Minggu, 12 Februari 2017

KEPEMIMPINAN WANITA DAN WANITA KARIER DALAM PERSPEKTIF ISLAM




KEPEMIMPINAN WANITA DAN WANITA KARIER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Di tengah hembusan gerakan feminisme, sebagai akibat dari kebutuhan untuk menghidupi keluarga dan semakin meningkatnya keterdidikan kaum perempuan, isu ketidakadilan gender mulai disuarakan di Indonesia sejak 1960-an, isu ini menjadi bagian dari fenomena dan dinamika masyarakat Indonesia yang membuat posisi kaum perempuan semakin membaik.

Dari sinilah kemudian muncul komunitas pekerja perempuan atau yang lebih populer disebut dengan wanita karier. Wanita karier memperluas dunia pengabdiannya, bukan saja di rumah tangga sebagai ibu (peran domestik), tetapi juga di tengah masyarakat dengan berbagai fungsi dan jabatan (peran publik).
Pandangan yang selama ini diawetkan bahwa setinggi-tinggi perempuan sekolah, akhirnya akan ke dapur juga sudah mulai dipersoalkan, bahkan sudah mulai dibongkar. Dapur tidak lagi dipahami dalam arti kerja domestik, seperti memasak, mengasuh anak, dan mengatur rumah tangga serta melayani suami di kasur. Dapur sudah mengalami pergeseran penafsiran dengan memasuki penafsiran metafora, yakni kewajiban membiayai rumah tangga.
Peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga sudah pula mulai bergeser. Posisi suami dan istri mulai disetarakan, tidak lagi dalam posisi didominasi dan mendominasi. Karena ternyata dalam konteks wanita karier, banyak fenomena penghasilan istri lebih besar dari penghasilan suami.
Namun fungsi sebagai wanita karier ini ternyata tidak sepi dari persoalan. Persoalan tersebut antara lain adalah tentang pengasuhan anak. Secara emosional anak lebih dekat kepada ibunya, ketimbang kepada ayahnya. Oleh sebab itu ketergantungan anak terhadap ibu sebagai pengasuh, pendidik, serta yang mengawasi perkembangan anak banyak diletakkan pada ibu. Sementara ayah bekerja di luar rumah. Maka bila ibu bekerja di lluar rumah itu berarti perhatian terhadap anak menjadi berkurang.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ibu yang berkarier di luar rumah berpotensi menimbulkan problem dalam pendidikan anak. Intensitas berkomunikasi dengan anak menjadi sangat berkurang. Adalah kenyataan bahwa seoarng anak lebih terbuka kepada teman atau orang lain, tentang masalah-masalah pribadi yang dihadapinya, ketimbang kepada ibunya.
Problem lain adalah kerumahtanggaan. Dengan istri yang berkarier sering diasumsikan akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Meninggalkan rumah karena sibuk bekerja, bisa memicu konflik rumah tangga. Suasana hangat di rumah yang didambakan oleh suami ketika ia pulang dari pekerjaan, akan tidak didapat lagi bila istrinya masih bekerja di luar rumah.
Tidak kalah seriusnya adalah terbukanya potensi tentang munculnya apa yang disebut dengan Pria Idaman Lain (PIL). Walaupun problema ini tidak dapat ditimpakan semata-mata kepada wanita, tetapi akibat sering bertemu di luar rumah, mengadakan meeting dalam rangka bisnis, menjadi sebab yang sangat signifikan akan terjadinya perselingkuhan. Andaikata wanita tidak bekerja di luar rumah tentulah situasi tersebut tidak muncul dan peluang ke arah perselingkuhan tidak akan terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
  1. Definisi Wanita Karier
Wanita karier dan karier wanita masih merupakan tema kontroversi dalam wacana Islam. Wanita karier ialah wanita yang memiliki keahlian, keterampilan, dan profesi khusus di luar kegiatan kerumahtanggaan; Seorang wanita yang menjadikan karier atau pekerjaannya secara serius; Perempuan yang memiliki karier atau yang menganggap kehidupan kerjanya secara serius (mengalahkan sisi kehidupan yang lain); Wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dsb); wanita karier adalah wanita yang mampu mengelola hidupnya secara menyenangkan atau memuaskan, baik di dalam kehidupan profesional (pekerjaan di kantor) maupun di dalam membina rumah tangganya.[1]
Secara lebih jelas, wanita karier adalah wanita yang menekuni dan mencintai sesuatu atau beberapa pekerjaan secara penuh dalam waktu yang relative lama, untuk mencapai sesuatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan atau jabatan. Untuk berkarier berarti harus menekuni profesi tertentu yang membutuhkan kemampuan, dan keahlian.
Pekerjaan yang paling baik bagi wanita adalah menjadi perawat. Sekolah-sekolah perawat, baik yang tingkat dasar maupun tinggi, adalah tempat terbaik untuk melatih dan mengajar wanita. Rumah sakit adalah tempat yang baik pula bagi wanita untuk bekerja sebagai perawat maupun dokter. Pekerjaan semacam itu cocok dengan sifat-sifat kewanitaan.[2]
Aktivitas mereka lebih banyak bergerak  dalam dunia publik. Sedangkan karier wanita adalah konsepsi sosial budaya terhadap pekerjaan dan profesi seorang wanita.
Ketika seorang wanita tampil di arena publik dengan keahlian dan profesi tertentu maka pada saat itu ia dicap sebaagi wanita karier dan sekaligus memberikan perspektif baru pada dunia karier wanita.
Namun demikian tidak semua wanita yang bekerja atau tenaga kerja wanita dapat diklaim sebagai tenaga karier. Karena merka yang hasil karyanya sebatas dapat menghasilkan imbalan keuangan disebut sebagai wanita bekerja, meskipun imbalan tersebut tidak diterima secara langsung.
Secara lebih jelas, wanita karier adalah wanita yang menekuni dan mencintai sesuatu atau beberapa pekerjaan secara penuh dalam waktu yang relatif lama, untuk mencapai sesuatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan atau jabatan. Umumnya karier wanita ditempuh oleh wanita di luar rumah, sehingga wanita karier tergolong mereka yang berkiprah di sektor publik. Disamping itu, untuk berkarier berarti harus menekuni profesi tertentu  yang membutuhkan kemampuan, kapasitas, dan keahlian dan acap kali hanya bisa diraih dengan persyaratan telah menempuh pendidikan tertentu.
B.     Motivasi Wanita Terjun ke Dunia Karier
Motivasi yang mendorong wanita terjun ke dunia karier antara lain :
1.      Pendidikan.
Pendidikan dapat melahirkan perempuan karier dalam berbagai lapangan kerja. Kemajuan wanita di sektor pendidikan yang akibatnya banyak wanita terdidik tidak lagi merasa puas bila hanya menjalankan peranannya di rumah saja.[3]
2.      Terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan yang mendesak.
Karena keadaan keuangan tidak menentu, sementara kebutuhan makin membutuhkan pemenuhan sehingga dengan sendirinya ia harus bekerja di luar rumah.
3.      Untuk alasan ekonomis.
Agar tidak tergantung kepada suami, walaupun suami memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, karena sifat perempuan adalah selagi ada kemampuan sendiri, tidak ingin selalu meminta kepada suami.
4.      Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya.
Ini biasanya dilakukan oleh perempuan yang menganggap bahwa uang diatas segalanya, dimana yang paling penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.
5.      Untuk mengisi waktu yang lowong.
Di antara perempuan ada yang merasa bosan diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan rumah tangganya. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa bosan tersebut, ia ingin mencari kegiatan di bidang usaha, dan sebagainya.
6.      Untuk mencari ketenangan dan hiburan.
Seorang perempuan mungkin mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang susah diatasi, oleh sebab itu ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di luar rumah.
7.      Untuk mengembangkan bakat.
Bakat dapat melahirkan perempuan karier. Seorang yang bukan sarjana. Namun berbakat dalam bidang tertentu, akan lebih berhasil dalam kariernya disbanding seorang sarjana dari fakultas tertentu yang tidak berbakat. Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka semakin terbuka kesempatan bagi perempuan untuk terjun ke dunia karier.[4]
  1. Relevansi Aktualisasi, Keinginan, Dan Sosialisasi Yang Mempengaruhi Latar Belakang Sosial Dan Budaya Tentang Konsep Pekerja Wanita.
Semua subjek penelitian mengungkapkan baik yang kawin maupun yang belum kawin bahwa kondisi lingkungan yang ada disekitarnya turut memberikan pengaruh dan keinginan untuk bekerja. Kultur masyarakat yang ada pada tiga pekerja tersebut memberikan ruang yang bebas bagi wanita yang belum maupun yang sudah menikah untuk bekerja baik sebagai pekerja dengan posisi yang tinggi maupun pekerja dengan posisi yang biasa-biasa saja.
Pada kenyataan tersebut dapat dikaitkan dengan dengan proses sosialisasi, dalam masa perempuan, dari keluarga dengan latar belakang kelas sosial-ekonomi manapun, mendapatkan kekhususan penanaman nilai, yang mungkin tidak secara khusus dialami rekan-rekannya kaum lelaki. Kekhususan penanaman nilai tersebut adalah: adanya penanaman mengenai tingginya nilai keluarga, sekaligus semakin kuatnya penanaman nilai kemandirian dan profesionalisme kerja.[5][12]
Tampaknya masyarakat tidak secara khusus menanamkan pentingnya nilai keluarga pada individu laki-laki, dibandingkan yang dilakukan terhadap perempuan. Pada laki-laki yang ditanamkan adalah pentingnya dunia kerja, sementara aspek keluarga dianggap dengan sendirinya akan dimasuki tanpa persiapan sangat khusus. Sementara pada perempuan, aspek keluarga perlu secara khusus ditekankan terutama karena keperempuanan memang banyak dikaitkan dengan peran/fungsi sebagai pengelola rumah tangga, bahkan oleh masyarakat seringkali diingatkan bahwa tujuan hidup perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik. Karena adanya penanaman dua nilai tersebut, perempuan kemudian mencoba mengintegrasikannya dalam bentuk aspirasi tercapainya kehidupan yang seimbang keluarga dan pekerjaan.[6][13]
Kenyataan sehari-hari berkaitan dengan pola hubungan ayah-ibunya yang dilihat dan dinilai individu merugikan ibu (perempuan) apakah itu berkaitan dengan ketergantungan figur ibu terhadap ayah, kedudukan ibu yang dilihat lemah dan tertekan maupun ketidakmampuan ibu untuk mengembangkan diri dapat menguatkan pentingnya nilai pekerjaan dan kemandirian. Dengan demikian, selain berkeluarga, aspirasi untuk dapat bekerja dan mandiri pun berkembang kuat untuk menunjukkan, baik pada diri sendiri maupun orang lain bahwa ia individu yang bebas dan mandiri. Ini menunjukkan bahwa meskipun faktor sosialisasi berperan penting dalam perkembangan diri individu, individu dapat saja mengembangkan bentuk reaksi yang berbeda-beda yang dirasakannya lebih positif.[7][14]
Struktur masyarakat diatas, menandakan bahwa posisi perempuan sudah tidak lagi berada di posisi yang rendah (property owner)dan sudah setara walaupun belum mencapai pola hubungan equal partner. Setidaknya pola hubungan antara suami istri tersebut sudah bisa disebut sebagaisenior- junior partner.
Adapun yang dimaksud pola perkawinan senior- junior partner yaitu bahwa posisi istri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini istri mempunyai kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan, tetapi suami masih mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar dari suami. Dengan begitu suami juga menentukan status sosial istri dan anak-anaknya. Ini berarti, istri yang berasal dari status sosial yang lebih tinggi, akan turun status sosialnya karena status sosialnya kini mengikuti status sosial suami.[8][15]
Ciri perkawinan seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini. Istri bisa melanjutkan sekolah asal karir suami didahulukan. Istri juga bisa merintis karirnya sendiri stetelah karir suami telah sukses. Dalam pola perkawinan seperti ini istri harus mengorbankan karirnya demi karir suami. Di kalangan beberapa instansi pemerintahan, suami harus menjalani tugas di daerah sebelum bisa dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi. Demi karir suami inilah, seringkali istri berkorban.[9][16]
Dari konsep diatas, dapat difahami sesuai dengan perkembangan situasi dan teknologi, maka status wanita dalam keluarga juga ikut berubah. Pendapat wanita yang tadinya identik dengan pekerjaan domestik, perlahan mulai sirna. Apabila dahulu wanita yang bekerja di luar rumah merupakan hal yang tabu, sekarang sudah tidak tabu lagi. Hal ini menandakan bahwa konstruk budaya masyarakat sudah berubah, sehingga mempengaruhi pola pikir wanita tentang wanita yang bekerja.
Sebagai contoh, tiga pekerja wanita yang menjadi subjek penelitian ini, mereka bekerja atas inisiatif sendiri dan diperkenankan untuk mencari uang untuk menambah penghasilan keluarga. Mereka bekerja tentunya atas izin dari suami mereka, karena walaupun posisi wanita telah terangkat, namun mereka belum bisa terangkat menjadi sejajar dengan kaum laki-laki, sehingga dalam kepemimpinan rumah tangga, suami tetap menjadi pemimpin, sedangkan wanita menjadi partner bagi suami.
Van Deventer berkata: “Jiwa pedagang kecil sudah mendarah daging pada wanita Jawa.”[10][17] Artinya, wanita pada saat ini tidak dapat lagi dikatan lemah, dan tidak bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah, hal itu dapat dilakukan dengan adanya peran dari masyarakat untuk menciptakan kesetaraan, dan keadilan yang ada pada keluarga dan individu. 
  1. Al-Qur’an dan Hadits tentang Posisi Perempuan
Tema pengangkatan harkat dan martabat kaum wanita ini dikembangkan oleh Rasulullah SAW, berdasarkan ajaran yang beliau terima dari Allah SWT. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang memberi penekanan akan peran wanita dan kaum laki-laki yang harus seimbang. Tidak ada dominasi yang satu dengan yang lainnya. Kedua-duanya mempunyai kedudukan yang sama. Bahkan ada perbedaan kodrati yang dipunyai oleh laki-laki dan perempuan itu memang benar. Tetapi perbedaan kodrati tidak mesti membawa pada satu mendominasi yang lain.
Al-Qur’an menegaskan bahwa antara laki-laki dengan perempuan terdapat kesetaraan. Tidak ada perbedaan antara keduanya dalam perbuatan. Siapa saja melakukan amal (perbuatan) akan mendapat ganjaran yang setimpal dengan apa yang mereka perbuat. Inilah yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Ahzab (33) ayat  35:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Jelas sekali terpahami dalam ayat di atas, Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Siapa saja mendapat ganjaran dari amal perbuatan yang dilakukannya. Tidak ada penempatan yang lebih ataupun penempatan yang kurang dalam posisi itu. keduanya harus saling mendukung. Ini juga yang ditegaskan oleh Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 124:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
Suasana kebersamaan dalam membangun dan menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah tidak menjadi tanggung jawab kaum laki-laki saja. Keduanya mempunyai peran dan fungsi yang sama dan setara. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa keduanya harus terjalin kerja sama dan saling bantu membantu. Firman Allah dalam surat At-Taubah (9) ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam berbagai hadis, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa wanitaitu saudara kandung laki-laki. Setiap muslim harus peduli terhadap pendidikan kaum perempuan. Sabda Beliau: “Barangsiapa yang mengurus satu urusan anak-anak perempuan dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya untuk siksaan mereka.”
Hadis juga menjelaskan bahwa terdapat kondisi dimana seorang wanita juga harus mempunyai aktivitas di luar rumah. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Bibiku ditolak suaminya. Ia bermaksud menanam kormanya di waktu iddah, maka ia dilarang oleh seorang laki-laki keluar dari rumah. Ia datang kepada Nabi Muhammad. Beliau bersabda: Betul, petiklah kormamu sebab barangkali kamu dapat bersedekah dengannya atau berbuat kebaikan .”
Diriwayatkan oleh Al Rabi binti Mua’awwidz, ia berkata: “Kami ikut berperang bersama Rasulullah SAW. Kami menyediakan minuman bagi para prajurit yang terbunuh dan yang terluka ke Madinah”. Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Ummu Athiyyah Al-Anshory berkata: “Saya ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, saya berada di belakang mereka, emgobati yang terluka dan merawat yang sakit.”
Hadits-hadits tersebut kmemberikan gambaran yang sangat jelas, betapa kaum perempuan semenjak Nabi telah memegang peran publik mereka di tengah masyarakat. Posisi yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dipelihara dan dibangun secara terus menerus oleh Rasulullah SAW. Hal ini bukan hanya dalam doktrin dan ajaran, tetapi juga dalam praktek pelaksanaan di tengah kehidupan sehari-hari.
  1. Problem Penafsiran terhadap Teks-Teks Keagamaan
Gerakan pemberdayaan kaum perempuan akan selalu bergulir selama struktur sosial masyarakat masih bertumpu pada hegemoni kultur patriarkhi yang memarjinalkan peran perempuan. Paham keagamaan yang misoginis dan tidak ramah terhadap perempuan memiliki andil cukup besar dalam proses pemarjinalan perempuan. Oleh karena itu, harus dilakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan (Al-qur’an dan Hadits) yang selama ini dijadikan legitimasi untuk melangengkan dominasi laki-laki atas perempuan. Upaya ini menjadi krusial sebagai manifestasi dari prinsip kerahmatan dan keadilan yang dipromosikan dalam misi kenabian dan nilai sakral suatu agama.
Ada beberapa kemungkinan di mana agama kemudian menjadi sumber peminggiran atas peran perempuan. Pertama, karena terjadi kekeliruan dalam menginterpretasikan teks. Kedua, karena cara penafsiran yang dilakukan secara artikulatif (sebuah cara penafsiran yang sepotong-sepotong), tidak holistik dan mengabaikan visi pandangan dunia Islam. Ketiga, karena didasarkan pada hadis-hadis yang lemah atau palsu. Dua yang pertama dari kemungkinan ini, pada akhirnya bermuara pada satu hal, yaitu cara penafsiran yang tidak menempatkan teks-teks itu pada setting sosio-kultural di mana dan kapan ia diturunkan. Sedangkan kemungkinan yang terakhir merupakan cara penafsiran dengan memanipulasi hadis-hadis Nabi untuk kepentingan tertentu.  Apalagi garansi keautentikan hadis tak sesakral Al-qur’an, karena tak sedikit jumlah hadits yang dipalsukan pasca wafatnya Rasulullah saw.
Ada tiga strategi yang bisa dilakukan oleh para pemikir dan pemerhati hak-hak perempuan di dalam Islam untuk membongkar pembacaan yang bias gender. Pertama, merujuk kembali pada ayat-ayat Al-qur’an untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Kedua, merujuk ayat-ayat yang menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, mendekonstruksi atau membaca ulang ayat-ayat yang selama ini dijadikan legitimasi untuk ketidakadilan gender.  Memang pada umumnya ketidaksetaraan peran antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat bersumber dari faktor penafsiran yang tidak sensitif gender.


  1. Pandangan Klasik atas Qiwamah
Salah satu pandangan klasik tentang konsep qiwamah yang masih bias gender telah dikemukakan oleh Imam as-Suyuthi. Menurutnya, kepemimpinan kaum laki-laki atas kaum perempuan adalah karena faktor alami (penciptaan) yang dimiliki kaum laki-laki.  Dalam fiqh siyâsah juga terdapat ketentuan hukum yang menunjukkan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Perempuan terpinggirkan dalam hal tugas-tugas publik tertentu, seperti kepala negara, menteri, dan hakim. Mayoritas ulama klasik pun berpendapat bahwa jabatan kepala negara, menteri, dan hakim harus dipegang laki-laki.  Pendapat as-Suyuthi dan para ulama tersebut didasarkan pada ayat 34 di dalam Surat al-Nisâ’ berikut ini yang artinya:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) itu menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri" (Q.S. al-Nisâ’: 34)
Mengenai bentuk nyata dari kelebihan yang diberikan kepada sebagian laki-laki ini sebenarnya ayat di atas tidak menjelaskannya. Hanya para ahli tafsirlah yang kemudian memberikannya. Zamakhsyari, penafsir besar dari kalangan rasionalis, mengatakan bahwa keunggulan laki-laki tersebut meliputi potensi nalar (‘aql), ketegasan (al-hazm), semangat (al-‘azm), kekuatan fisik (al-quwwah) keberanian dan ketangkasan (al-furusiyyah wal al-ramy). Al Razi (w.606 H), penafsir besar yang lain dari kalangan sunni (tradisional), menyebut faktor keunggulan laki-laki itu, antara lain, potensi pengetahuan (al-‘Ilm) dan kekuatan fisik (al-qudrah). Secara ringkas semua ahli tafsir memberikan penjelasan yang hampir sama bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan tersebut terletak pada: akal-intelektul, kekuatan fisik, keteguhan mental dan kepandaian menulis. Jadi dalam hal-hal tersebut laki-laki dianugerahi potensi lebih kuat dibanding perempuan. Akan tetapi menarik juga dikemukakan bahwa mereka segera menyebut kata “fi al-ghalib” yang berarti pada umumnya, atau “urfan”, tradisinya. Kata-kata ini memperlihatkan bahwa alasan-alasan tersebut diakui mereka sebagai tidak berlaku mutlak, menyeluruh atau bahkan setiap laki-laki.
Jadi ayat di atas telah menyebutkan dua alasan mengapa laki-laki diberikan otoritas dan tanggungjawab atas perempuan dan keluarganya. Kedua alasan itu adalah pertama, kemampuan nalar dan kekuatan fisik, dan kedua, fungsi tanggungjawab finansial. Pertanyaannya adalah apakah kedua alasan tersebut merupakan faktor-faktor yang intrinsik, kodrati, bawaan atau pemberian Tuhan secara cuma-cuma pada masing-masing, sehingga oleh karenanya tidak bisa berubah atau diubah? Mayoritas ahli tafsir menyebut dengan bahasa yang berbeda-beda. Ibnu Katsir, ahli tafsir, misalnya, menyebutnya sebagai “fi nafsihi”(inheren). Muhammad Thahir bin Asyur, penafsir kontemporer, teman Muhammad Abduh, menyebutnya sebagai mazaya Jibilliyyah (keistimewaan natural, watak). Syaikh Nawawi Banten dalam “Uqud al Lujain” menyebutnya “haqiqiyyah” (hakikat). Sebutan-sebutan ini: fi nafsihi jibilliyah dan haqiqiyyah, mengesankan sifat permanen, bukan sesuatu yang bisa diusahakan, dipelajari, diubah atau dikonstruksikan. Pandangan ini tentu berbeda dengan fakta- fakta perkembangan sosial yang ada dan yang selalu berubah dari zaman ke zaman dan tempat satu ke tempat yang lain.
Pada umumnya juga ayat di atas dipahami bahwa Allah memberikan sifat qiwâmah (kepemimpinan) kepada laki-laki dan qunut (ketaatan) terhadap perempuan. Seakan-akan fungsi laki-laki adalah memimpin dan kewajiban perempuan adalah taat. Maka keikutsertaan perempuan dalam hal mengambil alih kepemimpinan yang seharusnya dimiliki oleh laki-laki, dianggap bertentangan dengan ketentuan Allah dalam ayat di atas . Makna qunut (ketaatan) itu dikritik oleh Amina Wadud, menurutnya kata qânitât ini sebenarnya untuk menggambarkan para perempuan yang baik, namun sering disalahartikan menjadi taat yang kemudian diasumsikan “taat kepada suami”.  Peluang memahami ayat tersebut agar berpihak pada kepentingan perempuan sebenarnya masih terbuka lebar. 
Selain menggunakan ayat di atas mereka juga berpijak pada hadis Nabi:
 Artinya:
“Dari Abu Bakrah ia berkata: Ketika Rasulullah mendapatkan berita bahwa penduduk Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra (Raja Persia) untuk menjadi rajanya, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak akan bahagia kalau mereka menyerahkan mandat kepemimpinannya kepada seorang perempuan" (HR. Bukhori) 
Pendapat yang misoginis berargumentasi bahwa hadis ini tidak berfungsi sebagai ikhbar (pemberitahuan), karena tugas dan fungsi Nabi adalah menjelaskan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan umatnya. Dan hadis ini berisi larangan untuk menyerahkan urusan (kepemimpinan umum) kepada seorang perempuan.  Penafsiran semacam ini tentu tidak mengutamakan suara etis Islam yang semestinya mengakomodir partisipasi perempuan dalam politik. Qasim Amin  menganggap bahwa tesis yang menyatakan kalau perempuan tidak memiliki kemampuan dan kecerdasan yang sama dengan laki-laki adalah sesuatu yang konyol. Seandainya perempuan diberi kesempatan akses yang sama maka tesis itu akan segera gugur.
Harus diyakini bahwa perempuan terbelakang bukan karena Islam membuatnya demikian, melainkan karena masyarakatnya hanya menopang kelas-kelas tertentu yang hidup dari suatu kebijakan diskriminatif. Sungguh tidak adil jika Islam menjadi kambing hitam bagi pengekangan terhadap perempuan, karena yang menjadi persoalan sejauh ini adalah internalisasi paham keislaman yang bias gender. Peminggiran perempuan terjadi karena Islam kemudian dimapankan dan dibakukan dengan tangan-tangan mufasir, ahli fiqih, ataupun muhaddits pada abad klasik yang produk pemikirannya misoginis. Oleh karena itu, semestinya ketika mengkaji Islam jangan tergesa-gesa mengatakan bahwa segala produk pemahaman atas teks-teks ke-Islam-an bersifat definitif, karena tindakan tersebut dapat mereduksi Islam itu sendiri.
Karena banyak juga teks-teks keagamaan yang mencerminkan kesetaraan dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam proses penciptaan, potensi, juga dalam hak dan kewajiban, baik terhadap masyarakat maupun negara termasuk hak untuk menjadi seorang pemimpin. Di antaranya seperti berikut ini:
  1. Q.S. Al-Hujurat: 13
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” (Q.S. Al-Hujurat: 13).

  1. Q.S. al-Nahl: 97
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kemi berikan padanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan kemi berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-Nahl: 97).
  1. Q.S. al-Taubah: 71
“Dua orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong terhadap sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasulnya” (Q.S. al-Taubah: 71).
  1. Q.S. al-Mumtahanah: 12
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan apapaun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anakanya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (Q.S. al-Mumtahanah: 12).
  1. HR. Ahmad
“Bermusyawarahlah dengan kaum wanita dalam masalah pernikahan putri-putri mereka” (HR. Ahmad).
  1. al-Baqarah: 233.
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya”. (Q.S. al-Baqarah: 233).
  1. HR. Abu Daud
“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki”
  1. Kontekstualisasi Konsep Qiwamah
Tafsir mengenai relasi laki-laki dan perempuan, terutama konsepsi qiwâmah sering dijadikan dasar legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan, dan pelarangan kepemimpinan perempuan atas laki-laki. Tafsir ini harus diletakkan pada konteks di mana ayat itu dipahami oleh masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai sosial yang berkembang pada saat itu. Konsepsi qiwâmah adalah persoalan tafsir, bukan persoalan perintah ayat atau ketentuan Allah. Karena setelah Nabi Muhammad saw wafat, tidak ada seorangpun yang berhak mengklaim sebagai juru bicara Allah, atau orang yang paling mengerti terhadap maksud Allah dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, semua konsepsi yang ditawarkan juga adalah tafsir atau ijtihad, yang tentu bersifat kontekstual, tidak mutlak dan dinamis. Dengan mempertimbangkan pada perubahan sosial masyarakat yang terjadi sedemikian rupa, konsepsi qiwâmah perlu dirumuskan kembali.
Dalam surat al-Nisâ’ ayat 34, memang bisa dipahami bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan. Yang menjadi persoalan adalah anggapan bahwa kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan dasar laki-laki yang bersifat alamiah. Yang mana kalimat bimâ faddala allâhu ba`dahum ‘alâ ba`din sering diartikan bahwa Allah melebihkan laki-laki atas perempuan dengan ilmu, agama, akal, dan kekuasaan. Pemahaman yang demikian menjadi bermasalah karena spirit ayat tersebut pada dasarnya mengakomodir masalah kepemimpinan laki-laki dan perempuan secara bersamaan.
Kata al-rijâl berasal dari akar kata r j l yang derivasinya membentuk beberapa kata, seperti rajala (mengikat), rajila (berjalan kaki), al-rijl (telapak kaki), al-rijlah (tumbuh-tumbuhan), dan al-rajul berarti laki-laki. al-rijâl adalah bentuk jamak dari kata al-rajul.  Dalam kamus lisân al-‘arab, kata al-rajul diartikan dengan laki-laki lawan perempuan dari jenis manusia. Kata al-rajul secara umum digunakan untuk laki-laki yang sudah dewasa, sesudah anak-anak. Misalnya kata al-rajul yang digunakan pada ayat 282 dari surat al-Baqarah “wastasyhidû syahîdaini min rijâlikum”, rijâlikum di sini adalah laki-laki muslim yang sudah baligh. Sedangkan kata al-nisâ’ adalah bentuk jamak dari kata al-mar’ah yang berarti perempuan dewasa .
Kalimat ar-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ’ adalah redaksi informatif yang menegaskan adanya hubungan obyektif antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki adalah qawwâm yang mengandung arti penjaga dan pelindung bagi perempuan. Ayat tersebut menyebutkan faktor-faktor yang menjadikan laki-laki memiliki peran pelindung bagi perempuan, yaitu kekuatan fisik (bimâ faddala allâhu ba`dahum ‘alâ ba`din) dan kekuatan financial/ekonomi (wabimâ anfaqû min amwâlihim). Jika faktor-faktor tersebut lenyap, lenyap pulalah peran pelindung laki-laki. Dan jika faktor tersebut berpindah di pihak perempuan, beralih pulalah peran pelindung di atas pundak perempuan.  Karena redaksinya “ba`dahum ‘alâ ba`din”, ini mencerminkan adanya hubungan timbal balik, yang melegitimasi proses peralihan peran tersebut. Arti bimâ faddala allâhu ba`dahum ‘alâ ba`din adalah karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki dan perempuan di atas sebagian laki-laki dan perempuan yang lainnya).
Menurut Kiai Husein, hal utama yang penting untuk dianalisis dari ayat di atas adalah tentang alasan atau rasionalitas mengapa laki-laki menjadi kepala keluarga. Mengenai ini, ayat di atas telah menyebutkannya sendiri. Yakni karena sebagian mereka diberikan Tuhan keunggulan atas sebagian perempuan. Kata-kata Tuhan ini menarik sekali untuk diamati secara cermat. Tuhan dengan sangat jelas menyebutkan kata sebagian, bukan kata semua, seperti yang dipahami banyak orang. Hal ini mengandung arti bahwa tidak semua laki-laki diberikan Tuhan keunggulan atas semua perempuan. Dengan begitu tidak semua perempuan tidak diberikan keunggulan atas laki-laki. Sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan sama-sama diberikan kelebihan, tetapi bentuknya berbeda-beda. Sebagaimana seperti disimpulkan oleh Imam al Razi: ”wa ka annahu la fadhla al battah” (sepertinya tidak ada keunggulan satu atas yang lain).
Artinya, tidak semua laki-laki lebih baik dari pada semua perempuan dalam segala hal. Akan tetapi sebagian laki-laki lebih baik dari pada sebagian perempuan dalam hal-hal tertentu, begitupun sebaliknya sebagian perempuan lebih baik dari sebagian laki-laki. Jadi kelebihan tersebut tidak bersifat absolut. Menurut Amina Wadud, laki-laki pemimpin atas perempuan tidaklah dimaksudkan untuk memberikan superioritas yang melekat dalam diri setiap laki-laki, tetapi hanya terjadi secara fungsional, selama laki-laki tersebut memenuhi kriteria yang disebut dalam al-Qur’an; pertama, laki-laki tersebut mampu membuktikan kelebihannya dan kedua, mampu memberikan nafkah terhadap keluarganya.
Menurut Khaled Abu Fadl, kata qawwâm bisa berarti pelindung, pemelihara, penjaga atau bahkan pelayan. Dan ayat 34 surat al-Nisâ’ itu melekatkan status pemelihara, penjaga atau pelindung berdasarkan kemampuan objektif seseorang, seperti kemampuan memberikan nafkah. Sehingga jika perempuan menjadi pemegang posisi pencari nafkah, ia berhak menanggung tugas sebagai penjaga. Jika tanggung jawab keuangan ditanggung bersama (suami dan istri), maka keduanya menjadi penjaga satu sama lain.
Bagi Riffat Hasan, kata qawwâm jika diartikan pelindung atau pemelihara akan berimplikasi pada pemahaman bahwa perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Sehingga Riffat menolak tafsiran itu. Menurutnya, secara linguistik qawwâm berarti pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung bagi kehidupan. Ketika laki-laki itu qawwâm tidak berarti secara otomatis perempuan tidak bisa memberikan nafkah pada diri mereka sendiri, hanya saja banyaknya beban berat peran yang dipikul dalam rumah tangga, maka mereka tidak harus memiliki kewajiban tambahan mencari nafkah. Artinya, ayat itu semestinya tidak dijadikan justifikasi bahwa perempuan itu subordinat di bawah laki-laki.
Dengan mengutip penafsiran Muhammad Asad, Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa qawwâm diartikan sebagai kewajiban laki-laki atas perempuan, menjadi qawwam berarti memberikan tambahan tanggung jawab laki-laki kepada perempuan. Karena memang pada awal Islam laki-laki yang mencari nafkah untuk diberikan kepada perempuan. Pandangan ini tentu sangat kontras dengan para penafsir konservatif India yang menerjemahkan qawwâm dengan darogha (bahasa Urdu) yang artinya laki-laki adalah seperti pegawai polisi bagi perempuan, pemaknaan seperti ini mengandaikan adanya superioritas laki-laki atas perempuan.
Aisyah Abd ar-Rahman yang dikenal juga dengan nama samaran Bint as-Syathi’ menegaskan bahwa perempuan tetaplah perempuan, dan laki-laki tetaplah laki-laki. Perbedaan keduanya bukanlah persaingan ataupun perlawanan, melainkan sifat komplementer, kolega, dan harmoni. Menurutnya al-Qur’an tidak berbicara tentang ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan tetapi lebih pada ketidaksamaan antara baik dan buruk, iman dan ketakwaan. Aisyah memaknai kepemimpinan laki-laki dalam surat al-Nisâ’ ayat 34 berdasarkan kemampuan laki-laki tersebut ketika mampu memberikan nafkah kepada istrinya, jika syarat ini tidak dipenuhi, hak kepemimpinan laki-laki menjadi hilang.
Selanjutnya menurut Faqihudin Abdul Qadir, qiwâmah pada surat an-Nisa ayat 34 mestinya harus diartikan komitmen ‘pembelaan’ bukan kepemimpinan. Sehingga qiwâmah laki-laki atas perempuan berarti komitmen pembelaan terhadap perempuan. Imam Fakhruddin ar-Râzi mengartikan qawwâm dengan tanggung jawab pengelolaan, pemeliharaan dan perhatian terhadap kepentingan perempuan. Dengan demikian, konsepsi qiwâmah dalam surat an-Nisa ayat 34 tidak bisa menjadi landasan bagi pelarangan kepemimpinan perempuan. Ia juga bukan sebagai penegasan terhadap kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Laki-laki disebutkan dalam ayat qiwâmah, karena ia yang pada saat itu memiliki kemampuan dan bisa memberi nafkah. Karena itu, hak qiwâmah laki-laki atas perempuan, hanya bisa dibenarkan ketika ia bisa memberikan nafkah. Tetapi ketika tidak mampu maka hak itu menjadi gugur. Berarti, persoalan qiwâmah bukan pada jenis kelamin, tetapi pada persoalan kemampuan ekonomi serta keahlian.
Kandungan arti yang dikemukakan oleh sederetan pemikir tersebut hampir semuanya telah menegasikan sifat kelebihan alamiah atau faktor penciptaan yang dimiliki kaum laki-laki. Sebaliknya yang ada adalah penetapan secara tegas tentang kepemimpinan (qiwâmah) yang harus didasarkan pada faktor kelebihan berdasarkan kualitas individual seseorang. Karena dalam realitas kehidupan di masyarakat terdapat sebagain kaum laki-laki yang memiliki kelebihan di atas sebagian kaum perempuan, begitupun sebaliknya sebagian perempuan memiliki kelebihan di atas sebagian kaum laki-laki.
Dalam kehidupan sebuah keluarga, ketika seorang istri berhasil meniti karir profesional dengan penghasilan cukup besar dan sanggup menghidupi keluarganya, maka ia sangat berhak menjadi pemimpin dan pemegang peran “qawwâmiyah” dalam bidang ekonomi keluarga. Sedangkan sang suami, karena keunggulan fisiknya, ia masih menjadi pemimpin dalam hal-hal yang membutuhkan kekuatan fisik. Dari sini terlihat jelas bahwa pola relasi suami istri itu sangat fleksibel, tidak definitif suami sebagai kepala rumah tangga. Pada saat yang bersamaan pun mereka berdua bisa sama-sama menjadi kepala keluarga dengan spesifikasi peran masing-masing.
Tak bisa diragukan lagi bahwa kebaikan sebuah struktur masyarakat akan tercapai jika kepemimpian berada di tangan orang yang memiliki kompetensi (kelebihan), tanpa membedakan perbedaan jenis kelamin. Artinya kepemimpinan tidak didasarkan pada perbedaan seksis laki-laki dan perempuan. Hukum ini berlaku di semua lini kehidupan yang mengandaikan adanya sebuah pola struktur kepemimpinan. Pemahaman seperti itulah yang dimaksud dari surat al-Nisâ ayat 34’ dalam konteks hubungan keluarga. Yang berhak menjadi seorang pemimpin adalah orang yang terbaik dan lebih berkualitas di antara yang lainnya, Allah tidak memandang jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) sebagai kriteria yang terbaik. Oleh karena itu, akses pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan harus diberikan, agar istri juga bisa menjadi partner yang baik bagi suami dalam kehidupan intelektual dan sosial.
Kepemimpinan perempuan tidak hanya terbatas dalam kehidupan keluarga, tetapi juga dalam struktur masyarakat yang luas. Laki-laki dan perempuan harus bekerja sama untuk menciptakan social order dalam masyarakat. Kepemimpinan perempuan harus tersebar dalam seluruh lini kehidupan, bidang kerja, dagang, produksi, pertanian, bidang pendidikan, bidang hukum dan kedudukan-kedudukan tinggi lainnya. Dan semua itu dapat dibuktikan bahwa perempuan saat ini memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan-jabatan yang dahulu mungkin hanya dimonopoli oleh laki-laki.
Jika demikian, pendapat Imam as-Suyuthi  yang mengatakan bahwa kepemimpinan kaum laki-laki atas kaum perempuan adalah karena faktor alami (penciptaan) yang dimiliki kaum laki-laki tentu tidak relevan lagi. As-Suyuti yang menisbahkan pendapatnya pada sabda Nabi: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang telah menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan”(Musnad Ahmad: 19603); “kaum perempuan adalah kurang dalam akal dan agamanya” (Al-Bukhari:293); dan persaksian seorang dari kaum perempuan adalah seperti separuh persaksian, dan inilah yang dimaksud kurang akal; dan karena mereka haid sehingga mereka dilarang melaksanakan shalat, dan inilah yang dimaksud kurang dalam agama, serta sabdanya: “yang menggugurkan shalat adalah perempuan, khimar dan anjing hitam”(at-Tirmidzi:310).   Hadis-hadis tersebut seakan kehilangan mantranya jika dibenturkan dengan realitas sekarang.
  1. Peranan dan Fungsi Seorang Wanita
Sejak al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, wanita telah menjadi salah satu wacana penting. Dalam al-Qur’an terdapat dua surat: an-Nisa dan Maryam yang bertajuk wanita dan isinya banyak membicarakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan wanita. Sepeninggal Nabi SAW, wanita menjadi wacana yang tak pernah selesai. Bahkan perhatian terhadap topik ini melebihi perhatian terhadap tema pria, walaupun antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Hal ini membuktikan bahwa Islam menaruh perhatian yang besar terhadap wanita dan menjunjung harkat dan martabat seorang wanita.Adapun Peran dan Fungsi wanita dalam perspektif Islam:
  1. Wanita sebagai Ibu
Islam memandang dan memposisikan wanita sebagai ibudi tempat yang luhur dan sangat terhormat. Ibu adalah satu di antara dua orang tua yang mempunyai peran sangat penting dalam kehidupan setiap individu. Di tangan ibu-lah setiap individu dibesarkan dengan kasih sayang yang tak terhingga. Ibu, dengan taruhan jiwa raga telah memperjuang kehidupan anaknya, sejak anak masih dalam kandungan, lahir hingga dewasa. Secara tegas al-Qur’an memerintahkan setiap manusia untuk menghayati dan mengapresiasi ibu atas jasa-jasanya dengan berbuat baik kepadanya. Firman Allah dalam Q.S. Luqman : 14 sebagai berikut:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
  1. Wanita sebagai Istri
Peran lain wanita dalam kehidupan sehari-hari, adaolah sebagai istri. Suami dan istri adalah sepasang makhluk manusia yang atas dasar cinta kasih suci mengikat diri dalam jalinan nikah. Keduanya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Q.S. al-Baqarah : 187 yang artinya :
”….mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…
Antara suami istri kedekatannya dan fungsinya adalah bagaikan pakaian yang melekat tubuh pemakainya; saling menutupi kekurangan pasangannya dan saling melindungi. Islam memandang perkawinan melalui jalinan pernikahan dalam rangka mensejahterakan manusia serta menjamin kelangsungan hidup manusia melalui reproduksi dan regenerasi dalam sistem yang sehat.
  1. Wanita sebagai Pribadi dan Anggota Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang berkumpul dan berinteraksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bersama. Setiap individu membentuk keluarga dan keluarga-keluarga itu merupakan komponen masyarakat. Tidak dapat dielakkan bahwa masyarakat tersebut lebih kurang separuh anggotanya adalah wanita. Dengan demikian, kokoh tidaknya masyarakat dan tercapai tidaknya harapan dan cita-cita masyarakat ditentukan pula oleh wanita. Bahkan, moralitas, sebagai salah salah satu sendi terpenting dalam masyarakat dipahami oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang sangat ditentukan oleh wanita. Walaupun ini tidak boleh dipahami bahwa kehidupan masyarakat hanya menjadi tanggung jawab wanita.
Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak hal yang menjadi hak dan kewajiban setiap anggotanya. Hak dan kewajiban itu harus dijunjung tinggi oleh setiap anggota dalam kegiatan dan kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam menunjukkan bahwa pria dan wanita diciptakan dari satu nafs (living entily), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Itulah sebabnya Al-Qur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, sekaligus memberikan keadilan antara pria dan wanita. Terlebih bila dikaitkan dengan konteks masyarakat pra Islam yang diformat dengan kultur patriarkis dan wanita dianggap tidak lebih berharga dari sekedar suatu komoditi.
Islam lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang berlandaskan keadilan atas kedudukan pria dan wanita. Keadilan menurut Islam adalah terpenuhinya hak bagi yang memiliki secara sah, sebaliknya bagi pihak lain (lawan arah) adalah kewajiban. Oleh karena itu, bagi yang lebih banyak memenuhi kewajiban atau pemikul kewajiban yang lebih besar, dialah yang memiliki hak lebih dibanding yang lain sehingga tidak ada yang dapat dikatakan lebih berbobot antara hak dan kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar. Kesejajaran  hak dan kewajiban pria dan wanita tidak didengungkan oleh Barat; yang diserukan adalah persamaan hak. Kesejajaran dalam hak dan kewajiban antara suami istri sebagaimana digambarkan oleh Nabi bahwa hak istri merupakan kewajiban suami dan sebaliknya hak suami merupakan kewajiban istri. Karena itu suami istri sama-sama memakai pakaian, merasakan kenikmatan makanan, tidak saling berlaku kasar menjelekkan/merendahkan dan tidak akan meninggalkan tanggung jawab masing-masing.
  1. Tantangan Bagi Pekerja Wanita
Di masa depan jumlah pria-wanita yang berpendidikan tinggi dan memasuki perkawinan berkarir dua (dual carreer marriages) akan meningkat. Keluarga berkarir dua merupakan indikator bagi perubahan-perubahan sosial.[11][20]
Kenyataan menunjukkan bahwa wanita sekarang mempunyai lebih banyak kesempatan untuk pendidikan dan penempatan serta kemajuan karir dari pada sebelumnya. Wanita kurang mengalami rintangan untuk memanfaatkan pendidikannya. Baik pria maupun wanita melihat pekerjaan dalam keluarga dan dalam jabatan sebagai sumber dari kesejahteraan (weel-being) dan pemenuhan (fullfillment).[12][21]
Sumber-sumber yang membantu keluarga berkarir dua secara konseptual meliputi sumber-sumber personal, relational, dan societal. Sumber-sumber pribadi mencakup karakteristik yang unik, seperti atribut kepribadian, sumber finansial, kemampuan untuk menangani stress dalam hidup, keyakinan mengenai cinta dan pekerjaan, realitas siklus kehidupan, dan sebagainya. Sumber-sumber keluarga menyangkut dukungan sensitivitas pasangan. Paling esensial ialah dukungan dari partner perkawinan, kemudian dari anak-anak, dan dari orang tua serta teman-teman. Makin suportif pasangannya, makin supportif pula anak-anak. Sumber-sumber dan dukungan sosial/masyarakat meliputi antara lain: fleksibilitas dari jadwal kerja, atasan yang mendukung keluarga, dan kebijakan tentang benefit. Tersedianya perwatan dan Pengasuh anak yang memadai, serta jaminan yang kesehatan yang baik.[13][22]

  1. Dampak Positif dan Negatif dari Wanita Karier
1.         Dampak positif wanita karier, antara lain:
a.       Dengan berkarier, perempuan dapat membantu meringankan beban keluarga yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi kebutuhan, tetapi dengan adanya perempuan ikut berkiprah dalam mencari nafkah, maka krisis ekonomi dapat ditanggulangi.
b.      Dengan berkarier perempuan dapat memberikan pengertian dan penjelasan kepada keluarganya, utamanya kepada putra-putrinya tentang kegiatan-kegiatan yang diikutinya sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam kariernya, putra-putrinya akan gembira dan bangga,bahkan menjadikan ibunya sebagai panutan dan suri tauladan bagi masa depannya.
c.       Dalam memajukan serta mensejahterakan masyarakat dan bangsa diperlukan partisipasi serta keikutsertaan kaum perempuan karena dengan segala potensinya,perempuan mampu, dalam hal itu, bahkan ada di antara pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan oleh laki-laki, dapat berhasil ditangani oleh perempuan, baik karena keahliannya maupun karena bakatnya.
d.      Dengan berkarier, perempuan dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya lebih bijaksana, demokratis dan tidak otoriter, sebab dengan kariernya itu, ia bias dan belajar memiliki pola piker yang moderat. Kalau ada problem dalam rumah tangga yang harus diselesaikan, maka ia segera mencari jalan keluar secara tepat dan benar.
e.       Dengan berkarier, perempuan yang menghadapi kemelut dalam rumah tangganya atau sedang mendapat gangguan jiwa, akan terhibur dan jiwanya akan menjadi sehat.
2.         Dampak negatif wanita karier antara lain:
a.       Terhadap anak-anak.
Perempuan yang hanya mengutamakan kariernya akan berpengaruh pada pembinaan dan pendidikan anak-anak, maka tidak aneh kalau banyak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kurangnya komunikasi antara ibu dan anak-anaknya bisa menyebabkan keretakan sosial. Anak-anak merasa tidak diperhatikan oleh orang tuanya, sopan santun mereka terhadap orang tuanya akan memudar, bahkan sama sekali tidak mau mendengar nasihat orang tuanya. Pada umumnya, hal ini disebabkan karena si anak merasa tidak ada kesejukan dan kenyamanan dalam hidupnya sehingga iwanya berontak. Sebagai pelepas kegersangan hatinya, akhirnya mereka berbuat dan bertindak seenaknya, tanpa memperhatikan norma-norma yang ada di lingkungan masyarakat.
b.         Terhadap suami
Istri yang bekerja di luar rumah setelah pulang dari kerjanya tentu ia merasa capek, dengan demikian kemungkinan ia tidak dapat melayani suaminya dengan baik sehingga suami merasa kurang hak-haknya sebagai suami. Ntuk mengatasi masalahnya, si suami mencari penyelesaian dan kepuasan di luar rumah.
c.         Terhadap rumah tangga.
Kadang-kadang rumah tangga berantakan disebabkan oleh kesibukan ibu rumah tangga sebagai perempuan karier, yang waktunya banyak tersita oleh pekerjaannya di luar rumah sehingga ia tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Hal ini dapat menimbulkan pertengkaran, bahkan perceraian kalau tidak ada pengertian dari suami.
d.        Terhadap kaum laki-laki
Laki-laki banyak yang menganggur akibat adanya perempuan karier, kaum laki-laki tidak memperoleh kesempatan untuk bekerja, karena jatahnya telah direnggut atau dirampas oleh kaum perempuan.
e.         Terhadap masyarakat
Perempuan karier yang kurang memperdulikan segi-segi normatif dalam pergaulan dengan lain jenis dalam lingkungan pekerjaan atau dalam kehidupan sehari-hari akan menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan suatu masyarakat.
f.          Perempuan lajang yang mementingkan kariernya kadang-kadang bisa menimbulkan budaya “nyleneh”, nyaris meninggalkan kodratnya sebagai kaum hawa, yang pada akhirnya mencuat budaya “lesbi dan kumpul kebo”.[14]
K.    Upaya Penanggulangan Dampak Negatif dari Wanita Karier
Untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya ekses dalam berkarier bagi perempuan muslimah, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:[15]
1.         Dalam berkarier, tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban utama sebagai ibu rumah tangga, yaitu mengurus suami dan anka-anak. Ia harus menomorsatukan urusan rumah tangga di atas segalanya. Dalam hal ini, perlu adanya pengaturan yang baik. Kemudian untuk menanggulangi perpecahan keluarga, harus ada izin suami terhadap dunia karier seorang perempuan sejak awal, karena adanya saling pengertian antara suami dan istri akan muncul saling keterbukaan dan menanamkan keikhlasan bekerja demi memperoleh manfaat bersama.
2.         Tidak melampaui batas kodrat perempuan. Perempuan bekerja yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuannya akan membawa konsekuensi terhadap ketidakseimbangan antara fisik dan mentalnya. Gejala fisik yang diakibatkan oleh keinginan menjalankan pekerjaan di luar batas kemampuan adalah keletihan yang dapat menghilangkan gairah hidup, sedangkan dari segi mental, akan dijumpai gejala kejiwaan, seperti selalu ingin marah, merasa cemas, sering sedih, serta stres. Stress bisa menimbulkan berbagai konflik dengan suami dan anak, bahkan dengan orang-orang di tempat kerja.
3.         Tidak melampaui batas-batas dan aturan agama, utamanya dengan lain jenis dalam lingkungan pekerjaan. Sering menimbulkan fitnah atau pengaruh negatif terhadap dirinya, rumah tangganya dan rumah tangga lawan jenisnya sebab hubungan terus-menerus antara laki-laki dan perempuan dalam suatu lingkungan kerja dapat menimbulkan perbuatan yang mendekati zina. Apabila perempuan karier tetap menjaga akhlakul karimah dan aturan-aturan agama dalam lingkungan kerjanya, maka kemungkinan timbulnya fitnah dapat dicegah.
Wanita boleh saja keluar dan berkarier di luar rumah. Apabila ada keperluan bagi seorang wanita untuk bekerja keluar rumah maka harus memenuhi beberapa ketentuan syar’i agar kariernya tidak menjadi perkerjaan yang haram. Syarat-syarat itu adalah :
1.         Memenuhi adab keluarnya wanita dari rumahnya baik dalam hal pakaian ataupun lainnya.
2.         Mendapat izin dari suami atau walinya. Wajib hukumnya bagi seorang istri untuk mentaati suaminya dalam hal kebaikan dan haram baginya mendurhakai suami, termasuk keluar dari rumah tanpa izinnya.[16]
3.         Pekerjaan tersebut tidak ada kholwat dan ikhtilat (Campur baur) antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Sebagaimana firman Allah:
#sŒÎ)ur £`èdqßJçGø9r'y $Yè»tFtB  Æèdqè=t«ó¡sù `ÏB Ïä!#uur 5>$pgÉo 4
“Dan apabila kalian meminta pada mereka sebuah keperluan, maka mintalah dari balik hijab”.(QS. Al Ahzab : 53)
Juga  sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali bersama mahramnya”.(HR. Bukhori Muslim)
Seorang wanita muslimah agar terlihat istimewa dia harus dapat menjaga kehormatan dalam pergaulannya. Harus membatasi diri dalam pergaulan. Seorang wanita apalagi yang sudah mempunyai suami harus hati-hati dengan sesuatu yang dapat mengakibatkan kemurkaan Allah, salah satunya adalah adanya batasan pergaulan dengan non-muhrim.   
4.         Tidak menimbulkan fitnah
Wanita yang berkarier di luar rumah tidak menimbulkan fitnah. Hal ini dapat dilakukan dengn cara menutupi seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang berindikasi fitnah, baik di dalam berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum).
5.         Tetap bisa mengerjakan kewajibannya sebagai ibu dan istri bagi keluarganya,karena itulah kewajibannya yang asasi.
6.         Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti dalam bidang pengajaran, kebidanan, menjahit dan lain-lain.
BAB III
PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER
A.      Dinamika Kehidupan Dan Asal Kejadian Perempuan
Perempuan adalah makhluk paling ajaib yang diciptakan Allah, namun  merupakan ujian terbesar bagi kaum pria. Daya dan gaya tarik apapun tak ada yang mampu menandingi daya dan gaya tarik perempuan, karenanya ia bisa menjadi nikmat yang mampu mengantar pria pada surga dunia dan surga akhirat, sekaligus  bisa menjadi bala yang menjerumuskan pria ke neraka dunia dan neraka akhirat, sebab jika sudah berurusan dengan perempuan, apapun bisa dilakukan pria, bahkan berkorban nyawa sekalipun. Demikian hebatnya daya tarik yang dimiliki olehnya, dapat kita lihat bagaimana Allah menggambarkan bidadari-bidadari sorga  merupakan perempuan-perempuan cantik dan suci sebagai hadiah dan atau balasan terhadap pahala hamba-hambanya yang Taqwa. 
Bahkan Perempuan, sering disebut tulang punggung Negara, karena konon kata orang bijak, kebaikan perempuan bisa menegakkan negara, namun keburukannya dapat menghancurkan negara.   Artinya, kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya, tapi melihat hal dan kewajiban maksimal yang bisa dilakukan dan didapatkan serta sesuai dengan konteks keperempuanan. Perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya tidak diciptakan sebagai pelengkap tanpa maksud. Tetapi betapa perempuan membuat dunia ini menjadi lebih manusiawi dan berwarna. Perempuan bahkan menjadi simpul majunya suatu peradaban, yang ditangannya lah arah dan gerak bangsa ditentukan. 
Namun demikian sejak zaman dahulu sampai sekarang penghargaan terhadap perempuan belum pada proporsi yang sepatutnya, masalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang dewasa ini lazim disebut dengan, “kesetaraan gender”, selalu jadi polemik yang tidak habis-habisnya, disebabkan karena perempuan sering mengalami perlakuan buruk dalam masyarakat, perempuan sering diperlakukan sebagai warga kelas dua baik dalam kehidupan social masyarakat maupun dalam lapangan pekerjaan.
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan perempuan dalam masyarakat, disamping pengaruh perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia yang cendrung mempertentangkan peran laki-laki dan perempuan, faktor lainnya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, bahkan tidak jarang agama di atas namakan untuk pandangan yang merendahkan perempuan.
Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga? Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan masyarakat abad ke-20 ini.
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan lelaki dan perempuan yang banyak.
Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:
Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).
Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir. Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan :
Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.”
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah Ali'Imran yang menyatakan:
“ Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya."
Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari
segi asal kejadian dan kemanusiaannya.
Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas :
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195)”.
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih  memperoleh anak perempuan.
“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu “(QS 16:58-59).
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:
“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... “(QS 7:20).
“Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... “(QS 2:36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), seperti dalam firman Allah :
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS 20:120).
Demikian terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.
Tanggal 8 Maret 2011, kembali kita memperingati Hari Perempuan Internasional, hari yang didedikasikan untuk perjuangan kaum hawa, hari yang diperingati khusus menandakan bukti bahwa wanita itu luar biasa, namun kenyataan perjuangan kesetaraan gender yang digaungkan tidak berakibat apa-apa bagi kebaikan manusia, Hari Perempuan Internasional tak lebih sekedar seremonial dan isapan jempol belaka, perempuan tetap sebagai pihak yang tidak dipandang sebelah mata. perempuan masih diangap dengan stereotipe yang lemah dan menjadi sosok pelengkap.
Ironisnya lagi tidak hanya kau pria yang berpikiran seperti itu, tetapi juga perempuan yang tidak percaya diri, bergantung pada lawan jenisnya untuk mengetahui apa yang namanya kebahagiaan hidup dan kurang meyakini bahwa sebenarnya perempuan tidak diciptakan berbeda dengan kaum pria. Mereka termakan pola berpikir bahwa peran perempuan terbatas pada dapur, sumur dan tempat tidur, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.  Sosok perempuan yang berprestasi dan menyeimbangkan antara keluarga dan karier kerja menjadi sangat langka ditemukan.
Perempuan seringkali takut untuk berprestasi karena tuntutan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang tidak bergaji dan tidak pernah berhenti, atau perempuan lainnya yang terlalu fokus untuk urusan luar rumah dan terbengkalai untuk keharmonisan keluarganya. Keseimbangan untuk urusan internal keluarga dan pencapaian diri yang terus meningkat semakin sulit untuk digapai. Selain tugasnya yang banyak dan tentunya tidak mudah. Perempuan pun terikat banyak aturan dan pembatasan. Misalnya saja, perempuan harus seperti ini dan harus seperti itu, sehingga membuat perempuan semakin tua semakin tidak produktif.
Pandangan seperti ini harus dirubah, karena sudah tidak masanya lagi perempuan yang sukses adalah perempuan yang diam di rumah saja dan menganggap kontribusi untuk dunia luar tidaklah penting, karena sedikit apapun kontribusi yang bisa kita lakukan untuk lingkungan adalah modal dan harta kita untuk mampu berbuat lebih banyak, bahwa seorang perempuan tidak hanya bertanggung jawab untuk keunggulan keluarganya, tetapi juga bagaimana menjadi ibu peradaban yang membangun generasi super dalam perannya sebagai seorang ibu yang melelahkan dan tak mengenal batas waktu serta mampu menyeimbangkan semuanya dan tetap mencapai target target diri merupakan nilai tambahan yang membuatnya lebih unggul dibanding kaum pria. Pun dengan segala aturan dan batasan yang dimiliki, semua norma dan nilai yang berlaku di masyarakat adalah panduan yang menjamin keselamatan dan kebaikan bagi kaum perempuan. [17][1] 
B.       Gender dan Birokrasi
Kata gender (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin baik perempuan maupun laki-laki (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983). Jender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalah hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: an introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Menurut (Fakih, 2003) makna kata ini sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstuksi secara sosial dan kultural. Sifat ini bukan sifat bawaan akan tetapi sifat yang terbentuk karena pengaruh proses sosial dan kultural. Sebagai contoh anak atau orang yang lahir dan dibesarkan di desa yang jauh keramaian dan pergaulan akan cenderung kurang percaya diri, atau apabila ia dikurung ia pasti akan berbicara halus dan pelan, sanagat sopan, dan rendah hati. Karena sifat itu akan melekat hanya karena proses, bukan karena dikodratkan, sifat itu bisa dipertukarkan.
Sekelompok sifat di atas, karena telah menjadi ciri yang telah berlangsung lama, dianggap melekat pada diri laki-laki dan perempuan dan bersifat biologis. Di sisi lain, perempuan menganggap bahwa dirinya memang demikian dan di sisi lain, kaum laki-laki mengaganggap lebih unggul dari lawan jenisnya. Lanjut Fakih, perbedaan jender yang telah lama ada berlangsung terus menerus, turun menurun dari generasi ke generasi seolah telah menjadi sifat dan ketentuan Tuhan. Karena perempuan cenderung menganggap bahwa perbedaan tersebut adalah hal yang kodrati, maka mereka sering merasa kalah dari laki-laki. Di dunia kepemimipinan, meskipun perempuan yang memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki, akan tetapi mereka enggan tampil di depan, belum bias menerima kelompoknya sendiri menjadi pemimipinnya, lebih suka rutinitas dan cenderung menghindari tantangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Di mata kaum laki-laki, mereka masih sering dipertanyakan dan diragukan kepemimpinannya (Susanto, 1998). Lanjut Fakih untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut : laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Secara biologis alat-alat tersebut tidak bias dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Pada bagian lain yang hampir serupa Shadily dalam Ihromi (2000) membedakan antara antara gender dan jenis kelamin. Menurutnya istilah jender serimg diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Kedua istilah memang mengacu pada perbedaan jenis kelamin, tetapi istilah seks terkait pada komponen biologis.artinya : masing-masing jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) secara biologis berbeda dan sebagai perempuan dan laki-laki mempunyai keterbatasan dan kelebihan tertentu berdasarkan fakta biologis masing-masing. Misalnya : seorang yang berjenis kelamin perempuan bisa mengandung, melahirkan dan mempunyai air susu ibu (ASI). Seorang yang secara biologis dilahirkan sebagai laki-laki mempunyai sperma.
Perbedaan biologis masing-masing merupakan pemberian Tuhan, dan tidak mudah untuk diubah. Sebaliknya, jender, adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seorang. Atau : jender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap dan perilaku seseorang yang ia pelajari. Yang dipelajari biasanya berbagai sifat dan perilaku yang dianggap pantas bagi dirinya karena ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Sifat-sifat seperti “feminitas” bagi perempuan dan “maskulinitas” bagi laki-laki ditentukan oleh lingkungan budayanya. Melalui apa yang diajarkan orang tuanya, guru-guru sekolahnya, guru agamanya, dan tokoh masyarakat dimana seorang tergabung. Artinya : jender seorang diperoleh melalui suatu proses yang panjang, sebagai hasil belajar seorang sejak ia masih usia dini.
C.      Perempuan Arab Pada Masa Jahiliyah.
Adapun pandangan Bangsa Arab pada masa jahiliyah tentang perempuan mereka menganggap perempuan bagaikan barang atau budak. Jika suaminya meninggal maka wali suaminya akan datang dan mengenakan pakaiannya,dengan demikian si perempuan tidak dapat menikah kecuali dengan persetujuan oleh wali itu, terkecuali jika ia bisa menebus dirinya dengan harta. Kekejaman orang jahiliyah terhadap kaum perempuan ,juga tdk membiarkan kaum perempuan untuk hidup. Jika seorang istri melahirkan anak perempuam, maka sang suami akan langsung mengambilnya, dibuat lubang baginya lalu dikubur hidup-hidup, tanpa mempedulikan jerit tangis sang anak. Itulah sebagaimana yang Allah kisahkan tentang mereka :
"Apabila bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh" (Q.S.At-Takwir : 8-9).
Karena kebenciannya kepada bayi perempuan, seorang ayah akan marah besar bila mendengar yang lahir adalah anak perempuan, wajahnya akan merah padam, dunia menjadi sempit dan pandangannya gelap, sehingga hampir-hampir ia tidak sadar dengan apa yang sedang dihadapannya. Allah menggambarkan :
"Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah, ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yg di sampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup) ? Ketauhilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu." (QS.An-Nahl:58-59)
Perlakuan buruk lainnya adalah mereka memerintahkan dan menjajakan budak-budak perempuan mereka untuk melacur agar mereka dapat memetik keuntungan dari pelacuran itu. Di depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera merah, supaya orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan mendatanginya. Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah berupa harta yang sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya. Allah menurunkan ayat yang melarang akan hal itu :
"Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untk melakukan pelacuran sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi .Dan barang siapa yg memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu" (QS.An-Nuur:33)
Lebih dari itu Alquran juga mengisahkan tentang keburukan akhlak para perempuan dizaman jahiliyah. Perempuan suka berdandan dengan pakaian laki-laki, sering memamerkan auratnya, senang untuk melacurkan dirinya dan banyak memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada perempuan mukminah agar mereka tidak mengikuti budaya dan tingkah laku jahiliyah. Allah berfirman:
"Dan hendaklah kamu menetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang  jahiliyah yang terdahulu." (QS.Al-Ahzab:33)
Perlakuan buruk lainnya bangsa Arab terhadap perempuan adalah melakukan ;            ” Nikah istibdha’. Jika istri dari salah seorang lelaki di antara mereka selesai haid kemudian telah bersuci maka lelaki termulia serta paling bagus nasab dan tata kramanya di antara mereka boleh meminta wanita tersebut. Tujuannya, agar sang wanita bisa disetubuhi dalam kurun waktu yang memungkinkannya melahirkan anak yang mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si lelaki yang menyetubuhinya tadi.
Demikian kondisi kaum perempuan dimasa jahiliyah, keadaan mereka tidak lebih dari makhluk tanpa harga diri, yang kehilangan hak dan kepemilikannya.
D.      Kepemimpinan Perempuan
Beberapa perkembangan konsep kepemimpinan yang layak dicatat adalah :
·         Trait Approach : Pendekatan ini menekankan evaluasi dan seleksi kepemimpinan didasarkan pada karakteristik fisik, mental dan psiologis. Kelemahannya tidak ditemukan karakteristik spesifik yang membedakan pemimpin efektif dan tidak efektif.
·         Behavioral Theories : Menekankan evaluasi kepemimpinan efektif berdasarkan behavior dan fokus pada fungsi dan tipe kepemimpinan.
·         Situational Leadership : Pendekatan ini menyatakan tidak ada tipe kepemimpina yang cocok untuk diterapkan dalam segala situasi. Sehingga perilaku kepemimpinan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Beberapa teori yang dikemukakan adalah Path Goal ( keterkaitan performansi dengan reward ), Tannenbaum & Schmidt's Leadership Continum ( orientasi kepemimpina berdasarkan derajat otoritas dan derajat kebebasan ), Fiedler's Contingency Theory ( kepemimpinan berdasarkan relationship dan task ), dan Vroom & Yelton's Normative Theory ( kepemimpinan dan pengambilan keputusan ).
Dalam dunia usaha, sampai saat ini wanita ternyata masih ketinggalan dibandingkan dengan laki – laki. Terutama dalam kaitan dengan posisi puncak , hanya ditemukan hamper satu wanita dari 10 orang anggota komite eksekutif atau dewan direktur diberbagai belahan dunia. Dalam hal ini representasi di Amerika lebih menggembirakan dibandingkan dengan di Eropa dan Asia. Sebuah studi baru yang dilakukan terhadap 300 perusahaan terbesar di dunia dalam ukuran kapitalisasi pasar ( 100 di Eropa, 100 di Amerika dan 100 di Asia ) menemukan jumlah perempuan yang duduk ditingkat dewan dan komite eksekutif di Amerika dan Kanada dua kali lebih besar dibandingkan di Eropa. ( PortalHR, 2006 ). 
Ada perbedaan dalam kepemimpinan perempuan dan laki-laki. Dalam menjalankan peran sebagai pemimpin, perempuan mempunyai karakteristik, yaitu percaya diri, disiplin, memimpin orang lain bukan menguasai orang lain, bersikap tegas, bekerja untuk kepentingan orang lain, kerja keras, berkompetensi diri, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan. Karakteristik ini pun dikemukakan Cantor dan Bernay (1998) dalam Women in Power, yang mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan sebagai perpaduan antara kompetensi diri, agresi kreatif, dan kekuasaan perempuan.
Anita Roddick dalam Helgesen (1990) Female advantage, women''s ways of leadership mengatakan, perempuan dalam memimpin tidak menghiraukan adanya jenjang hierarki, tetapi menganggap staf sebagai "teman" yang dihargai, yang disebut Roddick feminine principles. Dalam penjelasannya, De Beauvoir memaparkan, penindasan terhadap perempuan itu ada karena perempuan bekerja tetap diharapkan memainkan peran sebagai istri dan ibu. Kedua peran itu menuntut kewajiban yang berhubungan dengan urusan domestik. Bagi perempuan, bekerja merupakan salah satu cara menunjukkan eksistensi dirinya di tengah masyarakat. Feminisme eksistensialis menganggap bahwa dengan bekerja, perempuan menolak menjadi objek atau liyan. De Beauvoir menyebut empat strategi perempuan untuk dapat mengaktualisasikan, yaitu bekerja, menjadi intelektual, menjadi transformator dalam masyarakat, dan menolak internalisasi sebagai objek atau liyan dalam bentuk apa pun. Perempuan yang sedang meniti karier selalu berupaya mengatasi hambatan dan kegagalan yang dia hadapi sementara biasanya untuk kegiatan domestik mendapat bantuan orang lain, seperti menitipkan anak kepada orangtua atau pekerja rumah tangga. Bagi Eisenstein, adanya reformasi pada birokrasi tidak hanya adanya perempuan di level atas struktur, tetapi harus ada keterlibatan perempuan dalam penyusunan kembali institusionalisasi yang ada yang berkaitan dengan peran jender. Widaningrum (1999) juga berpendapat, adanya hierarki wewenang dalam birokrasi sangat bertentangan dengan ide dasar feminisme, yaitu demokrasi. Posisi perempuan yang masih didominasi laki-laki akan mereproduksi masyarakat patriarki jika tidak diberi perspektif perempuan. Dalam konteks ini, diperlukan pimpinan yang mempunyai visi dan misi yang jelas keberpihakannya kepada perempuan.
1.          


BAB IV
KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER
DALAM PANDANGAN ISLAM
Sebagai agama yang kaffah, Islam tidak hanya melingkupi dan mengatur perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan alam, termasuk di dalamnya tentang bekerja yang tampaknya bersifat duniawi. Bekerja adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak anggota tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik dilakukan secara perseorangan atau secara kolektif, baik untuk pribadi ataupun untuk orang lain (dengan menerima gaji).
Dalam dunia ekonomi, bekerja merupakan sendi utama produksi selain alam dan modal. Hanya dengan bekerja secara disiplin dan etos yang tinggi, produktivitas s8uatu masyarakat menjadi tinggi. Semakin tinggi produktivitas, semakin besar kemungkinannya bagi masyarakat itu untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
Manusia diciptakan Allah SWT, sebagai makhluk yang mempunyai kebutuhan berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan keturunan. Sementara itu Allah SWT, tidak menyediakan kebutuhan-kebutuhan itu dalam bentuknya yang siap makan, siap minum atau siap pakai. Allah SWT menyediakan semua kebutuhan itu, tetapi manusia harus bekerja untuk mendapatkannya, tak terkecuali para nabi.
Menurut Islam bekerja yang tampaknya bernuansa duniawi dapat bernilai ibadah bila dilakukan dengan tujuan yang benar: yaitu mencari ridla Allah SWT, dan mendapatkan keutamaan dari hasil kerjanya. Hal ini sesuai dengan Firman Alllah SWT, dalam surat al-Jum’ah : 10.
”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Seiring dengan itu perlu ditumbuhkan suatu kesadaran akan pentingnya kapabilitas bekerja dengan berusaha bagi setiap individu baik pria maupun wanita, karena terwujud kemitraan pria dan wanita berhajat kepada adanya kerjasama dan keterpaduan dalam memikul tanggungjawab mereka.
Dan manakala kita mencermati kondisi dalam kehidupannya selama ini, maka akan kita jumpai sebagian suami mereka ternyata tidak berkemampuan menanggung biaya hidup keluarga, bahkan kebanyakan orang tua/wali tidak sanggup menanggung beban hidup seorang anak wanita beserta anak-anaknya ketiak ia diceraikan suaminya atau menjadi janda karena ditinggal mati oleh suaminya.
Dalam kondisi seperti ini seorang wanita dapat dikatakan wajib terjun ke dunia profesi (karier) untuk menanggung biaya hidupnya beserta keluarganya karena sipenanggung jawab sudah tiada/tidak berdaya. Sementara dalam kesempatan lain seorang wanita disunahkan melakukan kegiatan profesi. Manakala kegiatan profesi (karier) dilakukan sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan  yang luhurnya membantu suami, ayah, atau saudaranya yang miskin, mewujudkan kepentingan masyarakat banyak, berkorban pada jalan yang baik dan sebagainya.
Setelah mencermati berbagai motif berkarier bagi wanita maka penelusuran selanjutnya diarahkan pada pandangan Islam terhadap karier wanita. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban yang sama dengan pria, wanita juga mempunyai peluang berkarier sebagaimana pria. Cukup banyak ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang memberikan pemahaman esensial: bahwa Islam mendorong wanita maupun pria untuk berkarier. Dalam surat an-Nisa : 32, Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dalam beribadah maupun berkarya, wanita memperoleh imbalan dan pahala yang tidak berbeda dengan pria. Islam tidak membedakan pengakuan dan apresiasi terhadap kinerja atasa dasar jenis kelamin. Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan dicapai jika usaha dilakukan secara maksimal disertai do’a. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa wanita bisa berkarier dan dapat mencapai prestasi sama dengan pria atau bahkan melebihinya; bergantung pada usaha dan doanya.
Penegasan Allah SWT bahwa wanita dan pria diberi hak dan peluang yang sama baik dalam hal beramal, bekerja maupun berprestasi dapat disimak pula dalam Q.S.  An-Nisa : 124 berikut ini:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
Beberapa ayat Al-Qur’an tersebut cukup menjadi bukti bahwa ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita. Islam memberikan motivasi yang kuat agar para musliamah mampu berkarier di segala bidang sesuai dengan kodrat martabatnya. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Dengan demikian, Islam memang agama pembebasan dari perbudakan antar manusia maupun hawa nafsunya. Konsep ini selaras dengan prinsip kebebasan yang dianut barat. Hanya saja, melalui Islam manusia dituntun hidup bebas sesuai dengan tuntunan Tuhan.
Masalah yang timbul kini berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam dalam dunia profesi (karier) yang ruang geraknya disektor publik, sedangkan di sisi lain wanita sebagai ra’iyah fi baiti zaujiha (penanggungjawab dalam masalah-masalah intern rumah tangga), cukup menimbulkan pendapat yang kontroversial di kalangan cendekiawan muslim. Abbas Mahmud al-Aqqad  misalnya, tidak memperbolehkan wanita (istri) bekerja di luar rumah. Alasannya karena pria telah diberi kelebihan kemampuan dalam menghadapi hidup daripada wanita. Karena itu ”kerajaan” wanita terletak di rumah tangga, meskipun ia memiliki kesanggupan intelektual maupun fisik yang sama dengan pria, namun dalam kondisi tertentu wanita harus mundur dari perjuangan hidup selama hamil, melahirkan, dan menyusui anak. Kecuali bila wanita terpaksa harus mencari nafkah sendiri, maka al-Aqqad membolehkan wanita bekerja. Mustafa al-Siba’i sependapat dengan al-Aqqad, yakni membolehkan wanita bekerja manakala tidak ada seseorang yang menjamin nafkah padanya. Itupun hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang relatif mudah wajar dan tidak mengandung resiko. Bainya wanita lebih terhormat untuk tinggal di rumah terutama bila yang bersangkutan mempunyai anak.
Dalam kegiatan sosial maupun politik, meskipun tidak ada larangan secara eksplisit, namun pada masa Rasul SAW, dan masa Sahabat tidak ada wanita yang berprofesi sebagai politikus. Keterlibata mereka di medan perang untuk menjadi perawat dan juru masak sekedar partisipasi dan bukan pemegang posisi strategis. Ia beranggapan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah, lebih banyak maaratnya dibandingkan manfaat yang diraihnya, yaitu mendatangkan fitnah yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan rumah tangganya.
Abdurahman Taj berpendapat bahwa apabila seorang istri bekerja sehari penuh atau sebagian waktu siang, kemudian pada malam hari  berada di rumah (suaminya) atau bekerja di malam hari dan menggunakan sisa waktu malamnya bersama suami; maka apabila hak suami rela dengan keadaan tersebut, gugurlah haknya dalam menahan istri agar tinggal di rumah dan ia wajib memberinya (istri) nafkah, sebaliknya manakala ia (suami) tidak rela maka ia tidak (wajib) memberinya (istri) nafkah. Bahkan apabila suami pada mulanya rela istri bekerja lantas berubah pikiran untuk mencegahnya dan manakala istrinya menolak untuk berhenti bekerja, maka gugurlah kewajiban suami memberi nafkah.
Bila dicermati dengan seksam maka pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan kepada paham fungsionalistik, yang mengutamakan keseimbangan, keharmonisan dan kestabilan, karena itu agar tidak terjadi konflik dalam keluarga akibat persaingankarier (suami-istri) maka harus ada pembagian tugas yang sedemikian rupa yang menempatkan suami dalam fungsi instrumental dan istri dalam fungsi ekspresif.
Sedangkan dipihak lain antara lain al-Hatimi menyatakan bahwa wanita boleh bekerja, bahkan dibolehkan menduduki jabatan strategis/peranan penting di masyarakat dengan catatan tetap tunduk pada ajaran syariat yang menghidupi kesuciannya serta tidak menelantarkan peran utamanya sebagai ibu rumah tangga. Pendapatnya bertolak dari historis tentang partisifasi para wanita di zaman Nabi SAW, dalam peperangan, misalnya: ”mengangkat/menyediakan air minum para prajurit, memasak/menyediakan makanan, menjaga/merawat prajurit yang sakit, menjaga dan memelihara kenadaraan, memata-matai musuh, menjahit pakaian dan sebagainya”.
Seorang wanita yang bernama Ummu ’Atiyah ikut berperang bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali sebagaimana pengakuannya yang termaktub dalam Hadis berikut: Dari Ummu ’Atiyah al-Anshariyyah berkata, ”Saya berperang bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali; aku membantu mereka (pasukan) dalam barak mereka dengan menyiapkan makanan mereka, mengobati yang terluka, dan menjaga yang sakit”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi wanita yang ikut terjun ke medan perang, misalnya Safiyah binti Abdul Muthalib seorang wanita pemberani dan sangat perkasa, sehingga dengan pukulannya yang kuat ia bisa membunuh mata-mata dari umat Yahudi.
Dengan fakta-fakta historis tersebut maka tidak perlu ada lagi alasan-alasan yang mengahalangi/melarang seorang wanita terjun dalam profesi apapun, manakala tidak keluar dari koridor kewajaran menurut syariat Islam dan tidak meninggalkan/ mengabaikan tugas utama mereka sebagai ibu rumah tangga.
Dalam keluarga Rasulullah SAW, empat orang dari istri-istri beliau juga profesional dalam menjalankan tugasnya. Mereka itu adalah:
  1. Aisyah r.a. Guru ilmu kedokteran yang mahir di bidang pengobatan, ahli sejarah dan juga sastra, ahli ilmu-ilmu agama, ahli ilmu politik bahkan pernah menjadi Panglima dalam Perang Jamal. Setelah Nabi SAW, wafat beliau mengajar di kediamannya. Dengan demikian Aisyah dapat dikategorikan sebagai cendekiawan, ulama dan budayawan. Aisyah adalah tokoh msyarakat di zamannya yang tidak kalah dengan sahabat-sahabat Nabi lainnya.
  2. Hafsah. Guru al-Qur’an dan pengetahuan umum. Beliau terkenal cerdas dan pernah terlibat dalam kegiatan politik. Bersama Aisyah pernah memberikan teguran kepada Khalifah Utsman r.a. Hanya karena dihalangi adiknya (Abdullah bin Umar r.a), beliau tidak ikut terjun dalam Perang Jamal. Bagaimana kelebihannya di mata umat terlihat dari kepercayaan mereka kepada Hafsah untuk menyimpan naskah al-Qur’an yang ditulis di zaman Abu Bakar r.a.
  3. Ummu Salamah. Guru ilmu politik dan hubungan antar bangsa ketika Nabi menghadapi situasi kritis menghadapi umat Islam yang kecewa dengan Perjanjian Hudaibiyah dan tidak mau ber-tahallul. Ummu Salamah lah yang tampil untuk memberi saran kepada Nabi untuk bersikap tegas memulai tahallul yang kemudian semua sahabat mengikuti tahallul.
  4. Zainab binti Zahsy. Adalah guru keterampilan terutama kerajinan tangan. Sedangkan istri-istri yang lain  yaitu Saudah, Safiyah, Juwairiyah, Ummu Habibah, dan Maimunah berperan menjadi ibu rumah tangga murni.
Tokoh lain yang membolehkan wanita bekerja di luar rumah adalah al-Sakhawi yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang mempunyai keahlian atau kepandaian tertentu, seharusnya diabdikan kepada masyarakat agar manfaatnya menyebar kepada orang banyak. Jamal al-Din Muhammad Mahmud sependapat dengan al-Sakhawi bahwa wanita berhak mendapatkan kesempatan untuk bekerja (di sektor publik) apabila yang bersangkutan membutuhkan pekerjaan itu, atau pekerjaan tersebut membutuhkan orang-orang seperti dia (dalam keahlian tertentu) bahkan seharusnya dibuat undang-undang yang sesuai dengan hukum Islam untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan pekerja-pekerja wanita itu.
Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh wanita dalam meniti karier di luar rumah. Antara lain:
  1. Pergaulan Wanita
Tidak dapat diingkari Islam merupakan agama yang syamil (utuh dan sempurna). Tak satu pun aspek kehidupan manusia yang tidak diatur dalam sumber hukumnya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW; maka dalam hal ini tidak bisa tidak, setiap pembicaraan tentang wanita dalam Islam tentu akan ”memaksa” kita untuk merujuk kepada al-Qur’an dan Hadist. Disini kehidupan muslimah, peran dan tanggung jawabnya dalam keluarga serta masyarakat tidak luput dari jangkauan Islam. Jadi dapat dikatakan muslimah dalam segala gerak-geriknya terikat dengan nilai-nilai keislaman, suatu ikatan yang tidak membelenggu fitrahnya, melainkan justru akan membawa kepada kebahagiaan hakiki.
Berbicara mengenai al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum, tentu juga tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai fikih yang mempunyai nilai normatif dan historis. Fikih dalam hal ini harus juga dibedakan dengan syariah. Karena pada kenyataannya realitas kehidupan manusia yang nampak (umat Islam), adalah merupakan cermin dari berbagai refresentasi fikih yang ada. Adanya pembedaan sistem dan pola relasi, menunjukkan adanya perbedaan pemahaman terhadap nash al-Qur’an dan sunnah dalam bentuk fikih sebagai produk hukum. Jadi dalam konteks kehidupan wanita, realitas kehidupan muslimah yang ada merupakan bentuk fikih wanita ”yang hidup” karena segala seluk beluk yang menyangkut masalah kehidupan termasuk pola relasi mereka dengan pria, berangkat dari nash al-Qur’an dan hadits yang terimplementasi dalam bentuk fikih. Sayangnya fikih yang dijadikan acuan normatif oleh sebagian besar komunitas muslim, sangat diwarnai semangat patriarki, sehingga cenderung menempatkan posisi wanita yang tidak seimbang dengan pria dalam berbagai sektor kehidupan. Untuk itu dalam membicarakan pergaulan wanita seyogyanya bukan fikih yang semata-mata dijadikan acuan, apalagi fikih klasik. al-Qur’an dan hadist lebih memberikan pencerahan dalam membicarakan persoalan yang senantiasa aktual ini.
Berkaitan dengan pola pergaulan muslimah, al-Qur’an dan hadits telah memaparkan dengan jelas ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap muslimah. Dalil-dalil ini juga telah dikutip oleh para ”ulama” sebagaimana tertuang buku-buku fikih. Dari berbagai ayat dan sabda Nabi, dapat disimpulkan prinsif-prinsif dasar yang menjadi landasan pola pergaulan muslimah.dalam hubungan ini, hal-hal berikut ini perlu direnungkan.
Salah satu ayat al-Qur’an (Surat Al-Ahzab/33 : 33) menyatakan wanita diperintahkan untuk tinggal dirumah dan tidak diperkenankan keluar rumah dengan tabarruj seperti orang-orang jahiliyah.
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”
Namun dilihat dari asbab al nujulnya, ayat ini turun dalam konteks istri-istri Nabi. Istri-istri Nabi SAW diperintahkan untuk tetap berada di rumahnya kecuali ada keperluan yang bersifat darurat, dan ini juga berlaku pula bagi wanita muslimah lainnya jika tidak ada dalil lain yang menyatakan berbeda. Ayat ini diturunkan untuk melindungi dan memuliakan wanita.
Untuk kehidupan masa kini, meninggalkan rumah bagi sebagian wanita muslimah tidak hanya darurat tetapi merupakan kebutuhan. Bahkan meninggalkan rumah untuk berkarier, sama sekali tidak menjadikan wanita terancam; bahkan bisa ”mulia” menurut persepsi masyarakat. Dengan kata lain wanita yang berkarier dan sukses justru dinilai positif dan direspek tentu saja selama wanita itu memegang teguh nilai-nilai Islam, baik dalam pergaulan, pakaian maupun dalam bekerja.
Dalam berinteraksi dengan kaum pria, wanita diperintahkan untuk merendahkan suaranya, dan dilarang mengekspresikan suara yang menimbulkan rangsangan bagi pria selain muhrimnya. Firman Allah:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[1214] dan ucapkanlah perkataan yang baik,” (Q.S. Al-Ahzab/33:32)
Masih terkait dengan interaksi wanita-pria, wanita tidak diperkenankan berduaan dengan pria  bukan muhrimnya, demikian pula sebaliknya. Dalam sebuah hadits disebutkan: Dari Uqbah bin Amir dari Nabi SAW mengatakan, ”Tidaklah seorang pria berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, kecuali setan yang ketiga diantara mereka”. (HR. Bukhari, Ahmad dan At-Turmudzi).
Ketika berjalan, wanita harus menunjukkan sikap tawadu, penuh rasa malu namun sopan dan tidak menampakkan kelemahan yang bisa mendorong pria untuk menggodanya. Tidak boleh memakai sesuatu yang menimbulkan suara ketika berjalan, sehingga menarik perhatian orang yang mendengarnya, seperti memakai gelang kaki, sepatu yang bisa menimbulkan suara dan sebagainya. Dalam al-Qur’an dinyatakan:
“…Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur : 31)
Wanita hendaknya tidak berdesakan dengan pria di jalan. Ketika berjalan berbaur dengan orang banyak, dimana sebagian mereka adalah pria, maka hendaknya wanita di bagian belakang.
Wanita juga tidak boleh memakai wewangian dan aneka macam alat kecantikan yang bisa menarik perhatian lawan jenis.
Islam telah menggariskan etika sempurna tentang peran wanita dalam kehidupan sosial dengan segala konsekuensinya, seperti harus bertemu dengan kaum pria. Dalam hal ini terdapat beberapa faktor yang menjadi karakter dasar etika tersebut, diantaranya:
  1. Tidak menghambat proses keseriusan hidup serta tetap mempertahankan akhlak dan harga diri manusia.
  2. Menumbuhkembangkan kesejahteraan dan kemakmuran, menjauhkan manusia dari kemunkaran sekaligus menempanya sehingga tidak terseret arus kejahatan.
  3. Menjamin kesehatan mental pria dan wanita secara merata, karena tidak membuka peluang bagi sikap berlebihan, melanggar norma suslila, atau memancing syahwat. Selain itu, etika itupun tidak menimbulkan sikap pura-pura malu, tidak menimbulkan perasaan sensitif yang berlebihan terhadap lawan jenis, serta tidak menjadikan seorang wanita menutup diri dari seorang pria.
  1. Ketentuan Berbusana dalam Islam
Sebagai muslimah wanita yang menekuni karier juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang berhubungan dengan tata busana atau pakaian. Pakaian merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia disamping makan dan tempat tinggal. Pakaian merupakan penutup yang dapat menyembunyikan hal-hal yang membuatnya malu (aurat) bila dilihat orang lain. Inilah fungsi dasar mengapa manusia mengenakan pakaian, dimana pada hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia yang diaktualisasikan saat ia memiliki kesadaran.
Selain untuk menutup aurat, pakaian juga berguna sebagai pelindung untuk menjaga kesehatan tubuh. Ia juga berfungsi  sebagai perhiasan. Pakaian sebagai perhiasan adalah pakaian yang membuat pemakainya memiliki warna keindahan. Namun tidak kalah pentingnya adalah pribadi yang dibungkusnya, termasuk di dalamnya perangai dan hati yang ada di dalamnya.
  1. Pakaian sebagai Penutup Aurat
Salah satu usaha preventif agar tidak timbul madarat bagi wanita yang dalam tugas kesehariannya berada di tengah komunitas pria adalah perlunya menegakkan perintah (wajib) menutup aurat atau dengan kata lain berbusana yang islami, dengan beberapa alasan antara lain: Pertama, menutup aurat oleh wanita merupakan faktor penunjang utama kewajiban pria untuk menahan pandangan yang diperintahkan Allah SWT. Kedua, menutup aurat menjadi wajib karena sad al-zara’i yaitu menutup pintu kepada dosa yang lebih besar seperti berzina, sebagaimana tertuang di dalam QS. al-Isra/17 : 32 :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan dosa yang besar”.
Oleh karena itu, para ulama sepakat mengatakan, menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik pria maupun wanita.
Busana yang dikenakan sehari-hari di ruang publik bagi wanita karier khususnya dan wanita pada umumnya, hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Busana yang menutup seluruh aurat yang wajib ditutup.
  2. Busana yang tidak menyolok mata dan menjadi kebanggaan pemakainya di depan orang lain.
  3. Busan yang tidak tipis, agar warna kulit pemakainya tidak nampak dari luar.
  4. Busana yang agak longgar/tidak terlalu ketat agar tidak menampakkan bentuk tubuhnya.
  5. Busana yang tidak menyerupai/sama dengan busana untuk pria.
  6. Busana yang bukan merupakan perhiasan bagi kecantikan yang menjadi alat kesombongan/tabarruj.
  1. Pakaian sebagai Perhiasan
Salah satu tujuan manusia mengenakan pakaian, adalah sebagai perhiasan, yaitu sesuatu yang dipakai untuk memberikan kesan keindahan pada diri pemakainya. Sekalipun keindahan merupakan dambaan manusia, kriterianya adalah relatif, bergantung dari sudut pandang masing-masing individu. Hal ini merupakan salah satu sebab al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah. Ukuran keindahan itu relatif, sehingga para perancang busana memunculkan berbagai model pakaian yang dinilai indah untuk dipakai termasuk oleh wanita muslimah.
Berhias adalah naluri setiap manusia, baik pria maupun wanita. Islam tidak pernah melarang apapun yang sifatnya naluriah, karena Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya sejalan dengan naluri manusia. Yang menjadi concern Islam adalah mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan naluriyah itu sedemikian rupa, sehingga berlangsung dengan cara yang baik dan hormat.islam memberi tuntunan yang harus diperhatikan agar orang menjauhi kesombongan dan berlebih-lebihan (israf) dalam berhias, termasuk dengan pakaian yang ingin dikenakan.
  1. Jilbab Penunjuk Identitas Muslimah
Pakaian dapat menunjukkan identitas serta membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan tidak jarang dapat membedakan status sosial seseorang. Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya. Orang yang mengenakan kostum olah raga akan terdorong semangatnya untuk berolah raga. Begitu pula, orang yang memakai pakaian tidur akan terangsang untuk tidur. Wanita yang memakai busana muslimah atau pria yang bersarung dan bersurban akan terdorong untuk merasa malu berbuat maksiat. Meskipun harus diakui, pakaian tidak menciptakan ”santri”, tetapi ia dapat mendorong pemakainya untuk ”berprilaku santri”. Pakaian terhormat mengundang seseorang untuk berprilaku dan mendatangi terhormat, sekaligus mencegahnya berbuat dan mendatangi tempat-tempat yang tidak baik. Inilah salah satu tujuan al-Qur’an memerintahkan wanita-wanita muslimah memakai jilbab. Jilbab bagi wanita merupakan gambaran identitas seorang muslimah, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Ahzab : 59)
Jilbab adalah kain luar yang berfungsi untuk menutup tubuh wanita dari atas hingga bawah. Ahmad Muhammad Jamal memberi pengertian jilbab sebagai jenis pakaian yang lebih besar ukurannya dibanding dengan kerudung yang dikenakan oleh wanita di luar pakaian-pakaian yang biasa dikenakan. Perintah mengulurkan jilbab dimaksudkan agar dapat menutup tubuh wanita kecuali yang biasa tampak pada diri mereka dalam kehidupan umum sehari-hari, yaitu muka dan telapak tangan. Pada prinsipnya jilbab adalah pakaian yang dapat menutup aurat.
Bagi wanita karier atau muslimah yang beraktivitas di sektor publik, busana muslimah mempunyai urgensi yang signifikan. Busana yang menutup aurat dapat menciptakan rasa aman kepada pemakainya di satu sisi, dan menyelamatkan orang lain dari zina mata di sisi lainnya. Dengan penampilan yang Islami, seorang wanita akan dihormati orang lain karena disamping penuh wibawa juga menumbuhkan rasa segan, sehingga menciptakan jarak yang wajar untuk berinteraksi antara pria dan wanita. Dengan demikian gosip dan fitnah serta godaan dapat dihindari.
  1. Etos Kerja Islami
Selain pergaulan dan pakaian, muslimah yang memilih dunia karier juga harus bekerja dengan etos kerja yang tinggi dan profesional. Dalam Islam banyak didapati ajaran yang mendorong untuk melakukan usaha dan bekerja yang giat untuk memperoleh hasil kerja yang maksimal.
Menurut Islam, setiap orang yang bekerja apalagi yang menekuni karier, termasuk para wanita muslimah harus menampilkan etos yang tinggi dalam bekerja. Ciri-ciri etos kerja itu adalah:
  1. Memiliki jiwa kepemimpinan, dalam arti mampu mengambil posisi sekaligus memainkan peran aktif, sehingga keberadaannya mampu mempengaruhi orang lain dan lingkungannya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 30, manusia diposisikan sebagai khalifah.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Kepemimpinan tidak hanya monopoli pria, wanita juga berhak menjadi pimpinan. Untuk itu jiwa kepemimpinan harus ditanamkan sejak menapak karier, dalam bentuk kemampuan mempengaruhi, mengarahkan, mengawasi, dan mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
  1. Selalu berhitung; mengevaluasi apa yang sudah dilakukan untuk menghadapi masa depan. Firman Allah (Q.S. Al-Hasyr : 18)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
  1. Menghargai waktu. Telah menjadi aksioma bahwa profesionalisme terkait erat dengan kedisiplinan dan  dan ketepatan waktu. Jika pepatah barat mengatakan time is money (waktu adalah uang), maka dalam ungkapan Arab al-waqtu ka al-saif (waktu bagaikan pedang). Dua ungkapan ini dapat disatukan dengan menyadari bahwa semakinmemanfaatkan waktu semakin besar keuntungan yang diraih, sebaliknya semakin lalai dengan waktu, maka kian besar kerugian yang diderita dan bahkan bisa berakibat fatal.
  2. Selalu merasa tidak puas terhadap kebaikan atau kinerja yang telah dicapainya. Diantara karakteristikkepribadian individu yang dinamis dan selalu ingin maju, adalah tidak puas dengan apa yang telah dicapai. Agama pun memacu umay untuk mencapai yang terbaik, sebagaimana diisyaratkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
  1. Hidup berhemat dan efisien tanpa harus menumpuk harta dan kikir serta individualistis . meskipun sumber daya alam yang dimiliki melimpah, atau penghasilan lebih dari cukup, setiap muslim, termasuk wanita karier, diperintahkan untuk melakukan efisiensi. Dalam dunia manajemen, efisiensi dan efektifitas adalah dua kata kunci, yang tidak boleh ditinggalkan oleh siapapun yang terlibat dalam proses manajemen. Wanita karier yang bekerja secara profesional akan senantiasamenerapkan hal ini.
  2. memiliki semangat wiraswasta (entrepreneurship) yang tinggi. Mencipta dan berkarya merupakan unsur terpenting jiwa wiraswasta ini.sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan al-Bukhari, Nabi bersabda: Dari Miqdam r.a, Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak ada satu pun makanan yang lebih baik untuk dimakan oleh seseorang daripada makan hasil kerja tangannya sendiri; Nabi Daud as, saja makan hasil dari kerja tangannya sendiri.
  3. Memiliki naluri bertanding dan bersaing. Dalam dunia karier persaingan adalah keniscayaan, dan kompetisi adalah sistem yang tak terelakkan. Begitu terjun dalam suatu kancah karier, wanita muslimah harus siap menghadapi persaingan dan kompetisi. Dalam kaitan ini Allah berfirman:
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 148)
  1. bersikap mandiri. Kemandirian tidak identik dengan egoisme (mementingkan diri sendiri). Kemandirian berarti kemampuan untuk menyelesaikan tugas tanpa ketergantungan pada orang lain, pada saat yang sama ia tetap mampu bekerja secara tim (team work). Mandiri juga dapat diartikan sebagai kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri; tanpa bergantung pada bantuan atau belas kasihan orang lain.
  2. Knowledgeable tentang profesi yang ditekuninya dan selalu mengembangkan diri. Dalam dunia kerja pengetahuan dan keterampilan merupakan dua faktor penting yang menentukan keberhasilan meniti dan menekuni karier. Dalam hubungan ini Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Isra:36)
  1. Berwawasan luas dan makro. Setelah menekuni profesi tertentu, orang cenderung mengambil posisi sebagai ahli dalam bidang tertentu. Namun untuk mencapai prestasi dan jenjang karier maksimal, spesialisasi harus didukung dengan wawasan luas yang bersifat makro.
  2. Ulet dan pantang menyerah. Dalam profesi apa pun dan di lingkungan kerja manapun tidak ada keberhasilan dicapai dengan tiba-tiba. Segala sesuatu harus dicapai dengan hambatan, rintangan, dan tantangan. Hanya dengan kerja keras disertai daya juang tinggi sehingga tidak menyerah pada kegagalan yang mengantarkan seseorang mencapai prestasi.
  3. Berorientasi pada prodiuktivitas. Selain dari dimensi proses, orang bekerja umumnya dinilai dari produknya. Karena itu dalam bekerja, seseorang dengan etos Islami yang tinggi tidak akan sekedar melakukan pekerjaan itu, tetapi juga berupaya untuk menyelesaikan sesuai dengan target dan sasaran yang dicanangkan. Untuk ini ia akan bersungguh-sungguh dalam melakukan proses dalam rangka mencapai produk yang diinginkan.
  1. Diperbolehkannya Wanita BekerjaMenurut Islam
Islam memperbolehkan seorang wanita untuk bekerja, tetapi itu juga disertai dengan syarat-syarat tentunya agar terjamin kemaslahatan bagi wanita itu sendiri Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
BAllah berfirman SWT berfirman:
1.         Berjilbab dan menutup aurat
Allah berfirman SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَأَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا [25]
Allah berfirman pula dalam Surat lain yang berbunyi:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[18][26]
2.         Komitmen dengan akhlaq Islami, menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara dengan kata lain tidak dengan suara yang dibuat-buat.
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا [27]
3.         Menjauhi pergaulan yang bersifat campur-baur atau berduaan dengan lawan jenis. Hal ini akan berdampak buruk, baik terhadap diri maupun akhlaknya, bahkan akan membawa kerusakan yang nyata di muka bumi ini, seperti yang selalu kita dengar tentang adanya perkosaan, perzinahan atau pelecehan seksual, dan kriminalitas seksual lainnya. [28]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْجَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا[19][29]
Ayat diatas menjelaskan bahwa jika ada seorang pria yang meminta bantuan dari seorang wanita, hendaknya melalui bailik tabir. Ini menandakan apabila seorang pria yang bukan mahram meminta bantuan kepada seorang perempuan sangat dianjurkan untuk tidak bertatap muka apabila tidak ada keperluan yang sangat penting.
  1. Perempuan Dan Kesetaraan Gender
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words intomasculine, feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan.
Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelaminantara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak  berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Misalnya sepertiapa yang telah kita ketahui bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut,emosional, dan keibuan sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin. Pada hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Dan sebaliknya,ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karena itu gender dapat berubah dari individu ke individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkandari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat mendukung dan bahkan melarang keikut sertaan anak perempuan dalam pendidikan formal, sebagai akibat ketidak samaan kesempatan, sehingga dalam masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.
Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-lakidikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukanmenjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yangdikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti. Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara penuh hak-hak dan potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya hanya diskenerioi oleh struktur masyarakat patriarkhi. Oleh karena itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar bagi kehdupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajar dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Teori nature (Kelemahan Sebagai Kodrat Perempuan) adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.[20][2]
Senada dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.
Jika Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya, Aristoteles juga mengandaiakan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi tubuh, akal mendominasi perasaan, laki-laki mendominasi perempuan dan seterusnya. Perempuan yang didefinisikan sebagai suatu yang ganjil, menyimpang dari prototipe manusia generik adalah budak-budak dari funghsi tubuh yang pasif dan emosiaonal. Akibatnya perempuan lebih rendah dari laki-laki yang memiliki pikiranm aktif dan cakap.2 Dampak dari dasar filsafat di atas, maka perempuan dianggap sebagai perahu/kapal tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia karena ia keluar tanpa jiwa. Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati.[21][3]
Menyimak pemikiran dua filsuf besar di atas, terlihat jelas bahwa keduanya dibatasi dan terdistrorsi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat dan oleh keinginan untuk menjaga atau melestarikan tatanan tersebut. Kendati eksistensi perempuan masih dipandang penting dalam suatu tatanan kosmik, namun perempuan tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang beradab. Dengan demikian, tidak asing dalam tradisi Yunani Kuno bahwa ada kecenderungan untuk melakukan kategorisasi atas pengalaman manusia yang berhubungan dengan pertentangan alam dan budaya, sebagai sesuatu yang berada di bawah kontrol manusia.Dalam konteks ini, menimbulkan konsekuensi lebih jauh bahwa dalam kaitannya dengan suatu perlawanan, perempuan dipandang oleh laki-laki lebih dekat dengan alam dari pada dengan kebudayaan, perempuan berada pada posisi margin dan periferi kebudayaan.
Memperkuat teori Yunani kuno, filosuf Yahudi, Philo (30 SM-45 M) terilfiltrasi oleh pemikiran Yunani, dengan enggabungkan ide status kekrangan an kelemahan perempuan dengan dogma teologi Yahudi. Teologi Yahudi mengganggap perempuan sebagai sumber dari segala kejahatan. Perempuan dikenal dengan tubuh yang emosi, mudah berubah, dan tidak stabil. Laki-laki adalah simbol pikiran dan aspek jiwa intelektual yang lebih tinggi. Laki-laki adalah situs dan perempuan adalah anima. Secara lebih tegas dukungannya dengan teori nature, Philo menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran, mengetahui dan mengenal dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian ini, memiliki akar yang menghunjam pada tataran kos`mologis. Dengan pikiran dunia dibangun berkaitan dengan kontinuitas, stabilitas dan kekelannya, sebaliknya perempuan yang direpresentasikan dengan materi, mengkategorikannya pada instabilitas dan mudah berubah. Philo secara lebih vulgar menyatakan ; dikhotomi laki-laki dan perempuan berikut peran sosial yang diembannya, merupakan fakta dari alam dan hukum dunia mengikuti perintah alam. Di samping filsafat tentang definisi nature-nya, Philo juga mencari legitimasi pemikirannya pada teks-teks keagamaan, yakni naskah Perjanjian Lama yang diinterpretasikan bukan sebagai mitos atau sejarah, namun lebih dipahami sebagai cara menyimbolkan sesuatu yang mengacu pada realitas kosmik. Cerita Adam dan Hawa misalnya, memiliki pengaruh penting bagi status, kedudukan dan perempuan.
Senada dengan kontradiksi kosmik yang digagas Phytagoras, yakni siang-malam, Philo yang mungkin terpengaruh oleh Phytagoras menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kategori yang terpisah. Pemisahan ini kemudian menimbulkan perbedaan yang mutlak. Misalnya dinyatakan bahwa ciri-ciri laki-laki adalah akal, yang menyimbolkan ketenangan, aktif, kuat, dan stabil. Sementara perempuan digambarkan dengan emosi, pasif, lemah dan tidak stabil. Berdasarlan pemikiran itu, ia meyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi Hawa untuk menahan emosinya ketika dibujuk syetan, mengakibatkan ia mudah digelincirkan syetan. Menurut Philo, perempuan secara alamiah memiliki sifat lebih terbuka kepada kesenangan fisik, membuat syetan berhasil menggodanya, bahkan rasa rendah diri perempuan dianggap sebagai kaki tangan syetan.[22][4]
Teori Nurture (Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial), Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala ssuatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil.[23][5] Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu.
Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Melengkapi dua konsepsi metafisis di atas, kodrat merupakan penyempurnanya. Kodrat atau esensi merupakan sesuatu yang diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah entitas dikatakan sebagai manuasia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang mutlak, given dan tidak dapat dirubah oleh konstruksi dan kekuatan apapun. Tampaknya, wacana gender, juga selalu digelayuti oleh persoalan seputar kodrati-non kodrati, terkait dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan di jagat ini. Oleh karena itu, membicarakan peran gender tanpa mengikutkan teori yang mengkonstruksinya, akan mengakibatkan wacana tersebut akan kehilangan elan vital-nya. Filsafat Barat yang mendasari kelahiran sejumlah ideologi, perlu dirunut kontribusinya dalam melahirkan konsepsi kodrati dan non-kodrati bagi kedua jenis kelamin manusia ini.

Konsepsi ideologi patriarkhi yang sessunguhya lahir dari mesopotamia Kuno pada zaman neolithik, semakin memiliki daya hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang melahirkan teori-teori identitas, dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini diposisikan sebagai “tersangka” bagi pendefinisian secara tidak adil dan tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan” ideologis antara kekuatan patriarkhi --yang diwariskan oleh peradaban kuno-- dan metafisika Barat, dapat dijelaskan sebagai berikut: Patriarkhi mengurung mahluk laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas yang tertutup rapat antara satu dengan yang lain. Kompartmentalisas ini diperparah oleh pemaknaan identitas perempuan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Perempuan didefinisikan secara sosial, oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Identitas perempuan adalah mahluk yang bukan laki-laki. Jika misalnya laki-laki beridentitas rasional, maskulin dan publik, maka perempuan adalah beridentitas emosional, feminin, dan domestik. Konsepsi identitas ini kemudian mengarah pada adanya dikhotomi, konsepsi kedua dari metafiska Barat. Persekongkolan antara ideologi patriarkhi dan dikhotomi, terlatak pada adanya dominasi satu pihak atas pihak lain, yang lahir dari dikhotomi ini. Kosekusesinya, relasi laki-laki dan perempuan merupakan relasi dominasi. Posisi superior yang dimiliki oleh identitas laki-laki, yakni rasional, maskulin, dan petualang publik, dianggap merupakan kualitas, sifat dan perilaku yan melekat pada identitas tersebut. Kualitas rasionalitas dan maskulinitas laki-laki, diyakini lebih unggul dari kualitas emosionalitas dan feminitas perempuan. Konsekuenasi dari keyakinan ini adalah lahirnya klaim masyarakat patriarkhi bahwa sudah kodratnya, laki-laki memiliki posisi superior, dominatif, dan menikmati posisi-posisi istimewa dan sejumlah privelege lainnya atas perempuan. Untuk melanggengkan superioritasnya, dominatifnya dan kekuatan priveleg-nya, laki-laki harus menekan emosinya dan menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek dan tidak wajar jika laki-laki menangis. Dikatakan tabu kalau laki-laki berbicara lembut. Laki-laki dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara dan bertindak, dan seterusnya.
Berdasarkan kolaborasi dan “perselingkuhan” kepentingan antara patriarkhi dan metafiskan barat yang melahirkan sejumlah keistimewaan posisi laki-l;aki dibanding perenpuan di atas, maka perlu adanya gerakan penyadaran tidak hanya terhadap perempuan tetapi juga terhadap laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah ideologi yang mapan, ternyata dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh manusia. Kendati terkesan sosok patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia dibangun di atas pondasi yang goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas, dikhotomi dan kodrat yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang given dan absolut, sebenarnya tidak lebih dari sekedar buatan tangan manusia. Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya.
Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh instritusi sosial berupa Dharma wanita,  demikian juga wacana mengenai posisi laki-laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi agama. Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh masyarakat secara seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.
Untuk mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.[24][6]

Berdasarkan realitas pengkondisian sosial masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa semua itu merupakan produk sosial, maka penghapusan seksisme yang berimplikasi sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang menimbulkan segala bentuk ketidak-adilan gender, sepereti marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran ganda bagi perempuan, salah satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang kuat ideologi patriarkhi. Pembagian kerja secara seksual, seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat melulu sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain dianggap feminin. Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan, sebaliknya perkayuan hanya dilakukan oleh laki-laki. Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air menjadi tugas perempuan. Sementara kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan adalah mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen.
Dalam masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak. Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja misalnya dalam suku Arapesh di Papua Newgini, yang beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-isteri, sehingga mereka dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya. Suku Aboriogin di Australia dan kepulauan Tobriand di Papua Newgini meyakini bahwa mengasuh anak adalah merupakan tugas penting ibu maupun ayah.[25][7]
Mengacu kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah bergantung pada jenis kelamin tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah.
Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik, ekonomi dan agama.
  1. Optimalisasi Peran Wanita dengan Membangun Kesadaran Keseimbangan Beban Kerja
Berkaitan dengan kerja, pada setiap masyarakat telah terbentuk pembagian kerja secara seksual antara pria dan wanita, ini kemudian dikenal dengan peran gender. Secara biologis wanita dianugerahi alat reproduksi berupa vagina, ovum, rahim dan payudara. Dengan demikian tugas reproduksi mengandung, melahirkan, dan menyusui telah ditakdirkan untuk dijalani oleh wanita. Hanya saja, tugas reproduksi itu berkembang lebih lanjut dalam masyarakat menjadi peran gender, peran ”utama” wanita adalah sebagai perawat dan pendidik anak. Konsekuensi logis dari peran tadi, pekerjaan di rumah tangga merupakan tugas dan dan kewajiban pokok perempuan.
Mencermati kondisi sosial wanita saat ini, dimana semakin banyak wanita yang mencapai taraf pendidikan yang tinggi, tentu mereka membutuhkan wadah untuk berkarya. Jika seandainya rumah sudah dianggap terlalu sempit bagi ruang gerak sosial wanita, kenapa ketika mereka mempunyai kesempatan untuk memberikan kontribusi langsung langsung untuk pembangunan justru dibatasi dengan menggunakan alasan agama. Masih terbuka luas peluang bagi wanita untuk berkarya, tidak hanya pada bidang-bidang yang selama ini diidentikkan dengan wanita.
Kekhawatiran yang muncul jika perempuan bekerja di luar rumah akan menyebabkan pendidikan anak terabaikan dan itu bisa berimplikasi kepada kemerosotan moral karena keluarga adalah wadah pembinaan inti masyarakat, seharusnya tidak perlu terjadi jika masyarakat memahami bahwa dalam kehidupan rumah tangga peran yang dijalankan pria dan wanita bukanlah bernuansa dikotomis atau bahkan kontardiktif. Islam memang telah membagi tugas antara suami-istri dengan sebaik-baiknya. Pembagian ini tidak dimaksudkan bahwa wanita tidak mungkin melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh pria atau sebaliknya.
Pembagian tugas antara suami-istri dan penjelasan tentang kelebihan pria-wanita dijelaskan dalam al-Qur’an surat An-Nisa:34 dan Al-Baqarah:233. ayat pertama menjelaskan tugas suami dan kelebihan pria, sedangkan ayat kedua menegaskan tugas istri dan kelebihan wanita. Kedua tugas rumah tangga tadi (suami mencari nafkah; istri mengasuk dan merawat anak) sama mulianya, karena keduanya saling melengkapi, terpadu dalam kemitraan demi tegaknya sebuah rumah tangga.
Bila seorang istri tergerak untuk turut meringankan beban keluarga dengan bekerja di luar rumah, seharusnya suami tidak perlu merasa rendah untuk turut membantu pekerjaan rumah tangga. Kerena, bila suami bersikap enggan maka tujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sulit untuk dicapai, karena salah satu fungsinya tidak berjalan secara maksimal. Dipandang dari sudut manapun, sikap seperti itu juga tidak adil, karena dua beban harus dipikul oleh satu orang, yaitu wanita.
Dengan adanya pembagian tugas ini, maka tugas-tugas domestik seperti pengasuhan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab berdua sehingga tidak terbengkalai walaupun istri menekuni karier. Sejatinya, anak tidak hanya butuh kasih sayang dan perhatian dari ibu, tapi mereka juga mkembutuhkannya dari ayah. Jadi, hanya dengan kerjasama antara ayah-ibu, pendidikan anak dapat terlaksana secara lebih efektif dan optimal, dibandingkan dengan pendidikan yang hanya dilaksanakan oleh ibu saja.
G.      Kedudukan Perempuan Dalam Pandangan Islam
Sesungguhnya Islam telah memberikan penghargaan dan penghormatan kepada kaum wanita dengan setinggi2nya, ia memberikan kedudukan yg teramat mulia dan luhur, mengangkat mereka dari lembah kehinaan dan sumber keburukan, menyelamatkan mereka dari kekejaman dan perlakuan keji manusia yg biadab. Islam datang dengan membawa rahmat bagi seluruh makhluknya. Apalagì kepada kaum wanita yang merupakan makhluk Allah yg mulia.
Sebagai ibu, Allah mengkhabarkan bahwa syurga itu terletak dibawah telapak kakinya. Sebagai seorang istri mereka harus diperlakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, Sebagai seorang anak perempuan, mereka harus dididik dengan pendidikan yg benar, diasuh hingga masa menikah, bahkan seorang ayah yang dapat mengasuh dan mendidik dua orang atau tiga orang anak putrinya dengan sebaik-baiknya akan mendapatkan jaminan syurga, karena tingginya pahala yang dimiliki oleh seseorang yang dapat mendidik mereka dengan sebaik-baiknya. Rasulallah saw.bersabda (HR.Muslim) : 
"Barang siapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu ia memperlakukannya dengan baik, maka kelak mereka akan menjadi dinding dari (sengatan) api neraka"
Allah memberikan kedudukan yg sama antara laki2 dan perempuan dlm hal pahala dan kedudukan mereka di sisi Allah.Allah berfirman :
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (QS.An-Nahl:97)
"Sesungguhnya Aku tdk akan menyia-nyiakan amalan orang2 yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah keturunan sebagian yang lain." (QS.Ali-Imran:195)
  1. Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam

Di antara 114 surat yang terkandung di dalam Al Qur’an terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengansurat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi.
Islam adalah agama keTuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (Q.S. al-imran: [3] 112). Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba (‘abid) dan sebagai representatif Tuhan (khalifah),tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat [49]: 13), artinya :
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supayakamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu ;
Sesungguhnya Allah MahaMengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13)
Rasulullah saw bersabda yang artinya: ”hak dan kewajiban Allah terhadap hamba-Nyadan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.( HR. Bukhari)
Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkunganalamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos(manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapatmenjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapaiderajat abid sesungguhnya.Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an) substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid al-syariah),antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S. an-Nahl [16]: 90), artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil  pelajaran”
Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid sesungguhnya.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak ditemukan ayat al-Qur’an atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya. Sebaliknya al-Alqur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Dengan demikian, keadilan gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara.
Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai :
  1. hamba Tuhan (kapasitasnya sebagai hamba,- laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya Q.S. an-Nahl;[16]: 97),
  2. khalifah di bumi ditegaskan dalam surat al-A’raf [7]: 165,
  3. penerima perjanjian primordial (perjanjian dengan Tuhannya) sebagaimana disebutkandalam surat al-A’raf [7]: 172,
  4. dan Adam dan Hawa dalam cerita terdahulunya yang telah disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 22
Ayat ayat tersebut diatas mengisyaratkan konsep kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesiona, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yan sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena msih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.
Tujuan al-Qur’an adalah terwujudnya keadilan bagi masyarakat. Keadilan dalamal-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai inividu maupun sebagai anggota masyarakat. Al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik  berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Dengan demikian, terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan (debatable), apakah sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya sebagai ”rahmatan lil’alamin” Dalam alquran surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi ; Bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukanyang paling terhormat. Manusia juga  diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaandan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal pembedaan antaralelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunya derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan perempuanhanyalah dari segi biologisnya. Adapun dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah: Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan.

Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat di atas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.

Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwaAllah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.

Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang PemberdayaanPerempuan" (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsipkesetaraan gender ada di dalam Qur’an, yakni:
4.        Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Sebagai Hamba (Q.S. al-Zariyat (51:56). Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaanantara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa ataukelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Hujurat (49:13)
5.        Perempuan dan Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard). dalam Q.S. al-An’am(6:165), dan dalam Q.S. al-Baqarah (2:30) Dalam kedua ayat tersebut, kata ‘khalifah" tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu,artinya, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
6.        Perempuan dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam Q.S. al A’raf (7:172) yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-lakidan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Qur’an jugamenegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)
  1. Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut:
a.         Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S.al-Baqarah/2:35)
b.         Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S.al-A’raf/7:20)
c.         Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S.alA’raf/7:23)
d.        Setelah di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (Q.S.al Baqarah/2:187)
e.         Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuandan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran/3:195; Q.S.an-Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsepkesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasiindividual, baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mestididominasi oleh satu jenis kelamin saja.
Mengapa Muncul Ketidakadilan terhadap Perempuan dengan Dalih Agama?
Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkanoleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat di dalam masyarakat, sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkankaum perempuan.
Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidak adilan terhadap perempuan adalah :
a.         Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
b.        Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) darisurga, sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkanlebih jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka.
Bias gender yang mengakibatkan kesalah pahaman terhadap ajaran Islam terkait puladengan hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah,Pengertian Kosa Kata (Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan ArtiHuruf ‘Atf, Bias Dalam Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur’an, Bias Dalam Metode Tafsir, Pengaruh Riwayat Isra’iliyyat, serta bias dalam Pembukuan maupun Pembakuan Kitab Fikih. (Nasaruddin Umar, 2002).
Al-quran tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia.Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yangsama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudahselayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl/16:90);keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan kebaikan dan mencegahkejahatan (Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al- syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.
  1. Ibu Dalam Pandangan Islam
Islam mengajarkan bahwa kaum ibu merupakan fihak yang sangat istimewa dan tinggi derajatnya. Oleh karena itu kita sangat akrab dengan hadits yang menjelaskan keharusan seorang sahabat agar memprioritaskan berbuat baik kepada ibunya. Bahkan Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam menyebutkan keharusan tersebut sebanyak tiga kali sebelum beliau akhirnya juga menganjurkan sahabat tadi agar berbuat baik kepada ayahnya. Jadi ibaratnya keharusan menghormati dan berbuat baik seorang anak kepada ibunya sepatutnya lebih banyak tiga kali lipat daripada penghormatan dan perilaku baiknya terhadap sang ayah.
Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Kita juga sangat akrab dengan hadits yang menyebutkan beberapa dosa besar dimana salah satunya ialah durhaka kepada kedua orangtua, yaitu ayah dan ibu. Di antaranya disebutkan sebagai berikut: Dari Anas ia berkata: Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam ditanya mengenai dosa-dosa besar, maka beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah, durhaka pada kedua orang-tua, membunuh jiwa dan kesaksian palsu.” (HR Bukhary).
Bahkan di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa kedua orang-tua merupakan faktor yang sangat besar mempengaruhi apakah seseorang bakal menuju ke surga ataukah ke neraka. Artinya, perilaku baik seseorang kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar kemungkinannya berakhir di dalam rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan kedurhakaannya kepada kedua orang-tua bakal memperbesar kemungkinan hidupnya berakhir di dalam murka Allah dan neraka-Nya. Dari Abi Umamah ia berkata: “Ada seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas anak mereka?” Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Keduanya (merupakan) surgamu dan nerakamu.” (HR Ibnu Majah)
Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini: Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR Tirmidzi)
Namun yang menarik ialah ditemukannya hadits yang secara khusus mengungkapkan haramnya durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini tidak kita temukan dalam kaitan dengan larangan berlaku durhaka kepada sang ayah. Sudah barang tentu ini tidak berarti bahwa berlaku durhaka kepada fihak ayah dibenarkan. Yang jelas dengan adanya larangan khusus berlaku durhaka kepada fihak ibu cuma menunjukkan betapa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi martabat ibu. Bersabda Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam: “Allah melarang kalian durhaka kepada ibu kalian.”(HR Bukhary)
Dalam hadits lain kita juga dapati bagaimana Islam menyuruh menghormati ibu sekalipun ia bukan orang beriman seperti hadits yang diriwayatkan oleh Asma puteri sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq berikut ini: Asma binti Abu Bakar berkata: “Telah datang kepadaku ibuku dan dia seorang wanita musyrik di zaman Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam. Maka aku datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam meminta fatwa beliau. Aku bertanya kepada beliau: “Telah datang kepadaku ibuku sedangkan ia punya suatu keperluan. Apakah aku penuhi permintaan ibuku itu?” Maka Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Iya, penuhilah permintaan ibumu itu.” (HR Bukhary)
Mengapa kaum ibu sedemikian diutamakan?
Karena mereka adalah fihak yang sejak masih mengandung anak saja sudah merasakan beban memikul tanggung-jawab membesarkan anak-anaknya. Mereka adalah pendamping, penyayang, pengasuh dan pengajar pertama dan utama bagi seorang anak. Ibu adalah fihak yang paling banyak direpotkan oleh anak semenjak mereka masih kecil. Begitu lahir anak menuntut air susu ibunya. Keinginan minum ASI seringkali tidak pandang waktu. Bisa jadi seorang ibu di tengah malam “terpaksa” bangun mengorbankan waktu istirahatnya demi menyusui buah hatinya.
Seorang ibu juga direpotkan ketika anaknya ngompol dan buang air besar. Ibulah yang biasanya harus mencebok dan membersihkan anaknya. Semakin ikhlas seorang ibu mengerjakan semua aktifitas tadi maka semakin melekatlah si anak kepada dirinya. Di balik segala kerepotan tadi sesungguhnya terjalinlah ikatan hati yang semakin kokoh antara ibu dan anak. Itulah sebabnya ketika seseorang sudah dewasa sekalipun, tatkala dalam kesepian tidak jarang rasa rindu akan belaian tangan ibunya yang penuh kasih sayang terkenang kembali.
Dalam pepatah Arab ada ungkapan berbunyi Al-Ummu madrasah (ibu adalah sekolah). Benar, saudaraku. Seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi setiap anak. Ibulah yang pertama kali mengajarkan banyak pelajaran awal tentang kehidupan kepada anak. Apalagi di zaman penuh fitnah seperti sekarang dimana al-ghazwu al-fikri (perang pemikiran/ perang budaya/ perang ideologi) datang menyerbu rumah-rumah kaum muslimin. Serbuan itu datang dari berbagai penjuru. Bisa dari televisi, internet, facebook, buku bacaan, komik, majalah, nyanyian, musik, pergaulan bahkan dari sekolah formal…! Maka kehadiran seorang ibu yang memiliki wawasan pengetahuan luas menjadi laksana penjaga benteng terakhir bagi anak-anaknya. Ibulah yang bertugas membentengi, memfilter dan mengarahkan anak-anak menghadapi berbagai serbuan perang budaya tadi.
Di masa kita dewasa ini saat mana faham ateisme, materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme begitu dominan mewarnai kehidupan masyarakat dunia, maka kehadiran seorang ibu sendirian mendampingi anak-anaknya kadang dirasa kurang memadai. Sehingga kerjasama antara ayah-mukmin dan ibu-mukminah sangat diperlukan. Dalam dunia modern anak-anak kita sangat perlu pengarahan yang sangat kokoh dan kompak dari kedua orang-tuanya sekaligus untuk meng-counter serangan musuh-musuh Islam yang pengaruh buruknya semakin hari semakin hegemonik.
Betapapun, seorang ayah tidak mungkin diharapkan untuk terus-menerus berada di rumah karena tuntutan mencari ma’isyah (penghasilan) bagi anak-isterinya. Oleh karenanya kehadiran dan keaktifan peran seorang ibu di rumah mendampingi anak-anaknya menjadi sangat strategis. Oleh karenanya Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam menyetarakan hadir dan aktifnya seorang ibu mendampingi anak-anaknya di rumah dengan aktifitas jihad fi sabilillah yang dilakukan oleh kaum pria di medan perang menghadapi musuh-musuh Allah.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Kaum wanita datang menghadap Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bertanya: “Ya Rasulullah, kaum pria telah pergi dengan keutamaan dan jihad di jalan Allah. Adakah perbuatan bagi kami yang dapat menyamai ‘amal para mujahidin di jalan Allah?” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda : “Barang siapa di antara kalian berdiam diri di rumahnya maka sesungguhnya ia telah menyamai ‘amal para mujahidin di jalan Allah” (HR Al-Bazzar)
  1. Qiwamah dalam Ranah Keluarga
Selama ini pandangan yang lebih umum mengenai relasi suami istri adalah bahwa kepala keluarga haruslah laki-laki. Pandangan seperti itu diyakini sebagai suatu prosedur normatif yang berlaku dalam semua situasi dan kondisi apapun. Ironisnya pendapat semacam ini pun terus dipertahankan oleh sebagian kaum perempuan sendiri, tidak peduli apakah mereka orang-orang yang berpendidikan sederhana maupun berpendidikan tinggi. Sulit sekali ditemukan pendapat bahwa perempuan bisa dan layak juga menjadi kepala keluarga. Perempuan selalu diposisikan atau memposisikan dirinya sebagai orang yang dikepalai, diatur, dikendalikan, diarahkan dan mengikuti perintah laki-laki/suami. Di Indonesia, posisi suami dan istri seperti ini dikukuhkan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Pasal 79 KHI menyebutkan : “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Pasal 80 menyatakan :”Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya. Akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami-istri bersama”.  Jika konstruksi semacam ini yang dipertahankan, maka selama itulah perempuan rentan diperlakukan tidak adil oleh suami.
Pada hakikatnya kepemimpinan yang menjelma dalam ranah keluarga adalah soal artikulasi relasi antara suami-istri, laki-laki dan perempuan, yang berusaha menjalin hidup berkeluarga penuh kasih sayang dan saling mencintai. Keharmonisan dalam keluarga menuntut adanya sikap saling tolong-menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan. Kebaikan sebuah keluarga akan tercapai jika kepemimpinan berada di tangan orang yang memiliki kompetensi (kelebihan), tanpa membedakan perbedaan jenis kelamin. Perempuan yang diberi anugerah kekayaan, pendidikan, ataupun kadar intelektual akan menjadi partner yang baik bagi suami yang kebetulan tidak memiliki anugerah tersebut.
Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang menghormati adanya distribusi peran yang adil dan tidak merendahkan istri. Suami bisa jadi memiliki kekuasaan dalam kekayaan, pendidikan, budi pekerti dan kemampuan membimbing, demikian juga sebaliknya bahwa istri bisa jadi memiliki kekuasaan tersebut. Karena pebedaan laki-laki dan perempuan bukanlah perbedaan hakiki tetapi fungsional. Jika seorang istri di bidang ekonomi dapat survive sendiri, baik berasal dari warisan atau usaha sendiri, dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka posisi suami sebagai nahkoda dalam keluarga bisa diambil alih oleh istrinya.
Produk pemahaman ahli fikih sejauh ini memang jarang yang menekankan bahwa perempuan (istri) adalah sekutu dekat bagi laki-laki (suami). Selalu saja terjadi upaya domestikasi perempuan, sang suami bekerja di luar rumah, sementara sang istri bekerja di rumah, mendidik anak dan pekerjaan rumah lainnya. Tentu saja pada hakikatnya istri bekerja lebih banyak dibanding suami, apalagi jika sang istri seorang pekerja profesional. Ini adalah beban ganda yang harus ditanggung perempuan, memberikan pengasuhan yang tak dibayar dalam pekerjaan rumah tangga, serta beban memberikan kelangsungan hidup perekonomian melalui kerja upahan.  Dengan demikian, yang terpenting selanjutnya adalah bagaimana distribusi peran dalam keluarga itu berjalan dengan kesepakatan yang baik tanpa menindas pihak perempuan.
Karena Al-quran sendiri menyebutkan tujuan perkawinan adalah membangun mahligai rumah tangga yang damai dan sejantera, seperti dalam ayat: “Di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan adalah bahwa Dia telah menciptakan pasangan bagi kamu dari bahan yang sama agar kamu menjadi tenteram bersamanya. Dia menjadikan kamu berdua saling menjalin cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Itu adalah pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang berfikir”. (Q.S. al-Rum, 30: 21). Jika diperhatikan, ada tiga kata kunci bagi sebuah perkawinan yang diharapkan ayat tersebut. Pertama, kata “litaskunu ilaiha”. Secara umum kata ini diterjemahkan: “agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya”. Ini memberi arti bahwa perkawinan dimaksudkan sebagai wahana di mana orang-orang yang ada di dalamnya terlindungi dan dapat menjalani hidup dengan penuh kedamaian dan aman. Kedua, adalah “mawaddah”. Yang bisa berarti mahabbah (cinta), al-nashihah (nasihat), dan, al-shilah (hubungan yang kuat). Dari sini bisa diartikan perkawinan merupakan ikatan yang dapat melahirkan hubungan saling mencintai, saling menasehati dan saling menghargai satu atas yang lain tanpa adanya tindakan dan ucapan saling menyakiti. Ketiga, adalah “rahmah”. Ini bisa berarti “kasih sayang” yang mendalam dan bersifat batin atau dengan setulus hati.
  1. Peranan Perempuan Sebagai Istri Dalam Pandangan Islam
Rasulullah saw. bersabda : ” Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah perempuan yang sholehah”.
Di dalam Islam, peranan seorang istri sangat penting dalam kehidupan berumah tangga, yang mana seorang istri membahagiakan suaminya untuk mendapatkan keridho’an dari Allah. Untuk itu kualitas seorang istri seharusnya memenuhi sebagaimana yang disenangi oleh pencipta-Nya yang tersurat dalam surat Al-Ahzab, yakni, seorang perempuan muslimah yang benar (dalam aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami tidak ada di rumah, mempertahankan keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah dan senang serta mengajak untuk senantiasa ada dalam pujian Allah. Ketika seorang perempuan muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia harus mengerti bahwa dia memiliki peranan yang khusus dan pertanggung-jawaban dalam Islam kepada pencipta-Nya. Karenanya, seorang istri akan membantu suaminya untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah (hukum Islam) dan memastikan suaminya untuk kembali melaksanakan kewajiban-kewajibannya, sebagaimana suaminya memenuhi kewajiban terhadapnya.
Seorang istri memiliki hak untuk Nafaqah (diberi nafkah) yang berupa makanan, pakaian dan tempat untuk berlindung yang didapatkan dari suaminya. Dia (suami) berkewajiban membelanjakan hartanya untuk itu walaupun jika istri memiliki harta sendiri untuk memenuhinya. RAsulullah saw. Bersabda :
” Istrimu memiliki hak atas kamu bahwa kamu mencukupi mereka dengan makanan, pakaian dan tempat berlindung dengan cara yang baik.” (HR. Muslim)
Ini adalah penting untuk dicatat bahwa ketika seorang istri menunaikan kewajiban terhadap suaminya, dia (istri) talah melakukan kepatuhan terhadap pencipta-Nya, karenanya dia mendapatkan pahala dari Allah. Aisyah r.a. suatu kali meriwayatkan tentang kebaikan kualitas Zainab ra, istri ketujuh dari Rasulullah saw. ;
”Zainab adalah seseorang yang kedudukannya hampir sama kedudukannya denganku dalam pandangan Rasulullah dan aku belum pernah melihat seorang perempuan yang lebih terdepan kesholehannya daripada Zainab r.a., lebih dalam kebaikannya, lebih dalam kebenarannya, lebih dalam pertalian darahnya, lebih dalam kedermawanannya dan pengorbanannya dalam hidup serta mempunyai hati yang lebih lembut, itulah yang menyebabkan ia lebih dekat kepada Allah”.
Abu Nu’aim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
“ Ketika seorang wanita menunaikan sholat 5 waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan mematuhi suaminya, maka dia akan masuk surga dengan beberapa pintu yang dia inginkan”. (Al Bukhori).
Dalam memilih isteri, Islam mengajarkan kepada kaum lelaki muslim untuk memperhatikan dua hal esensial, yaitu:
1.         silsilah keturunan calon isteri, dan
2.         lingkungan tempat perempuan itu hidup, berikut sejauh mana lingkungan tersebut berpengaruh pada kepribadiannya.
Rasulullah menganjurkan untuk memilih isteri dari keluarga yang memiliki sifat-sifat terpuji, karena keluarga yang baik akan membentuk karakter yang baik pula pada diri perempuan tersebut. Rasulullah bersabda:
"Pandai-pandailah memilih calon isteri karena saudara isteri akan menurunkan sifat dan karakternya pada anak kalian, dan pilihlah dengan benar perempuan yang akan mengandung anakmu karena unsur keturunan sangat berpengaruh pada anak.”
Islam juga menekankan memilih isteri dari lingkungan sosial yang bersih, karena lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada perempuan tersebut, sebaliknya, Islam melarang kaum lelaki memilih isteri dari lingkungan yang buruk. Dalam hadis disebutkan, Rasul melarang untuk mempersunting perempuan cantik yang hidup di lingkungan yang sesat. Beliau bersabda:
“Berhati-hatilah terhadap wanita cantik yang hidup di lingkungan yang tidak baik.”
Islam juga melarang laki-laki menikahi perempuan pezina. Sabda Nabi :
“Jangan sekalipun kalian menikahi perempuan yang terang-terangan berzina, juga perempuan yang tidak sehat secara mental dan psikologis, sebab dikhawatirkan anak yang akan dilahirkannya akan mewarisi kegilaan ibunya”.
Ketika Rasul Saw ditanya, perihal menikahi perempuan yang cacat mental, beliau menjawab: Jangan!
Ali bin Abi Thalib mengingatkan kepada para pria Muslim untuk tidak menikahi perempuan dungu, karena dikhawatirkan anak yang bakal dilahirkannya akan mewarisi kedunguannya, selain itu, perempuan dungu tidak akan mampu mendidik anak dengan baik dan benar. Ali Ra berujar :
Jangan sekalipun kalian mengawini perempuan dungu karena bergaul dengan perempuan seperti itu merupakan petaka bagi seseorang dan anak yang dilahirkan bakal tidak berguna.”
Tatkala salah seorang sahabat berkonsultasi kepada Rasul Saw perihal kriteria dasar calon istri, beliau menjawab tegas :
“Nilai keimanan dan loyalitas keagamaan harus dijadikan acuan utama memilih pendamping hidup. “
Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa suatu hari, seseorang datang menemui Rasul dan meminta nasehat darinya tentang perkawinan. Rasul saw bersabda:
“Pilihlah perempuan yang loyal kepada agamanya, niscaya engkau akan bahagia” (HR Muslim).
Memilih pesangan hidup harus memprioritaskan masalah agama di atas harta dan kecantikannya, Rasul mengingatkan :
“Jika lelaki mengawini seorang perempuan karena kecantikan atau hartanya, ia tidak bakal mendapatkan apa yang ia cari itu, tetapi bila ia mengawininya karena agamanya, Allah pasti akan memberinya kecantikan dan harta” (HR Turmudzi).
Seorang pria harus memilih perempuan salehah dan dari klan keluarga baik-baik untuk pendamping hidupnya, sebab perempuan yang berasal dari keturunan yang baik dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang beriman, akan menjadi perempuan yang taat beragama. Perempuan seperti inilah yang kelak jika bersuami dapat mendidik anak-anaknya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Para pria yang hendak menyunting perempuan untuk pendamping hidupnya, hendaknya menentukan pilihannya kepada perempuan yang bisa mengantarkannya atau menjadi mitra hidupnya, untuk meraih kebahahiaan abadi di negeri akhirat (surga Allah), sebagaimana pitutur Rasul Saw:
Jika perempuan salat lima waktu, berpuasa, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya, maka kelak akan dikatakan kepadanya:‘Masuklah ke dalam surga dari pintu surga mana saja yang kamu sukai’ (HR Ibnu Hibban dan Thabrani).
Sebaliknya, hendaknya para lelaki tidak menikahi wanita jahat. Dalam hadist ;
“Kejahatan seorang perempuan jahat adalah seperti jahatnya seribu orang jahat dari kaum lelaki. Kebaikan seorang perempuan yang salehah adalah sepadan dengan amal saleh tujuh puluh orang-orang shiddiqin.”
Dalam sebuah riwayat ditandaskan, Rasul Saw bersabda tentang wanita yang digaransi (dijamin) masuk surga, yaitu:
1.        Wanita yang memelihara dirinya, taat kepada Allah dan suami, subur (bisa mempunyai anak) serta sabar;
2.        Menerima apa yang ada—pemberian suami—walaupun sedikit, dan bersifat pemalu ;
3.        Jika suaminya pergi, ia menjaga dirinya dan harta suaminya ;
4.        Perempuan yang ditinggal mati suaminya, sedangkan ia mempunyai anak yang masih kecil-kecil lalu ia menahan dirinya, memelihara dan mendidik anak-anaknya, serta berbuat baik terhadap mereka dan tidak mau nikah lagi karena takut menyia-siakan mereka.
Rasul juga mewartakan tentang perempuan yang kelak menjadi penghuni neraka, yaitu :
a.         Perempuan yang jelek lisannya terhadap suami, jika suaminya pergi, ia tidak menjaga dirinya. Jika suaminya di rumah, ia menyakiti suaminya dengan ucapannya ;
b.         Perempuan yang membebani suami (dengan tuntutan) yang suami tidak mampu melakukannya ;
c.         Perempuan yang tidak menutup dirinya dari lelaki lain dan ia keluar dari rumahnya dengan berhias;
d.        Perempuan yang sama sekali tidak memiliki keinginan kecuali makan, minum, dan tidur. Ia tidak memiliki gairah untuk mengerjakan salat, untuk mentaati Allah Azza wa Jalla, mentaati Rasul, serta tidak mentaati suaminya. Maka jika ada perempuan memiliki sifat-sifat tersebut, ia adalah  perempuan terlaknat, serta bakal menjadi penghuni neraka Allah, kecuali jika ia bertaubat.
  1. Muslimah Bekerja Dalam Pandangan Islam
Dewasa ini tampak semakin banyak perempuan yang beraktivitas di luar rumah untuk bekerja. Ada yang beralasan mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Anehnya banyak pula para perempuan yang mengeluh ketika harus menghadapi ketidak layakan perlakuan, seperti ; cuti hamil yang terlalu singkat (hak reproduksi kurang layak), shift lembur siang-malam, sampai pelecehan seksual.
Allah telah menciptakan pria dan wanita sama, ditinjau dari sisi insaniahnya (kemanusiaannya). Artinya keduanya diciptakan memiliki cirri khas kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Keduanya dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal. Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap pria dan wanita apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban sholat, shoum, zakt, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada pria dan wanita tanpa ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya, semata-mata karena sifat kemanusiaan yag ada pda keduanya, tanpa melihat seseorang itu pria maupun wanita.
Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (pria saja atau wanita saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara pria dan wanita. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada pria, karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab pria. Dengan demikian perempuan tidak terbebani tugas (kewajiban) mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.  Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah perempuan tersebut kepada Daulah (Baitul Maal), jadi bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja. Sekalipun perempuan telah dijamin nafkahnya melalui pihak lain (suami atau wali), bukan berarti Islam tidak membolehkannya bekerja untuk mendapatkan harta/ uang  sendiri, bahkan ia pun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt berfirman :
“… Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (Qs An Nisa 32).
Hanya saja perempuan harus tetap terikat dengan ketentuan Allah (hukum syara’) yang lain ketika ia bekerja. Artinya ia tidak boleh menghalalkan segala cara dan segala kondisi dalam bekerja, juga tidak boleh meninggalkan kewajiban apapun yang dibebankan kepadanya dengan alasan waktunya sudah habis untuk bekerja atau dia sudah capek bekerja sehingga tidak mampu lagi untuk mengerjakan yang lain. Justru ia harus lebih memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya daripada bekerja, karena hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah, karena apabila seorang mukmin/ muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) kepada Allah. Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti mengenakan jilbab jika kelaur rumah, sholat lima waktu dan lain-lain.
Perlu disadari bahwa ketika Allah Swt menjadikan tugas pokok sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, Dia juga telah menetapkan seperangkat syariat agar tugas pokok ini terlaksana dengan baik, sebab terlaksananya tugas ini akan menjamin lestarinya generasi manusia serta terwujudnya ketenangan hidup individu dalam keluarganya, sebaliknya bila tugas pokok baginya tidak terlaksana dengan baik, tentu akan mengakibatkan punahnya generasi manusia dan kacaunya kehidupan keluarga.
Seperangkat syariat yang menjamin terlaksanya tugas pokok perempuan ada yang berupa rincian hak dan kewajiban yang harus dijalankan wanita (seperti wajib memelihara kehidupan janin yang dikandungnya, haram menggugurkannya kecuali alasan syar’i, wajib mengasuh bayinya, menyusuinya sampai mampu mandiri dan mengurus dirinya), ada pula yang berupa keringanan bagi wanita untuk melaksanakan kewajiban lain (seperti tidak wajib sholat selama waktu haid dan nifas), boleh berbuka puasa pada bulan Ramadlan (ketika haid, hamil, nifas dan menyusui). Kemudian ada pula yang berupa penerimaan hak dari pihak lain (seperti nafkah dari suami/ wali). Semua ini bisa terlaksana apabila terjadi kerjasama antara pria dan perempuan  dalam menjalani kehidupan ini, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara fungsi reproduksi perempuan dengan produktivitasnya ketika ia bekerja. Karena semua ini tergantung pada prioritas peran yang dijalaninya. Munculnya pertentangan ini disebabkan tidak adanya penetapan prioritas tersebut.
Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu hal yang fitri, namun manusia tidak boleh dibiarkan begitu saja menentukan sendiri bagaimana cara memperoleh kekayaan tersebut, sebab bisa jadi manusia berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan hak orang lain. Bila ini yang terjadi, bisa menyebabkan gejolak dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat, bahkan bisa mengakibatkan kerusakan dan nestapa. Padahal semua manusia memiliki hak untuk menikmati seluruh kekayaan yang telah diciptakan Allah di bumi ini. Oleh karena itu Allah telah menetapkan beberapa cara yang boleh bagi manusia untuk memperoleh (memiliki) kekayaan/ harta. Antara lain dengan “bekerja”. Ini berlaku bagi pria dan wanita, karena wanita tidak dilarang untuk memiliki harta.
Tatkala bekerja itu memiliki wujud yang luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya beragam dan hasilnya berbeda-beda, maka Allah Swt pun telah menetapkan jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebab kepemilikan harta. Salah satu diantaranya adalah ‘ijaroh’ (kontrak tenaga kerja).
Apabila kita telaan secara mendalam, hukum-hukum yang berkaitan dengan ijaroh bersifat umum, berlaku bagi pria maupun wanita. Maksudnya wanita pun boleh melakukan ijaroh, baik ia sebagai ajir (orang yang diupah atas jasa yang disumbangkannya) maupun sebagai musta’jir (orang yang memberi upah kepada orang yang memberinya jasa).
Transaksi ijaroh hanya boleh dilakukan terhadap pekerjaan yang halal bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi pekerjaan-pekerjaan yang haram. Oleh karena itu, transaksi ijaroh boleh dilakukan dalam urusan perdagangan, pertanian, industri, pelayanan, guru (pengajaran), perwakilan dan perantara bagi dua orang yang bersengketa (peradilan). Demikian pula pekerjaan lain seperti menggali sumber alam dan membuat pondasi bangunan ; mengemudikan mobil ; kereta, kapal, pesawat ; menvetak buku ; menerbitkan Koran dan majalah, menjahit baju, termasuk dalam kategori ijaroh. Semua pekerjaan tersebut boleh dilakukan oleh wanita sebagaimana pria, karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal dilakukan oleh setiap muslim. Dengan demikian boleh pula bagi wanita bekerja mengambil upah dari semua jenis pekerjaan di atas. Namun bagi wanita harus tetap memperhatikan beberapa hukum lain yang harus diikutinya ketika ia memutuskan untuk bekerja, sehingga ia bisa memastikan bahwa semua perbuatan yang dilakukannya tidak ada yang melanggar ketentuan Allah (hukum syara’).
Apabila setiap muslim yang bekerja (termasuk buruh wanita) untuk memperoleh upah/ gaji sejak awal bersikap demikian, berarti ia telah menempatkan diri pada posisi tawar yang tinggi, sehingga kelayakan kerja bisa dipastikan sejak awal (sebelum melakukan aqad). Dengan demikian majikan tidak bisa berbuat seenaknya kepada buruh, bahkan majikan akan menyesuaikan dengan keinginan buruh, sebab tanpa jasa buruh, usahanya tidak dapat berjalan. Dengan demikian para buruh wanita tidak akan terjerumus pada polemik berkepanjangan dalam ketidak layakan kerja.
Tatkala wanita bekerja, selain harus menentukan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya dihalalkan oleh syara’, ia pun harus memastikan bahwa situasi bekerjanya sesuai dengan ketentuan syara’. Apabila dalam melakukan pekerjaan tersebut mengharuskan wanita bertemu dengan pria, maka wanita pun harus terikat dengan ketentuan syara’ yang berkaitan dengan interaksi antara pria dan wanita dalam kehidupan umum (bermasyarakat). Artinya ia tidak boleh bercampur baur begitu saja dengan lawan jenisnya tanpa aturan. Oleh karena itu harus difahami bahwa interaksi dalam kehidupan masyarakat antara pria dan wanita (termasuk dalam system kerja) tidak lain adalah hanya untuk saling ta’awwun (tolong menolong). Interaksi kerja ini harus dijauhkan dari pemikiran tentang hubungan jinsiyah (seksual). Sehingga ketika bekerja pun bukan dalam rangka memanfaatkan potensi kewanitaan (kecantikan, bentuk tubuh, kelemahlembutan dan lain-lain) untuk menarik perhatian lawan jenis. Bekerjanya wanita haruslah karena skill/ kemampuannya yang dimiliki oleh wanita sesuai dengan bidangnya.
Pengaturan sistem interaksi ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi tindak pelecehan seksual pada wanita saat ia bekerja. Islam sejak awal telah menjaga agar kehormatan wanita senantiasa terjaga ketika ia menjalankan tugas-tugasnya dalam kehidupan bemasyarakat. Adapun tentang pengaturan system interaksi pria dan wanita, Islam telah menetapkannya dalam sekumpulan hukum, diantaranya :
  1. Diperintahkan kepada pria maupun wanita untuk menjaga/ menundukkan pandangannya, yaitu : Menahan diri dari melihat lawan jenis disertai dengan syahwat sekalipun yang dilihat itu bukan aurat dan dari melihat aurat lawan jenis sekalipun tidak disertai syahwat misalnya melihat rambut wanita. Firman Allah dalam QS An Nur 31 ; “Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya”.
  2. Diperintahkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian sempurna ketika keluar rumah (termasuk ketika bekerja di luar rumahnya) yaitu dengan jilbab dan kerudung (QS 24 : 31 dan QS 33 : 59) ;
“… dan hendaklah mereka menutupkan khimar (kain kerudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…” (QS 24 : 31).
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS 33 : 59).
Yang dimaksud dengan khimar adalah kain yang menutup rambut kepala hingga menutup bukaan baju (dada). Sedangkan jilbab adalah pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah yang menjulur dari atas hingga ke bawah, menutupi kedua kaki.
  1. Dilarang berkhalwat pria dan wanita. Sabda Rasulullah ; “tidak boleh berkhalwat laki-laki dan perempuan kecuali bersama perempuan itu ada mahram”
  2. Dilarang perempuan bertabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan untuk menarik perhatian pria yang bukan mahromnya). Sabda Rasulullah ; “barang siapa perempuan yang memakai wangi-wangian, kemudian lewat di depan laki-laki, hingga tercium wanginya,maka dia seperti pezina (dosanya seperti pezina)”.
  3. Dilarang perempuan melibatkan diri dalam aktivitas yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi kewanitaannya, misalkan ;  pramugari, foto model, artis, dsb.
  4. Dilarang perempuan untuk melakukan perjalanan sehari semalam tanpa mahram.
    Sabda Rasulullah ; “Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”.
  5. Dilarang perempuan bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita.
Demikianlah Islam mengatur sistem interaksi pria dan wanita. Semua tidak lain untuk menjaga izzah (kehormatan) wanita dan menjaga ketinggian iffah kaum muslimin.
Dewasa ini banyak perempuan (termasuk para muslimah yang terjun ke dunia kerja), walaupun upah yang mereka terima lebih rendah dan perlakuan yang mereka terima juga tidak layak, namun dari hari ke hari jumlah tenaga kerja wanita (buruh) ini semakin meningkat. Keadaan ini memang tidak terlepas dari kondisi sistem yang mereka hadapi. Dominasi alam Kapitalis ataupun sosialis menciptakan situasi sulit bagi para buruh wanita (masyarakat secara umum).
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan, antara lain :[26][10]
1.        Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay –istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
2.        Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya: “Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).”
3.        Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Al-Syifa’, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikut sertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digaris bawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum perempuan, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-’Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.
M.   Hukum Wanita Karier
Ada berbagai pendapat mengenai hukum wanita karier ini yang semuanya berdasarkan alasan tersendiri, diantaranya:
1.         Melarang Wanita menjadi Wanita Karier
Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, pada dasarnya hukum karier wanita di luar rumah adalah terlarang, karena dengan bekerja diluar rumah maka akan ada banyak kewajiban dia yang harus ditinggalkan. Misalnya  melayani keperluan  suami, mengurusi dan mendidik anak serta hal lainnya yang menjadi tugas dan kewajiban seorang istri dan ibu. Padahal semua kewajiban ini sangat melelahkan yang membutuhkan perhatian khusus. Semua kewajiban ini tidak mungkin terpenuhi kecuali kalau seorang wanita tersebut memberi perhatian khusus padanya.
Larangan ini didasarkan bahwa suami diwajibkan untuk membimbing istrinya pada jalan kebaikan sedang istri diwajibkan mentaatinya. Begitu pula dengan hal dunia laki-laki dan wanita, maka islam menjadikan laki-laki diluar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sebagaimana sabda Rasululloh :
ولهن عليكم رزقهن و كسوتهن بالمعروف
“Dan hak para istri atas kalian (suami) agar kalian memberi mereka nafkah  dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”
Disisi lainnya, tempat wanita dijadikan di dalam rumah untuk mengurusi anak, mendidiknya, mempersiapkan keperluan suami serta urusan rumah tangga dan lainnya.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sabdanya yang mulia :
 والمرأة راعية  في بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها
“Dan wanita adalah pemimpin dirumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.”
2.         Memperbolehkan Wanita Berkarier Di luar Rumah.
Jika memang ada sesuatu yang sangat mendesak untuk berkariernya wanita diluar rumah maka hal ini diperbolehkan. Namun harus dipahami bahwa sebuah kebutuhan yang mendesak ini harus ditentukan dengan kadarnya yang sesuai sebagaimana sebuah kaidah fiqhiyah yang masyhur. Dan kebutuhan yang mendesak ini misalnya :
a.       Rumah tangga memerlukan kebutuhan pokok yang mengharuskan wanita bekerja.
Misalnya karena suaminya atau orang tuanya meninggal dunia atau keluarganya sudah tidak bisa memberi nafkah karena sakit atau lainnya, sedangkan negara tidak memberikan jaminan pada keluarga semacam mereka. Lihatlah kisah yang difirmankan Allah dalam surat Al Qoshosh 23 dan 25 :
$£Js9ur yŠuur uä!$tB šútïôtB yy`ur Ïmøn=tã Zp¨Bé& šÆÏiB Ĩ$¨Y9$# šcqà)ó¡o yy_urur `ÏB ãNÎgÏRrߊ Èû÷üs?r&tøB$# Èb#yŠräs? ( tA$s% $tB $yJä3ç7ôÜyz ( $tGs9$s% Ÿw Å+ó¡nS 4Ó®Lym uÏóÁムâä!$tãÌh9$# ( $tRqç/r&ur Óøx© ׎Î7Ÿ2 ÇËÌÈ
4s+|¡sù $yJßgs9 ¢OèO #¯<uqs? n<Î) Èe@Ïjà9$# tA$s)sù Éb>u ÎoTÎ) !$yJÏ9 |Mø9tRr& ¥n<Î) ô`ÏB 9Žöyz ׎É)sù ÇËÍÈ
çmø?uä!$mgmú $yJßg1y÷nÎ) ÓÅ´ôJs? n?tã &ä!$uŠósÏFó$# ôMs9$s% žcÎ) Î1r& x8qããôtƒ štƒÌôfuÏ9 tô_r& $tB |Møs)y $oYs9 4 $£Jn=sù ¼çnuä!$y_ ¡Ès%ur Ïmøn=tã }È|Ás)ø9$# tA$s% Ÿw ô#ys? ( |NöqpgwU šÆÏB ÏQöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇËÎÈ
“Dan tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternaknya, dan ia menjumpai dibelakang orang yang banyak itu dua orang wanita yang sedang menambat ternaknya.
Musa berkata : “Apa maksud kalian berbuat  demikian ?”
Kedua wanita itu menjawab : “Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-pengembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami adalah orang tua yang telah berumur lanjut, Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya.
Kemudian ia kembali ketempat yang teduh lalu berdo’a : “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.
Kemudian datang kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu, berjalan dengan penuh rasa malu, ia berkata : “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu  untuk memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya). Syu’aib berkata:”Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang dzalim itu”.
Perhatikanlah perkataan kedua wanita tadi : “Sedang bapak kami adalah orang tua yang telah berumur lanjut.” Ini menunjukkan bahwa keduanya melakukan perbuatan tersebut karena terpaksa, disebabkan orang tuanya sudah lanjut dan tidak bisa melaksanakan tugas tersebut.
b.      Tenaga wanita tersebut dibutuhkan oleh masyarakat dan pekerjaan tersebut tidak bisa dilakukan oleh laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa di zaman Rosulullah ada para wanita yang bertugas membantu kelahiran, semacam dukun bayi atau bidan pada saat ini. Juga saat itu ada wanita yang mengkhitan anak-anak wanita. Dan yang dhohir bahwa perkerjaan ini mereka lakukan diluar rumah. Pada zaman ini bisa ditambahkan yaitu dokter wanita spesialis kandungan, perawat saat bersalin, tenaga pengajar yang khusus mengajar wanita dan yang sejenisnya.
Diantara pekerjaan wanita yang ada pada zaman Rosululloh adalah apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita anshor, maka mereka memberi minum dan mengobati orang yang terluka.”[27]
Disamping itu sejarah mencatat, beberapa wanita yang menjadi istri Rasulullah saw juga menjadi wanita karier, yaitu Siti Khadijah dan Siti Aisyah.
Kalau kita mengkaji ajaran Islam, maka kita menemukan bahwasanya Islam dengan segala konsepnya yang universal selalu memberikan motivasi-motivasi terhadap laki-laki dan perempuan untuk meng aktualisasi diri secara aktif, antara lain disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 97:
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanyakehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Ayat di atas secara terang benderang memberikan keleluasaan kepada laki-laki dan permpuan untuk aktif dalam berbagai kegiatan. Bukan hanya laki-laki yang diberi keleluasaan untuk berkarier, tetapi juga kaum perempuan dituntut untuk aktif bekerja dalam semua lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kodratnya. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berkarier, yang membedakan hanyalah jenis pekerjaan yang disesuaikan dengan kodrat masing-masing. Jadi, Islam mengakui kemajuan atau potensi perempuan untuk bekerja dan menghargai amal salehnya atau kariernya yang baik dengan memberi penghargaan yang sama dengan kaum laki-laki.
Menurut ajaran Islam, apapun peranan yang dipegang oleh perempuan, utamanya sebagai ibu rumah tangga tidak boleh dilupakan, agar kemungkinan-kemungkinan timbulnya ekses negatif dapat terhindar. Jadi, perhatian serius dari perempuan untuk membina keluarganya sangat diperlukan karena tugas tersebut merupakan terpenting dari usaha pembinaan masyarakat secara luas. Tegak dan runtuhnya masyarakat suatu negara sangat erat kaitannyadengan keadaan satuan-satuan keluarga secara totalitas membentuk masyarakat suatu negara. Islam membolehkan perempuan bekerja di luar rumah selagi perempuan bisa menempatkan dirinya sesuai dengan kodrat keperempuannya.[28]  
  1. Peranan Perempuan Muslimah Dalam Kehidupan Sosial
Interaksi antara pria dan wanita ternyata dalam Islam bukanlah sesuatu yang dilarang, karena interaksi tersebut sudah terjadi sebelum masa Nabi SAW. Rasulullah  bersabda, “Kaum wanita adalah saudara kandung kaum pria”.  Hal ini mengandung arti bahwa kaum perempuan haruslah ikut serta dalam berbagai lapangan kehidupan.
Sebagaimana diketahui, lapangan kehidupan tidak terlepas dari keberadaan kaum laki-laki, bahkan peranan penting dalam masyarakat didominasi oleh kaum pria, namun Allah tidak menghalangi perempuan bertemu dan berinteraksi dengan kaum pria dan sebaliknya, berbicara, bertukar pikiran, atau bekerjasama untuk suatu pekerjaan tidak dihalangi sepanjang tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan agama. 
Kebebasan perempuan dengan segala konsekwensinya, seperti harus bertemu dengan pria merupakan pola yang sudah ditetapkan oleh syariat dan sunnah Rasulullah SAW.  Beliau sangat memahami peran perempuan dalam mempermudah dan membantu berbagai usaha kebaikan.  Penyalah gunaan kondisi tersebut sama artinya dengan mempersulit dan mempersempit ruang gerak perempuan sekaligus menghalanginya dari melakukan kebaikan serta memposisikan perempuan dalam bidang-bidang yang lemah. Namun kebebasan tersebut tidak lantas melalaikan mereka dari pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab terhadap rumah tangga dan anak-anaknya.    
  1. Qiwamah dalam Ranah Politik
Dalam sejarah kenabian tercatat sejumlah perempuan tangguh yang ikut memainkan peran-peran penting bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri Nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) Sukainah (cicit) adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas. Mereka sering terlibat dalam diskusi-diskusi tentang tema-tema sosial dan politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Sejumlah perempuan sahabat Nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al-Anshariyyah dan Rabi’ bint al-Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al-Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manager pasar di Madinah.
Konsep kepemimpinan perempuan dalam keluarga di atas juga bisa menjadi basis argumentasi bagaimana partisipasi perempuan dalam ruang publik (baik dalam ranah sosial dan politik) adalah suatu keniscayaan. Berbicara kepemimpinan adalah berbicara kualitas dan kapabelitas seseorang untuk memimpin, tidak terkait sama sekali dengan perbedaan kelamin perempuan atau laki-laki. Islam pada dasarnya adalah agama yang berdiri tegak pada spirit itu. Sikap misoginis yang lahir dari produk penafsiran para ulama terdahulu adalah bentuk reduksi dari spirit nilai keadilan dan kesetaraan dalam Al-qur’an. Karena memang prinsip dasar dalam Islam adalah kesetaraan total antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam dunia politik.
Sebagian peran perempuan Arab yang terekam dalam sejarah memang terlihat tidak signifikan. Mereka hanya sebagai petugas kesehatan waktu perang, pemeras susu kambing dan unta serta bekerja menyusui anak orang lain.  Aktivitas perempuan seperti ini hendaknya dipahami sebagai hasil interaksi dengan proses perkembangan sejarah, bukan dalih untuk menghambat partisipasi perempuan dalam jenis pekerjaan lainya. Artinya jika kemudian perempuan mampu menduduki peran-peran strategis yang dahulu hanya dimonopoli oleh laki-laki, maka siapapun tidak berhak untuk menghalanginya.
Keyakinan dominan masyarakat kita menyatakan bahwa pekerjaan perempuan harus dibatasi pada ruang domestik (di dalam rumah) sedangkan laki-laki pada ruang publik. Sebagian orang bahkan mempersempit kerja perempuan hanya dalam kerja mengasuh dan melayani suami. Tidak ada kewajiban lain bagi perempuan (istri) kecuali untuk fungsi-fungsi reproduksi, melayani suami, mengurus anak dan mengatur rumah. Ini karena anggapan masyarakat tadi yang menganggap bahwa watak dan karakter perempuan memang diciptakan Tuhan untuk kerja-kerja seperti itu. Yakni kerja-kerja yang membutuhkan sentuhan emosional, kelembutan, kesabaran, ketelitian dan sifat-sifat feminitas lainnya. Kerja perempuan di luar rumah dipandang sebagai penyimpangan karakter. Karena itulah pandangan umum juga seringkali menganggap hasil kerja dan keringat perempuan sebagai hasil tambahan atau sampingan belaka.
Biasanya, perempuan yang ingin mengaktualisasikan kemampuannya dalam ranah publik, akan berbenturan dengan dua hal. Pertama, bagi perempuan yang bersuami ia akan berhadapan dengan perizinan dari suaminya sekaligus konstruksi hukum fiqih yang belum memihak perempuan. Kedua, bagi perempuan yang belum bersuami akan berhadapan dengan persepsi masyarakat yang menganggap tidak lazim perempuan berkarir. Kedua faktor tersebut tentu sangat merugikan kaum perempuan yang memiliki kompetensi untuk berkontestasi dalam dunia sosialnya.
Ada sebagian kelompok yang menyatakan bahwa ada dua penghalang bagi perempuan untuk bekerja. Pertama, dunia kerja meniscayakan bercampurnya laki-laki dan perempuan. Pada hal Islam tidak melarang perempuan untuk berinteraksi dan bergaul dengan laki-laki, yang diperingatkan Islam adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan tanpa ada mahram dalam ruangan tertutup (khalwah). Kedua, terdapat sejumlah pekerjaan yang tingkat kesulitannya menjadikan perempuan sulit melakukanya (misalnya, pekerjaan kasar di pengeboran minyak, penambangan batu bara dan lain sebagainya). Memang ada sebagian pekerjaan yang tidak cocok dengan sifat feminitas perempuan. Fakta ini dapat dibenarkan, hanya saja yang berhak menentukan sendiri sebatas apa pekerjaannya dan bidang apa yang cocok dan tidak adalah pihak perempuan sendiri, bukan pihak laki-laki.
Al-qur’an pun dalam banyak ayat menegaskan bahwa kewajiban bekerja berlaku bagi manusia laki-laki dan perempuan. “Jika kamu selesai shalat, segeralah bertebaran di muka bumi untuk mencari anugerah Allah dan sering-seringlah mengingat Allah supaya kamu beruntung”(Q.S. al-Jumu’ah:10). Tuhan sama sekali tidak membedakan antara keduanya. Tuhan juga menegaskan kewajiban berbuat keadilan dan melarang tindakan yang bersifat eksploitatif terhadap orang lain. Al-qur’an juga mendesak kaum muslimin untuk tidak menahan hak orang lain (Q.S. 26 :183). Nabi pernah menyatakan : “Seorang buruh (laki-laki atau perempuan) berhak memperoleh makanan dan pakaian yang baik dengan ukuran yang moderat dan tidak dibebani dengan pekerjaan di luar kemampuannya”.
Islam tidak memberikan batasan-batasan ruang untuk kerja perempuan maupun laki-laki. Masing-masing bisa bekerja di dalam maupun di luar rumah dan dalam semua bidang yang baik yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup yang baik pula. Meski demikian, pandangan dan perlakuan sebagian besar masyarakat terhadap perempuan masih saja diskriminatif. Pekerjaan untuk perempuan lebih banyak pada bidang-bidang yang terkait dengan sifat feminin dan bias gender, yakni misalnya bidang yang membutuhkan kelembutan, kesabaran, ketelitian, ketekunan dan hal-hal lain yang diasosiasikan dan disosialisasikan sebagai sifat perempuan. Bentuk-bentuk kerja feminitas ini dianggap lebih rendah daripada bentuk kerja maskulin yang dicerminkan dalam wujud kecerdasan intelektual, kekuatan otot, keberanian, berfikir rasional dan sebagainya. Akibatnya adalah upah yang diterima perempuan lebih rendah dari upah laki-laki.
Sama halnya dalam dunia kerja, partisipasi perempuan dalam dunia politik adalah keniscayaan. Walaupun ada klaim bahwa politik itu dunianya laki-laki, karena politik adalah ranah publik yang penuh pertarungan dan intrik. Klaim tersebut memiliki pengaruh cukup kuat terhadap perilaku masyarakat yang menghambat partisipasi perempuan dalam dunia politik.  Padahal dalam rangka membebaskan perempuan dari belenggu sistem patriarkhis, Islam mengawalinya dengan memberikan hak-hak politik. Sebagai contoh, dalam bidang perlawanan frontal terhadap penguasa tiran, di sana ada Sumayyah. Khadijah istri Rasulullah saw adalah cerminan dari sosok wanita karir, dan Aisyah adalah sosok politisi  yang memperjuangkan Islam sesuai dengan tuntutan zaman itu.
Sebagian pihak yang menentang keterlibatan perempuan dalam politik berpegang pada hadis Nabi: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang telah menyerahkan urusanya kepada seorang perempuan”. Padahal hadis ini hanya merupakan tanggapan Nabi pada sebuah peristiwa tertentu, yaitu salah seorang sahabat memberikan informasi kepada Nabi perihal kematian raja Romawi yang kemudian diganti oleh putrinya. Nabi berkomentar “lan yufliha qaumun wallauw amarahum imro’atan”. Hadis ini tidak dapat dipahami sebagai bagian dari syariat, ia hanyalah sebatas komentar atas peristiwa yang kasuistik dan tidak termasuk dalam batasan hukum. Fatima Mernissi membahas secara detail terkait Hadis ini dan berhasil membuktikan bahwa hadis tersebut adalah hadis kasuistik “munfaridah”, sedangkan salah satu perawinya adalah Abu Bakar yang ditengarai pernah melakukan persaksian palsu dalam masa Umar Bin Khattab tentang peristiwa zina yang dituduhkan pada Mughirah bin Syu’bah.  Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat dijadikan dasar pengambilan hukum. Jika makna hadis ini lahir dalam konteks tradisi dan budaya tertentu, maka tentu saja hadis ini tidak bisa dipahami sebagai ketentuan yang mapan, karena tradisi dan kebudayaan tidak bersifat permanen.
Justru dalam Al-qur’an terlihat jelas bagaimana kepemimpinan perempuan mendapat legitimasi dari kisah ratu Saba, seorang ratu adil di masa Nabi Sulaiman. Al-qur’an menceritakan kisah seorang pemimpin perempuan dari sebuah negara Saba (Sheba) yang sukses membawa bangsanya dalam kehidupan yang makmur. Kebesaran singgasana Sang Ratu diceritakan oleh seekor burung Hud-Hud. Katanya : "Sungguh, aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala-galanya dan singgasana yang besar". (Q.S. al Naml; 23). Ini adalah kisah yang diungkapkan Al-qur’an, yang tidak dapat diragukan kebenarannya. Saat itu praktik kepemimpinannya sudah memperlihatkan sebuah kekuasaan yang dibangun dengan cara-cara demokratis. Ini bertolak belakang dengan sikap Bauran bin Syiruyah ibn Kisra, sang Ratu Persia, yang arogan, otokratik dan sentralistik. Sikap pemimpin perempuan inilah yang oleh Nabi Muhammad dikritik dengan tajam sebagai kekuasaan yang tidak akan bisa mensejahterakan rakyatnya.
Konstruksi sosial yang mendikotomikan bahwa peran laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik berimplikasi pada rendahnya akses dan partisipasi perempuan dalam dunia politik. Jika kita hendak menerapkan Islam dalam konsepnya yang selalu relevan dalam setiap zaman, kita harus menyajikannya sebagai Islam yang hadir pada zaman dan ruang kehidupan kita. Dalam kondisi ini laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menempati peran di berbagai lini kehidupan. Pemarjinalan perempuan adalah pengaruh konteks sejarah yang “memaksa” dan membatasi ruang gerak mereka, bukan karena Islam.

Perempuan merupakan substansi yang selalu enak dan elok untuk diperbincangkan oleh semua kalangan, baik kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan itu sendiri.
Itu bisa dimaklumi, mengingat perempuan adalah sosok yang cukup penting dalam kehidupan. Perempuan merupakan penerus, pengabdi, dan pendidik bagi generasi yang akan datang, yaitu generasi yang akan menentukan perjalanan bangsa tercinta ini. Kalau kita berbicara perempuan haruslah pertama-tama kita mulai dengan menempatkan mereka sebagai manusia. Dengan bertumpu pada titik pandang kemanusiaan, kita akan menilai bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama, sama mulia budi pekertinya, sama luhur cita-citanya, dan sama-sama memiliki impian dan harapan. Dan tentu mereka mempunyai potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi kepemimpinan sebagai individu maupun makhluk sosial (Marwah Daud, 1996).
Kaum laki-laki telah melahirkan karya seni yang besar; kaum perempuan telah melahirkan kaum laki-laki; dan ibu yang besar akan melahirkan bangsa yang besar pula, sebagaimana yang dikutip oleh pemikir proklamator kita dalam Colin Brown, Soekarno on the of women. Kutipan tersebut mengisyaratkan gambaran kenyataan peran dan fungsi perempuan sangat penting dan menentukan dalam kehidupan, karena perempuan menjadi pusat atau sentralnya sebuah bangsa akan berkembang.
Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan baik sekarang maupun masa akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya pada semua tingkat internasional, regional. Pada masa pra Islam dunia diwarnai oleh imperialisme dan kolonialisme antar sesama manusia maupun antar kelompok, suku, dan bangsa. Kaum perempuan diibaratkan tidak lebih dari barang yang bisa dijual belikan, menjadi bagian dari kaum laki-laki (subordinatif), makhluk yang tidak berharga, tidak memiliki independensi diri, hak-haknya boleh dirampas dan ditindas, keberadaannya sering menimbulkan masalah, dan diletakkan dalam posisi marginal.
  1. Politik dan Pemimpin Perempuan abad ke-20
Perempuan telah di pucuk pimpinan dari urusan negara mereka selama beberapa generasi, tetapi dalam abad ke-20 jumlah pemimpin perempuan terkenal meningkat tajam sekaligus membuktikan bahwa perempuan mampu memimpin. 8 wanita yang tercantum di bawah ini memimpin negara melalui masa-masa pergolakan dan damai
1.      Indira Gandhi - Perdana Menteri India
Lahir ke India's politis berpengaruh keluarga Nehru, ia wanita pertama India Perdana Menteri. Berhidung keras pragmatis, ia memerintah negara dengan keteguhan dan tekad, keras dan mengambil keputusan-keputusan sulit bila diperlukan. Dia dibunuh oleh dua penjaga sendiri pada tahun 1984.
2.      Margaret Thatcher - Perdana Menteri Britania Raya
Dijuluki "Wanita Besi" karena sikap keras nya melawan bekas Uni Soviet, ia memimpin negara melalui resesi dan tingkat pengangguran yang tinggi menjadi masa yang relatif kemakmuran, dan peningkatan dalam perawakannya di antara sesama bangsa-bangsa. Dia adalah wanita pertama yang memimpin sebuah partai politik besar di Britania Raya.
3.      Benazir Bhutto - Perdana Menteri Pakistan
Putri Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto, ia memerintah dengan negara dari 1988-1990, dan 1993-1996. Dia dibunuh pada tahun 2007, selama kampanye pemilu. Secara luas diharapkan bahwa ia akan terus menjadi Perdana Menteri catatan masa jabatan ketiga.
4.      Corazon Aquino - Presiden Filipina
Wanita pertama di Asia yang jadi Presiden, ia adalah seorang pemula ketika ia terpilih menjadi Presiden beberapa saat setelah pembunuhan suaminya. Dia adalah pendukung kuat hak-hak perempuan dan demokrasi sebagai lawan Ferdinand Marcos yang diktatorial.
5.      Sonia Gandhi - Pemimpin Partai Kongres India
Dipercaya oleh banyak orang sebagai kekuatan di balik tahta, dia tidak memegang jabatan politik, namun peraturan negara. Kelahiran Italia, ia mengadopsi India sebagai negaranya setelah menikah dengan Rajiv Gandhi. Ia telah dicalonkan sebagai ketiga wanita paling kuat di dunia.
6.      Eva Perón - Istri Presiden Argentina
Istri kedua Presiden Juan Peron, ia adalah wanita yang sangat kuat, karena pengaruhnya pada suaminya, dan memperjuangkan hak-hak orang miskin dan para perempuan Argentina. Ia berlari Departemen kesehatan dan Perburuhan, dan menemukan perempuan besar pertama partai politik di negaranya.
7.       Golda Meir - Perdana Menteri Israel
Wanita pertama di seluruh dunia untuk menjadi Perdana Menteri sebuah negara, dia aturan Sri Lanka tiga kali, 1960-1965, 1970-1977 dan 1994 sampai 2000. Dia adalah kepala dari Partai Kebebasan Sri Lanka selama 40 tahun sampai kematiannya. Istilah nya melihat negara melihat-lihat melalui baik dan buruk kali, dan selama semester lalu ia lebih populer di luar negeri daripada dirinya di negerinya sendiri. Disebut sebagai "orang terbaik dalam kabinet" oleh Daivd Ben Gurion, dia adalah Perdana Menteri keempat negara Israel. Krisis terbesar selama jangka adalah Perang Yom Kippur 1973, di mana dia membuat keputusan untuk menghindari serangan pre-emptive, sehingga memperoleh persetujuan dari sekutu terbesar, Amerika Serikat.
8.      Sirimavo Bandarnaike - Perdana Menteri Sri Lanka
Wanita pertama di seluruh dunia untuk menjadi Perdana Menteri sebuah negara, dia aturan Sri Lanka tiga kali, 1960-1965, 1970-1977 dan 1994 sampai 2000. Dia adalah kepala dari Partai Kebebasan Sri Lanka selama 40 tahun sampai kematiannya. Istilah nya melihat negara melihat-lihat melalui baik dan buruk kali, dan selama semester lalu ia lebih populer di luar negeri daripada dirinya di negerinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA



[1] Education Zone, http://aifaneducationzone.blogspot.com/p/islamic-zone.html
[2] Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami Istri  (Bandung: Anggota IKAPI, 1988), hlm. 114
[3] M. Hasan Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 193

[4]Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer ( Indonesia: Penerbit Ghalia Inonesia, 2010), hlm. 63
[5][12]Ibid., 344
[6][13]Ibid
[7][14]Ibid., hlm 345
[8][15]Evelyn Suleeman, “Hubungan-Hubungan dalam....., hlm 104
[9][16]Ibid
[10][17]L.A Kuperus, “Bagaimana Bakul-Bakul Kecil (Bakulan) Mendapatkan Modal Usaha” dalam  Maria Ulfah dkk (ed), Peranan Dan Kedudukan Wanita Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University 1998)., hlm 85
[11][20]Ibid., hlm 317
[12][21]Ibid
[13][22]Ibid
[14] Huzaemah Tahido Yanggo, Op. Cit., hlm. 64-65
[15] Ibid., hlm. 67
[16] Abu Muhammad Asraf, Curhat Pernikahan (Bandung: Pustaka Rahmat, 2009), hlm. 93
[17][1] Haniva Az Zahra, Peserta Program Pembinaan SDM Strategis Nurul Fikri, http://kampus.okezone.com/read/2011/03/09/95/432903/95/perempuan-dan-kesetaraan-gender


[18][26]Q.S An-Nur (24): 31
[19][29]Q.S Al-Ahzab (33): 59
[20][2]  Hidle Hein, “Liberating Philisophy: An End to the Dichotomy of Spirit and Matter,” eds. dalam Ann Gary dan Marlyn Persall, Women, Knowledge and Reality (London: Unwin Hyman, 1989), 294. 3
[21][3] Aristotels, Politics (Istambul: Remzi Publishing House, 1983), 54
[22][4] Fadhilah Suralaga&Eri Rosatria (ed.), Perempuan : Dari Mitos ke Realitas (Jakarta: PSW UIN Jakarta - McGill-ICIHEP, 2002), 49-50.
[23][5] Donny Gahral Adian,” Feminis Laki-laki Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman Subono (ed.) Feminis Laki-laki: Solusi Atau Persoalan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The Japan Foundation, 2001), 23-34.

[24][6] Veven Sp. Wardhana, “ Puanografi dan Media: Yang Bukan perempuan (Tak) Ambil Bagian”, dalam Nur Iman Subono, Feminis Laki-laki, 90.
[25][7] Ivan A. Hadar, “Feminisme, Feminis Laki-laki dan Wacana Gender Dalam Upaya Pengembangan Masyarakat”,dalam Nur Iman Subono,Feminis Laki-laki, 93-111. 7 Ibid.
[26][10] http/:attanzil.wordpress.com/2008/07/20/kedudukan-perempun-dalam-islam/#r199

[27]Education Zone, Op. Cit.
[28] Huzaemah Tahido Yanggo, Op. Cit., hlm. 66