ia bertaubat.
- Muslimah Bekerja Dalam Pandangan Islam
Dewasa
ini tampak semakin banyak perempuan yang beraktivitas di luar rumah untuk
bekerja. Ada yang beralasan mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga
gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Anehnya
banyak pula para perempuan yang mengeluh ketika harus menghadapi ketidak
layakan perlakuan, seperti ; cuti hamil yang terlalu singkat (hak reproduksi
kurang layak), shift lembur siang-malam, sampai pelecehan seksual.
Allah
telah menciptakan pria dan wanita sama, ditinjau dari sisi insaniahnya
(kemanusiaannya). Artinya keduanya diciptakan memiliki
cirri khas kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain.
Keduanya dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri
dan akal. Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap pria dan wanita
apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan
kewajiban sholat, shoum, zakt, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar
ma’ruf nahi munkar dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada pria dan wanita tanpa ada perbedaan. Sebab
semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya, semata-mata
karena sifat kemanusiaan yag ada pda keduanya, tanpa melihat seseorang itu pria
maupun wanita.
Akan
tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (pria
saja atau wanita saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara
pria dan wanita. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan
kepada pria, karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah
tangga. Islam
telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung
jawab pria. Dengan demikian perempuan tidak terbebani tugas (kewajiban) mencari
nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah
dari suaminya. bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung
jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin
kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah perempuan
tersebut kepada Daulah (Baitul Maal), jadi bukan dengan jalan mewajibkan
perempuan bekerja. Sekalipun perempuan telah dijamin nafkahnya melalui pihak
lain (suami atau wali), bukan berarti Islam tidak membolehkannya bekerja untuk
mendapatkan harta/ uang sendiri, bahkan
ia pun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt
berfirman :
“…
Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan
(pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (Qs An Nisa 32).
Hanya saja perempuan
harus tetap terikat dengan ketentuan Allah (hukum syara’) yang lain ketika ia
bekerja. Artinya ia tidak boleh menghalalkan segala cara dan segala kondisi
dalam bekerja, juga tidak boleh meninggalkan kewajiban apapun yang dibebankan
kepadanya dengan alasan waktunya sudah habis untuk bekerja atau dia sudah capek
bekerja sehingga tidak mampu lagi untuk mengerjakan yang lain. Justru ia harus
lebih memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya daripada bekerja, karena
hukum
bekerja bagi perempuan adalah mubah, karena apabila seorang mukmin/
muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib,
berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) kepada Allah. Oleh karena itu tidak
layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya
sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan
bekerja sementara ia melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti
mengenakan jilbab jika kelaur rumah, sholat lima waktu dan lain-lain.
Perlu disadari bahwa
ketika Allah Swt menjadikan tugas pokok sebagai ibu dan pengatur rumah tangga,
Dia juga telah menetapkan seperangkat syariat agar tugas pokok ini terlaksana
dengan baik, sebab terlaksananya tugas ini akan menjamin lestarinya generasi
manusia serta terwujudnya ketenangan hidup individu dalam keluarganya,
sebaliknya bila tugas pokok baginya tidak terlaksana dengan baik, tentu akan
mengakibatkan punahnya generasi manusia dan kacaunya kehidupan keluarga.
Seperangkat syariat
yang menjamin terlaksanya tugas pokok perempuan ada yang berupa rincian hak dan
kewajiban yang harus dijalankan wanita (seperti wajib memelihara kehidupan
janin yang dikandungnya, haram menggugurkannya kecuali alasan syar’i, wajib mengasuh
bayinya, menyusuinya sampai mampu mandiri dan mengurus dirinya), ada pula yang
berupa keringanan bagi wanita untuk melaksanakan kewajiban lain (seperti tidak
wajib sholat selama waktu haid dan nifas), boleh berbuka puasa pada bulan
Ramadlan (ketika haid, hamil, nifas dan menyusui). Kemudian ada pula yang
berupa penerimaan hak dari pihak lain (seperti nafkah dari suami/ wali). Semua
ini bisa terlaksana apabila terjadi kerjasama antara pria dan perempuan dalam menjalani kehidupan ini, baik dalam
kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara fungsi
reproduksi perempuan dengan produktivitasnya ketika ia bekerja. Karena
semua ini tergantung pada prioritas peran yang dijalaninya. Munculnya
pertentangan ini disebabkan tidak adanya penetapan prioritas tersebut.
Usaha
manusia untuk memperoleh kekayaan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah
suatu hal yang fitri, namun manusia tidak boleh dibiarkan begitu saja
menentukan sendiri bagaimana cara memperoleh kekayaan tersebut, sebab bisa jadi
manusia berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan hak orang lain. Bila ini
yang terjadi, bisa menyebabkan gejolak dan kekacauan di tengah-tengah
masyarakat, bahkan bisa mengakibatkan kerusakan dan nestapa. Padahal semua
manusia memiliki hak untuk menikmati seluruh kekayaan yang telah diciptakan
Allah di bumi ini. Oleh karena itu Allah telah menetapkan beberapa cara yang
boleh bagi manusia untuk memperoleh (memiliki) kekayaan/ harta. Antara lain
dengan “bekerja”. Ini berlaku bagi pria dan wanita, karena wanita tidak
dilarang untuk memiliki harta.
Tatkala
bekerja itu memiliki wujud yang luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya
beragam dan hasilnya berbeda-beda, maka Allah Swt pun telah menetapkan
jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebab kepemilikan harta. Salah
satu diantaranya adalah ‘ijaroh’ (kontrak tenaga kerja).
Apabila
kita telaan secara mendalam, hukum-hukum yang berkaitan dengan ijaroh bersifat
umum, berlaku bagi pria maupun wanita. Maksudnya wanita pun boleh melakukan
ijaroh, baik ia sebagai ajir (orang yang diupah atas jasa yang disumbangkannya)
maupun sebagai musta’jir (orang yang memberi upah kepada orang yang memberinya
jasa).
Transaksi
ijaroh hanya boleh dilakukan terhadap pekerjaan yang halal bagi setiap muslim
dan tidak boleh bagi pekerjaan-pekerjaan yang haram. Oleh karena itu, transaksi
ijaroh boleh dilakukan dalam urusan perdagangan, pertanian, industri,
pelayanan, guru (pengajaran), perwakilan dan perantara bagi dua orang yang
bersengketa (peradilan). Demikian pula pekerjaan lain seperti menggali sumber
alam dan membuat pondasi bangunan ; mengemudikan mobil ; kereta, kapal, pesawat
; menvetak buku ; menerbitkan Koran dan majalah, menjahit baju, termasuk dalam
kategori ijaroh. Semua pekerjaan tersebut boleh dilakukan oleh wanita
sebagaimana pria, karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal
dilakukan oleh setiap muslim. Dengan demikian boleh pula bagi wanita bekerja
mengambil upah dari semua jenis pekerjaan di atas. Namun bagi wanita harus tetap
memperhatikan beberapa hukum lain yang harus diikutinya ketika ia memutuskan
untuk bekerja, sehingga ia bisa memastikan bahwa semua perbuatan yang
dilakukannya tidak ada yang melanggar ketentuan Allah (hukum syara’).
Apabila
setiap muslim yang bekerja (termasuk buruh wanita) untuk memperoleh upah/ gaji
sejak awal bersikap demikian, berarti ia telah menempatkan diri pada posisi
tawar yang tinggi, sehingga kelayakan kerja bisa dipastikan sejak awal (sebelum
melakukan aqad). Dengan demikian majikan tidak bisa berbuat seenaknya kepada
buruh, bahkan majikan akan menyesuaikan dengan keinginan buruh, sebab tanpa
jasa buruh, usahanya tidak dapat berjalan. Dengan demikian para buruh wanita
tidak akan terjerumus pada polemik berkepanjangan dalam ketidak layakan kerja.
Tatkala
wanita bekerja, selain harus menentukan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya
dihalalkan oleh syara’, ia pun harus memastikan bahwa situasi bekerjanya sesuai
dengan ketentuan syara’. Apabila dalam melakukan pekerjaan tersebut
mengharuskan wanita bertemu dengan pria, maka wanita pun harus terikat dengan
ketentuan syara’ yang berkaitan dengan interaksi antara pria dan wanita dalam
kehidupan umum (bermasyarakat). Artinya ia tidak boleh
bercampur baur begitu saja dengan lawan jenisnya tanpa aturan. Oleh karena itu
harus difahami bahwa interaksi dalam kehidupan masyarakat antara pria dan
wanita (termasuk dalam system kerja) tidak lain adalah hanya untuk saling
ta’awwun (tolong menolong). Interaksi kerja ini harus dijauhkan dari pemikiran
tentang hubungan jinsiyah (seksual). Sehingga ketika bekerja pun bukan dalam
rangka memanfaatkan potensi kewanitaan (kecantikan, bentuk tubuh,
kelemahlembutan dan lain-lain) untuk menarik perhatian lawan jenis. Bekerjanya
wanita haruslah karena skill/ kemampuannya yang dimiliki oleh wanita sesuai
dengan bidangnya.
Pengaturan
sistem interaksi ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi tindak
pelecehan seksual pada wanita saat ia bekerja. Islam sejak awal telah menjaga
agar kehormatan wanita senantiasa terjaga ketika ia menjalankan tugas-tugasnya
dalam kehidupan bemasyarakat. Adapun tentang pengaturan system
interaksi pria dan wanita, Islam telah menetapkannya dalam sekumpulan hukum,
diantaranya :
- Diperintahkan kepada pria maupun wanita untuk menjaga/ menundukkan pandangannya, yaitu : Menahan diri dari melihat lawan jenis disertai dengan syahwat sekalipun yang dilihat itu bukan aurat dan dari melihat aurat lawan jenis sekalipun tidak disertai syahwat misalnya melihat rambut wanita. Firman Allah dalam QS An Nur 31 ; “Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya”.
- Diperintahkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian sempurna ketika keluar rumah (termasuk ketika bekerja di luar rumahnya) yaitu dengan jilbab dan kerudung (QS 24 : 31 dan QS 33 : 59) ;
“… dan hendaklah mereka menutupkan khimar (kain kerudung)
ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…” (QS 24 : 31).
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : ‘hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS 33 : 59).
Yang
dimaksud dengan khimar adalah kain yang menutup rambut kepala hingga menutup
bukaan baju (dada). Sedangkan jilbab adalah pakaian yang dipakai di atas
pakaian dalam rumah yang menjulur dari atas hingga ke bawah, menutupi kedua
kaki.
- Dilarang berkhalwat pria dan wanita. Sabda Rasulullah ; “tidak boleh berkhalwat laki-laki dan perempuan kecuali bersama perempuan itu ada mahram”
- Dilarang perempuan bertabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan untuk menarik perhatian pria yang bukan mahromnya). Sabda Rasulullah ; “barang siapa perempuan yang memakai wangi-wangian, kemudian lewat di depan laki-laki, hingga tercium wanginya,maka dia seperti pezina (dosanya seperti pezina)”.
- Dilarang perempuan melibatkan diri dalam aktivitas yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi kewanitaannya, misalkan ; pramugari, foto model, artis, dsb.
- Dilarang
perempuan untuk melakukan perjalanan sehari semalam tanpa mahram.
Sabda Rasulullah ; “Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”. - Dilarang perempuan bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita.
Demikianlah
Islam mengatur sistem interaksi pria dan wanita. Semua tidak lain untuk menjaga
izzah (kehormatan) wanita dan menjaga ketinggian iffah kaum muslimin.
Dewasa
ini banyak perempuan (termasuk para muslimah yang terjun ke dunia kerja),
walaupun upah yang mereka terima lebih rendah dan perlakuan yang mereka terima
juga tidak layak, namun dari hari ke hari jumlah tenaga kerja wanita (buruh)
ini semakin meningkat. Keadaan ini
memang tidak terlepas dari kondisi sistem yang mereka hadapi. Dominasi alam
Kapitalis ataupun sosialis menciptakan situasi sulit bagi para buruh wanita
(masyarakat secara umum).
Kalau
kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal
Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka
aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai
bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama
orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut
dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat
memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari
pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara
singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa
“perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut
membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.
Pekerjaan
dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka
ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam
peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Di
samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai
bidang pekerjaan, antara lain :[26][10]
1.
Ada yang bekerja
sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara
lain, Shafiyah bin Huyay –istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi
perawat atau bidan, dan sebagainya.
2.
Dalam bidang
perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat
sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang
tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta
petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad,
kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi
kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada
perempuan ini dengan sabdanya: “Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu,
maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik
kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam
menawar atau menawarkan sesuatu).”
3.
Istri Nabi saw.,
Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan
hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn
Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Al-Syifa’, seorang perempuan yang
pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang
menangani pasar kota Madinah.
Demikian
sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau
menyangkut keikut sertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digaris bawahi bahwa Rasul saw.
banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan
waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat.
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini
telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama
pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun
selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama
norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk
kaum perempuan, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki
jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap
tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah
Al-’Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat
mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan
kedudukan perempuan sebagai hakim.
M. Hukum Wanita Karier
Ada berbagai pendapat
mengenai hukum wanita karier ini yang semuanya berdasarkan alasan tersendiri,
diantaranya:
1.
Melarang Wanita
menjadi Wanita Karier
Menurut ulama
yang berpendapat seperti ini, pada dasarnya hukum karier wanita di luar rumah adalah terlarang, karena dengan bekerja diluar rumah maka akan ada banyak
kewajiban dia yang harus ditinggalkan. Misalnya melayani keperluan
suami, mengurusi dan mendidik anak serta hal lainnya yang menjadi tugas dan
kewajiban seorang istri dan ibu. Padahal semua kewajiban ini sangat melelahkan
yang membutuhkan perhatian khusus. Semua kewajiban ini tidak mungkin terpenuhi
kecuali kalau seorang wanita tersebut memberi perhatian khusus padanya.
Larangan ini didasarkan bahwa suami diwajibkan untuk membimbing istrinya
pada jalan kebaikan sedang istri
diwajibkan mentaatinya. Begitu pula dengan hal dunia laki-laki dan wanita, maka
islam menjadikan laki-laki diluar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya,
sebagaimana sabda Rasululloh :
ولهن عليكم رزقهن و كسوتهن بالمعروف
“Dan hak para istri atas kalian (suami) agar kalian
memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”
Disisi
lainnya, tempat wanita dijadikan di dalam rumah untuk mengurusi anak,
mendidiknya, mempersiapkan keperluan suami serta urusan rumah tangga dan
lainnya.
Rasululloh
shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sabdanya yang
mulia :
والمرأة راعية في
بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها
“Dan wanita adalah pemimpin dirumah suaminya dan dia akan
dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.”
2.
Memperbolehkan Wanita Berkarier Di luar Rumah.
Jika
memang ada sesuatu yang sangat mendesak untuk berkariernya wanita diluar rumah
maka hal ini diperbolehkan. Namun harus dipahami bahwa sebuah kebutuhan yang
mendesak ini harus ditentukan dengan kadarnya yang sesuai sebagaimana sebuah
kaidah fiqhiyah yang masyhur. Dan kebutuhan yang mendesak ini misalnya :
a.
Rumah tangga memerlukan kebutuhan pokok yang
mengharuskan wanita bekerja.
Misalnya karena
suaminya atau orang tuanya meninggal dunia atau keluarganya sudah tidak bisa
memberi nafkah karena sakit atau lainnya, sedangkan negara tidak memberikan
jaminan pada keluarga semacam mereka. Lihatlah kisah yang difirmankan Allah
dalam surat Al Qoshosh 23 dan 25 :
$£Js9ur yuur uä!$tB útïôtB yy`ur Ïmøn=tã Zp¨Bé& ÆÏiB Ĩ$¨Y9$# cqà)ó¡o yy_urur `ÏB ãNÎgÏRrß Èû÷üs?r&tøB$# Èb#yräs? ( tA$s% $tB $yJä3ç7ôÜyz ( $tGs9$s% w Å+ó¡nS 4Ó®Lym uÏóÁã âä!$tãÌh9$# ( $tRqç/r&ur Óøx© ×Î72 ÇËÌÈ
4s+|¡sù $yJßgs9 ¢OèO #¯<uqs? n<Î) Èe@Ïjà9$# tA$s)sù Éb>u ÎoTÎ) !$yJÏ9 |Mø9tRr& ¥n<Î) ô`ÏB 9öyz ×É)sù ÇËÍÈ
çmø?uä!$mgmú $yJßg1y÷nÎ) ÓÅ´ôJs? n?tã &ä!$uósÏFó$# ôMs9$s% cÎ) Î1r& x8qããôt tÌôfuÏ9 tô_r& $tB |Møs)y $oYs9 4 $£Jn=sù ¼çnuä!$y_ ¡Ès%ur Ïmøn=tã }È|Ás)ø9$# tA$s% w ô#ys? ( |NöqpgwU ÆÏB ÏQöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇËÎÈ
“Dan tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan ternaknya, dan ia menjumpai dibelakang orang yang
banyak itu dua orang wanita yang sedang menambat ternaknya.
Musa berkata : “Apa maksud kalian berbuat demikian ?”
Kedua wanita itu menjawab : “Kami tidak dapat meminumkan ternak kami
sebelum penggembala-pengembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami
adalah orang tua yang telah berumur lanjut, Maka Musa memberi minum ternak itu
untuk menolong keduanya.
Kemudian ia kembali ketempat yang teduh lalu berdo’a : “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan
kepadaku.
Kemudian datang kepada Musa salah
seorang dari kedua wanita
itu, berjalan dengan penuh rasa
malu, ia berkata : “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu untuk
memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan
kepadanya cerita (mengenai dirinya). Syu’aib berkata:”Janganlah kamu takut.
Kamu telah selamat dari orang-orang yang dzalim itu””.
Perhatikanlah perkataan kedua wanita tadi : “Sedang
bapak kami adalah orang tua yang telah berumur lanjut.” Ini
menunjukkan bahwa keduanya melakukan perbuatan tersebut karena terpaksa, disebabkan orang tuanya
sudah lanjut dan tidak bisa melaksanakan tugas tersebut.
b.
Tenaga wanita tersebut dibutuhkan oleh masyarakat dan pekerjaan tersebut
tidak bisa dilakukan oleh laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa di zaman Rosulullah ada para wanita yang bertugas
membantu kelahiran, semacam dukun bayi atau bidan pada saat ini. Juga saat itu
ada wanita yang mengkhitan anak-anak wanita. Dan yang dhohir bahwa perkerjaan
ini mereka lakukan diluar rumah. Pada zaman ini bisa ditambahkan yaitu dokter wanita spesialis kandungan,
perawat saat bersalin, tenaga pengajar yang khusus mengajar wanita dan yang
sejenisnya.
Diantara pekerjaan wanita yang ada pada zaman Rosululloh adalah apa yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita
anshor, maka mereka memberi minum dan mengobati orang yang terluka.”[27]
Disamping itu sejarah mencatat, beberapa wanita yang menjadi istri
Rasulullah saw juga menjadi wanita karier, yaitu Siti Khadijah dan Siti Aisyah.
Kalau kita mengkaji ajaran Islam, maka kita menemukan bahwasanya Islam
dengan segala konsepnya yang universal selalu memberikan motivasi-motivasi
terhadap laki-laki dan perempuan untuk meng aktualisasi diri secara aktif,
antara lain disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 97:
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ ( óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanyakehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Ayat di atas secara terang benderang memberikan
keleluasaan kepada laki-laki dan permpuan untuk aktif dalam berbagai kegiatan.
Bukan hanya laki-laki yang diberi keleluasaan untuk berkarier, tetapi juga kaum
perempuan dituntut untuk aktif bekerja dalam semua lapangan pekerjaan yang
sesuai dengan kodratnya. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam berkarier, yang membedakan hanyalah jenis pekerjaan yang disesuaikan
dengan kodrat masing-masing. Jadi, Islam mengakui kemajuan atau potensi
perempuan untuk bekerja dan menghargai amal salehnya atau kariernya yang baik
dengan memberi penghargaan yang sama dengan kaum laki-laki.
Menurut ajaran Islam, apapun peranan yang dipegang
oleh perempuan, utamanya sebagai ibu rumah tangga tidak boleh dilupakan, agar
kemungkinan-kemungkinan timbulnya ekses negatif dapat terhindar. Jadi,
perhatian serius dari perempuan untuk membina keluarganya sangat diperlukan
karena tugas tersebut merupakan terpenting dari usaha pembinaan masyarakat
secara luas. Tegak dan runtuhnya masyarakat suatu negara sangat erat
kaitannyadengan keadaan satuan-satuan keluarga secara totalitas membentuk
masyarakat suatu negara. Islam membolehkan perempuan bekerja di luar rumah
selagi perempuan bisa menempatkan dirinya sesuai dengan kodrat keperempuannya.[28]
- Peranan Perempuan Muslimah Dalam Kehidupan Sosial
Interaksi antara pria dan wanita ternyata dalam Islam
bukanlah sesuatu yang dilarang, karena interaksi tersebut sudah terjadi sebelum
masa Nabi SAW. Rasulullah bersabda, “Kaum wanita adalah saudara kandung kaum
pria”. Hal ini mengandung arti bahwa kaum perempuan haruslah ikut
serta dalam berbagai lapangan kehidupan.
Sebagaimana diketahui, lapangan kehidupan tidak
terlepas dari keberadaan kaum laki-laki, bahkan peranan penting dalam
masyarakat didominasi oleh kaum pria, namun Allah tidak menghalangi perempuan
bertemu dan berinteraksi dengan kaum pria dan sebaliknya, berbicara, bertukar
pikiran, atau bekerjasama untuk suatu pekerjaan tidak dihalangi sepanjang tetap
memperhatikan ketentuan-ketentuan agama.
Kebebasan
perempuan dengan segala konsekwensinya, seperti harus bertemu dengan pria
merupakan pola yang sudah ditetapkan oleh syariat dan sunnah Rasulullah
SAW. Beliau sangat memahami peran
perempuan dalam mempermudah dan membantu berbagai usaha kebaikan. Penyalah gunaan kondisi tersebut sama artinya
dengan mempersulit dan mempersempit ruang gerak perempuan sekaligus
menghalanginya dari melakukan kebaikan serta memposisikan perempuan dalam
bidang-bidang yang lemah. Namun kebebasan tersebut tidak lantas melalaikan
mereka dari pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab terhadap rumah tangga dan
anak-anaknya.
- Qiwamah dalam Ranah Politik
Dalam sejarah kenabian tercatat sejumlah perempuan tangguh
yang ikut memainkan peran-peran penting bersama kaum laki-laki. Khadijah,
Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri Nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab
(cucu) Sukainah (cicit) adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas. Mereka sering
terlibat dalam diskusi-diskusi tentang tema-tema sosial dan politik bahkan
mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Sejumlah
perempuan sahabat Nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al-Anshariyyah
dan Rabi’ bint al-Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata
melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat
al-Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manager pasar
di Madinah.
Konsep kepemimpinan perempuan dalam
keluarga di atas juga bisa menjadi basis argumentasi bagaimana partisipasi
perempuan dalam ruang publik (baik dalam ranah sosial dan politik) adalah suatu
keniscayaan. Berbicara kepemimpinan adalah berbicara kualitas dan kapabelitas
seseorang untuk memimpin, tidak terkait sama sekali dengan perbedaan kelamin
perempuan atau laki-laki. Islam
pada dasarnya adalah agama yang berdiri tegak pada spirit itu. Sikap misoginis
yang lahir dari produk penafsiran para ulama terdahulu adalah bentuk reduksi
dari spirit nilai keadilan dan kesetaraan dalam Al-qur’an. Karena memang
prinsip dasar dalam Islam adalah kesetaraan total antara laki-laki dan
perempuan, termasuk dalam dunia politik.
Sebagian peran perempuan Arab yang terekam
dalam sejarah memang terlihat tidak signifikan. Mereka hanya sebagai petugas
kesehatan waktu perang, pemeras susu kambing dan unta serta bekerja menyusui
anak orang lain. Aktivitas perempuan seperti ini hendaknya dipahami
sebagai hasil interaksi dengan proses perkembangan sejarah, bukan dalih untuk
menghambat partisipasi perempuan dalam jenis pekerjaan lainya. Artinya jika
kemudian perempuan mampu menduduki peran-peran strategis yang dahulu hanya
dimonopoli oleh laki-laki, maka siapapun tidak berhak untuk menghalanginya.
Keyakinan dominan masyarakat kita
menyatakan bahwa pekerjaan perempuan harus dibatasi pada ruang domestik (di
dalam rumah) sedangkan laki-laki pada ruang publik. Sebagian orang
bahkan mempersempit kerja perempuan hanya dalam kerja mengasuh dan melayani
suami. Tidak ada kewajiban lain bagi perempuan (istri) kecuali untuk
fungsi-fungsi reproduksi, melayani suami, mengurus anak dan mengatur rumah. Ini
karena anggapan masyarakat tadi yang menganggap bahwa watak dan karakter
perempuan memang diciptakan Tuhan untuk kerja-kerja seperti itu. Yakni
kerja-kerja yang membutuhkan sentuhan emosional, kelembutan, kesabaran,
ketelitian dan sifat-sifat feminitas lainnya. Kerja perempuan di luar rumah
dipandang sebagai penyimpangan karakter. Karena itulah pandangan umum juga
seringkali menganggap hasil kerja dan keringat perempuan sebagai hasil tambahan
atau sampingan belaka.
Biasanya, perempuan yang ingin
mengaktualisasikan kemampuannya dalam ranah publik, akan berbenturan dengan dua
hal. Pertama, bagi perempuan yang bersuami ia akan berhadapan dengan perizinan
dari suaminya sekaligus konstruksi hukum fiqih yang belum memihak perempuan.
Kedua, bagi perempuan yang belum bersuami akan berhadapan dengan persepsi
masyarakat yang menganggap tidak lazim perempuan berkarir. Kedua faktor
tersebut tentu sangat merugikan kaum perempuan yang memiliki kompetensi untuk
berkontestasi dalam dunia sosialnya.
Ada sebagian kelompok yang menyatakan
bahwa ada dua penghalang bagi perempuan untuk bekerja. Pertama, dunia kerja
meniscayakan bercampurnya laki-laki dan perempuan. Pada hal Islam tidak
melarang perempuan untuk berinteraksi dan bergaul dengan laki-laki, yang
diperingatkan Islam adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan tanpa ada
mahram dalam ruangan tertutup (khalwah). Kedua, terdapat sejumlah
pekerjaan yang tingkat kesulitannya menjadikan perempuan sulit melakukanya
(misalnya, pekerjaan kasar di pengeboran minyak, penambangan batu bara dan lain
sebagainya). Memang ada
sebagian pekerjaan yang tidak cocok dengan sifat feminitas perempuan. Fakta ini
dapat dibenarkan, hanya saja yang berhak menentukan sendiri sebatas apa
pekerjaannya dan bidang apa yang cocok dan tidak adalah pihak perempuan
sendiri, bukan pihak laki-laki.
Al-qur’an pun dalam banyak ayat
menegaskan bahwa kewajiban bekerja berlaku bagi manusia laki-laki dan
perempuan. “Jika kamu selesai shalat, segeralah bertebaran di muka bumi
untuk mencari anugerah Allah dan sering-seringlah mengingat Allah supaya kamu
beruntung”(Q.S. al-Jumu’ah:10). Tuhan sama sekali tidak membedakan antara
keduanya. Tuhan juga menegaskan kewajiban berbuat keadilan dan melarang
tindakan yang bersifat eksploitatif terhadap orang lain. Al-qur’an juga
mendesak kaum muslimin untuk tidak menahan hak orang lain (Q.S. 26 :183). Nabi
pernah menyatakan : “Seorang buruh (laki-laki atau perempuan) berhak
memperoleh makanan dan pakaian yang baik dengan ukuran yang moderat dan tidak
dibebani dengan pekerjaan di luar kemampuannya”.
Islam tidak memberikan batasan-batasan
ruang untuk kerja perempuan maupun laki-laki. Masing-masing bisa bekerja di
dalam maupun di luar rumah dan dalam semua bidang yang baik yang dibutuhkan
untuk kelangsungan hidup yang baik pula. Meski demikian, pandangan dan
perlakuan sebagian besar masyarakat terhadap perempuan masih saja
diskriminatif. Pekerjaan untuk perempuan lebih banyak pada bidang-bidang yang
terkait dengan sifat feminin dan bias gender, yakni misalnya bidang yang
membutuhkan kelembutan, kesabaran, ketelitian, ketekunan dan hal-hal lain yang
diasosiasikan dan disosialisasikan sebagai sifat perempuan. Bentuk-bentuk kerja
feminitas ini dianggap lebih rendah daripada bentuk kerja maskulin yang
dicerminkan dalam wujud kecerdasan intelektual, kekuatan otot, keberanian,
berfikir rasional dan sebagainya. Akibatnya adalah upah yang diterima perempuan
lebih rendah dari upah laki-laki.
Sama halnya dalam dunia kerja,
partisipasi perempuan dalam dunia politik adalah keniscayaan. Walaupun ada
klaim bahwa politik itu dunianya laki-laki, karena politik adalah ranah publik
yang penuh pertarungan dan intrik. Klaim tersebut memiliki pengaruh cukup kuat
terhadap perilaku masyarakat yang menghambat partisipasi perempuan dalam dunia
politik. Padahal dalam rangka membebaskan perempuan dari belenggu sistem
patriarkhis, Islam mengawalinya dengan memberikan hak-hak politik. Sebagai
contoh, dalam bidang perlawanan frontal terhadap penguasa tiran, di sana ada
Sumayyah. Khadijah istri Rasulullah saw adalah cerminan dari sosok wanita
karir, dan Aisyah adalah sosok politisi yang memperjuangkan Islam sesuai
dengan tuntutan zaman itu.
Sebagian pihak yang menentang
keterlibatan perempuan dalam politik berpegang pada hadis Nabi: “Tidak akan
beruntung suatu kaum yang telah menyerahkan urusanya kepada seorang perempuan”.
Padahal hadis ini hanya merupakan tanggapan Nabi pada sebuah peristiwa
tertentu, yaitu salah seorang sahabat memberikan informasi kepada Nabi perihal
kematian raja Romawi yang kemudian diganti oleh putrinya. Nabi berkomentar “lan
yufliha qaumun wallauw amarahum imro’atan”. Hadis ini tidak dapat dipahami
sebagai bagian dari syariat, ia hanyalah sebatas komentar atas peristiwa yang
kasuistik dan tidak termasuk dalam batasan hukum. Fatima Mernissi membahas
secara detail terkait Hadis ini dan berhasil membuktikan bahwa hadis tersebut
adalah hadis kasuistik “munfaridah”, sedangkan salah satu perawinya adalah Abu
Bakar yang ditengarai pernah melakukan persaksian palsu dalam masa Umar Bin
Khattab tentang peristiwa zina yang dituduhkan pada Mughirah bin Syu’bah.
Oleh karena
itu, hadis ini tidak dapat dijadikan dasar pengambilan hukum. Jika makna hadis
ini lahir dalam konteks tradisi dan budaya tertentu, maka tentu saja hadis ini
tidak bisa dipahami sebagai ketentuan yang mapan, karena tradisi dan kebudayaan
tidak bersifat permanen.
Justru dalam Al-qur’an terlihat jelas
bagaimana kepemimpinan perempuan mendapat legitimasi dari kisah ratu Saba,
seorang ratu adil di masa Nabi Sulaiman. Al-qur’an menceritakan kisah seorang
pemimpin perempuan dari sebuah negara Saba (Sheba) yang sukses membawa
bangsanya dalam kehidupan yang makmur. Kebesaran singgasana Sang Ratu diceritakan oleh seekor
burung Hud-Hud. Katanya : "Sungguh, aku menjumpai seorang perempuan
yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala-galanya dan singgasana yang
besar". (Q.S. al Naml; 23). Ini adalah kisah yang diungkapkan
Al-qur’an, yang tidak dapat diragukan kebenarannya. Saat itu praktik
kepemimpinannya sudah memperlihatkan sebuah kekuasaan yang dibangun dengan
cara-cara demokratis. Ini bertolak belakang dengan sikap Bauran bin Syiruyah
ibn Kisra, sang Ratu Persia, yang arogan, otokratik dan sentralistik. Sikap
pemimpin perempuan inilah yang oleh Nabi Muhammad dikritik dengan tajam sebagai
kekuasaan yang tidak akan bisa mensejahterakan rakyatnya.
Konstruksi
sosial yang mendikotomikan bahwa peran laki-laki di sektor publik dan perempuan
di sektor domestik berimplikasi pada rendahnya akses dan partisipasi perempuan
dalam dunia politik. Jika kita hendak menerapkan Islam dalam konsepnya yang
selalu relevan dalam setiap zaman, kita harus menyajikannya sebagai Islam yang
hadir pada zaman dan ruang kehidupan kita. Dalam kondisi ini laki-laki dan
perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menempati peran di berbagai lini
kehidupan. Pemarjinalan perempuan adalah pengaruh konteks sejarah yang
“memaksa” dan membatasi ruang gerak mereka, bukan karena Islam.
Perempuan merupakan substansi yang selalu enak dan elok untuk diperbincangkan oleh semua kalangan, baik kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan itu sendiri. Itu bisa dimaklumi, mengingat perempuan adalah sosok yang cukup penting dalam kehidupan. Perempuan merupakan penerus, pengabdi, dan pendidik bagi generasi yang akan datang, yaitu generasi yang akan menentukan perjalanan bangsa tercinta ini. Kalau kita berbicara perempuan haruslah pertama-tama kita mulai dengan menempatkan mereka sebagai manusia. Dengan bertumpu pada titik pandang kemanusiaan, kita akan menilai bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama, sama mulia budi pekertinya, sama luhur cita-citanya, dan sama-sama memiliki impian dan harapan. Dan tentu mereka mempunyai potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi kepemimpinan sebagai individu maupun makhluk sosial (Marwah Daud, 1996).
Perempuan merupakan substansi yang selalu enak dan elok untuk diperbincangkan oleh semua kalangan, baik kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan itu sendiri. Itu bisa dimaklumi, mengingat perempuan adalah sosok yang cukup penting dalam kehidupan. Perempuan merupakan penerus, pengabdi, dan pendidik bagi generasi yang akan datang, yaitu generasi yang akan menentukan perjalanan bangsa tercinta ini. Kalau kita berbicara perempuan haruslah pertama-tama kita mulai dengan menempatkan mereka sebagai manusia. Dengan bertumpu pada titik pandang kemanusiaan, kita akan menilai bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama, sama mulia budi pekertinya, sama luhur cita-citanya, dan sama-sama memiliki impian dan harapan. Dan tentu mereka mempunyai potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi kepemimpinan sebagai individu maupun makhluk sosial (Marwah Daud, 1996).
Kaum laki-laki telah melahirkan karya seni yang besar; kaum
perempuan telah melahirkan kaum laki-laki; dan ibu yang besar akan melahirkan
bangsa yang besar pula, sebagaimana yang dikutip oleh pemikir proklamator kita
dalam Colin Brown, Soekarno on the of women. Kutipan tersebut
mengisyaratkan gambaran kenyataan peran dan fungsi perempuan sangat penting dan
menentukan dalam kehidupan, karena perempuan menjadi pusat atau sentralnya
sebuah bangsa akan berkembang.
Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan baik sekarang
maupun masa akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam
pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya pada semua tingkat internasional,
regional. Pada masa pra Islam dunia diwarnai oleh imperialisme dan kolonialisme
antar sesama manusia maupun antar kelompok, suku, dan bangsa. Kaum perempuan
diibaratkan tidak lebih dari barang yang bisa dijual belikan, menjadi bagian
dari kaum laki-laki (subordinatif), makhluk yang tidak berharga, tidak memiliki
independensi diri, hak-haknya boleh dirampas dan ditindas, keberadaannya sering
menimbulkan masalah, dan diletakkan dalam posisi marginal.
- Politik dan Pemimpin Perempuan abad ke-20
Perempuan telah di pucuk pimpinan dari
urusan negara mereka selama beberapa generasi, tetapi dalam abad ke-20 jumlah pemimpin
perempuan terkenal meningkat tajam sekaligus membuktikan bahwa perempuan mampu
memimpin. 8 wanita yang tercantum di bawah ini memimpin negara melalui
masa-masa pergolakan dan damai
1.
Indira Gandhi -
Perdana Menteri India
Lahir ke
India's politis berpengaruh keluarga Nehru, ia wanita pertama India Perdana
Menteri. Berhidung keras pragmatis, ia memerintah negara dengan keteguhan dan
tekad, keras dan mengambil keputusan-keputusan sulit bila diperlukan. Dia dibunuh oleh dua penjaga sendiri
pada tahun 1984.
2.
Margaret
Thatcher - Perdana Menteri Britania Raya
Dijuluki "Wanita Besi" karena
sikap keras nya melawan bekas Uni Soviet, ia memimpin negara melalui resesi dan
tingkat pengangguran yang tinggi menjadi masa yang relatif kemakmuran, dan
peningkatan dalam perawakannya di antara sesama bangsa-bangsa. Dia adalah
wanita pertama yang memimpin sebuah partai politik besar di Britania Raya.
3.
Benazir Bhutto
- Perdana Menteri Pakistan
Putri Perdana
Menteri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto, ia memerintah dengan negara dari
1988-1990, dan 1993-1996. Dia dibunuh pada tahun 2007, selama kampanye pemilu.
Secara luas diharapkan bahwa ia akan terus menjadi Perdana Menteri catatan masa
jabatan ketiga.
4.
Corazon Aquino
- Presiden Filipina
Wanita pertama
di Asia yang jadi Presiden, ia adalah seorang pemula ketika ia terpilih menjadi
Presiden beberapa saat setelah pembunuhan suaminya. Dia adalah pendukung kuat
hak-hak perempuan dan demokrasi sebagai lawan Ferdinand Marcos yang
diktatorial.
5.
Sonia Gandhi -
Pemimpin Partai Kongres India
Dipercaya oleh
banyak orang sebagai kekuatan di balik tahta, dia tidak memegang jabatan
politik, namun peraturan negara. Kelahiran Italia, ia mengadopsi India sebagai
negaranya setelah menikah dengan Rajiv Gandhi. Ia telah dicalonkan sebagai
ketiga wanita paling kuat di dunia.
6.
Eva Perón -
Istri Presiden Argentina
Istri kedua
Presiden Juan Peron, ia adalah wanita yang sangat kuat, karena pengaruhnya pada
suaminya, dan memperjuangkan hak-hak orang miskin dan para perempuan Argentina.
Ia berlari
Departemen kesehatan dan Perburuhan, dan menemukan perempuan besar pertama
partai politik di negaranya.
7.
Golda Meir - Perdana Menteri Israel
Wanita pertama
di seluruh dunia untuk menjadi Perdana Menteri sebuah negara, dia aturan Sri
Lanka tiga kali, 1960-1965, 1970-1977 dan 1994 sampai 2000. Dia adalah kepala
dari Partai Kebebasan Sri Lanka selama 40 tahun sampai kematiannya. Istilah nya
melihat negara melihat-lihat melalui baik dan buruk kali, dan selama semester
lalu ia lebih populer di luar negeri daripada dirinya di negerinya sendiri.
Disebut sebagai "orang terbaik dalam kabinet" oleh Daivd Ben Gurion,
dia adalah Perdana Menteri keempat negara Israel. Krisis terbesar selama jangka
adalah Perang Yom Kippur 1973, di mana dia membuat keputusan untuk menghindari
serangan pre-emptive, sehingga memperoleh persetujuan dari sekutu terbesar,
Amerika Serikat.
8.
Sirimavo
Bandarnaike - Perdana Menteri Sri Lanka
Wanita pertama
di seluruh dunia untuk menjadi Perdana Menteri sebuah negara, dia aturan Sri
Lanka tiga kali, 1960-1965, 1970-1977 dan 1994 sampai 2000. Dia adalah kepala
dari Partai Kebebasan Sri Lanka selama 40 tahun sampai kematiannya. Istilah nya
melihat negara melihat-lihat melalui baik dan buruk kali, dan selama semester
lalu ia lebih populer di luar negeri daripada dirinya di negerinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.rahima.or.id/index.php/suplemen/623-konsep-qiwamah-perempuan-dalam-islam-suplemen-14ed-33
[2] Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami Istri (Bandung: Anggota IKAPI, 1988), hlm. 114
[3] M. Hasan Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 193
[4]Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer ( Indonesia:
Penerbit Ghalia Inonesia, 2010), hlm. 63
[10][17]L.A
Kuperus, “Bagaimana Bakul-Bakul Kecil (Bakulan) Mendapatkan Modal Usaha”
dalam Maria Ulfah dkk (ed), Peranan
Dan Kedudukan Wanita Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University 1998).,
hlm 85
[17][1] Haniva
Az Zahra, Peserta Program Pembinaan SDM Strategis Nurul Fikri,
http://kampus.okezone.com/read/2011/03/09/95/432903/95/perempuan-dan-kesetaraan-gender
[20][2]
Hidle Hein, “Liberating Philisophy: An End to the Dichotomy of Spirit
and Matter,” eds. dalam Ann Gary dan Marlyn Persall, Women, Knowledge and
Reality (London: Unwin Hyman, 1989), 294. 3
[21][3] Aristotels, Politics
(Istambul: Remzi Publishing House, 1983), 54
[22][4] Fadhilah
Suralaga&Eri Rosatria (ed.), Perempuan : Dari Mitos ke Realitas (Jakarta:
PSW UIN Jakarta - McGill-ICIHEP, 2002), 49-50.
[23][5] Donny Gahral Adian,” Feminis
Laki-laki Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman Subono (ed.) Feminis
Laki-laki: Solusi Atau Persoalan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The
Japan Foundation, 2001), 23-34.
[24][6] Veven Sp.
Wardhana, “ Puanografi dan Media: Yang Bukan perempuan (Tak) Ambil Bagian”,
dalam Nur Iman Subono, Feminis Laki-laki, 90.
[25][7] Ivan A.
Hadar, “Feminisme, Feminis Laki-laki dan Wacana Gender Dalam Upaya Pengembangan
Masyarakat”,dalam Nur Iman Subono,Feminis Laki-laki, 93-111. 7 Ibid.